“ANITA, BERHENTI!!”
Teriakan Askara memecah malam. Suaranya menggema di antara kabut dan angin yang terus berhembus. Ia berlari maju dengan tangan terulur, wajahnya pucat penuh ketakutan.
Saat itu, Askara melihat dengan mata kepalanya sendiri, mulut Anita perlahan terbuka, lalu meregang lebar. Dua taring runcing keluar dari gusinya, panjang dan mengkilap di bawah cahaya redup rembulan. Napasnya terdengar berat.
Fitri, yang awalnya tak sadar, sempat mencoba menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang aneh. Namun belum sempat berbicara, matanya langsung terbelalak, kaget dan takut, ketika mendengar teriakan Askara memanggil nama Anita yang ada di belakangnya.
Fitri menoleh cepat ke belakang, merasakan napas hangat menempel di lehernya.
“Anita? Nggak mungkin”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, Anita menancapkan taringnya ke leher Fitri. Tubuh Fitri tersentak, bergetar hebat sesaat, lalu perlahan kehilangan kekuatannya. Otot-ototnya mengendur dan ia terkulai lemas.
Matanya terbuka setengah, kosong, tak lagi menatap apa pun. Dari luka gigitan di lehernya, darah mulai merembes, perlahan namun pasti. Cairan merah itu mengalir mengikuti lekukan kulit, lalu menetes ke bajunya yang putih. Sekejap saja, warna kain itu berubah. Tercemar merah darah.
Askara terdiam sesaat, tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena tak sanggup melihat Fitri dalam keadaan seperti itu.
“Nggak, ini nggak boleh terjadi.” bisiknya, matanya mulai memerah.
Rasa bersalah dan ketakutan berubah menjadi bara di dadanya.
“Jangan gigit dia!” teriaknya dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
Dua penggali kuburan menoleh dari bawah bukit tepat ketika Ifal ditarik keluar dari dalamnya, mereka berhenti sejenak dari fokusnya terhadap Ifal ketika mendengar teriakan gaduh dari atas bukit. Pandangan mereka menembus kabut, mencari-cari asal suara, tapi cahaya remang dan jarak pandang yang buruk membuat semuanya tampak samar. Hanya siluet yang terlihat.
“Heh, sepertinya Anita berhasil menggigit korban baru.” Salah satu penggali kubur terkekeh pelan, puas, seolah berita itu hiburan yang menyenangkan di tengah malam kelam.
“Benar, itu artinya, pekerjaan kita bakal bertambah.” Yang satunya menyeringai miring, puas, tapi terdengar kesal, seperti tahu ia harus bekerja ekstra untuk selanjutnya.
Ifal masih terhuyung, linglung, tak terlalu memperhatikan percakapan maupun suara-suara di sekitarnya.
Di antara bayangan pohon, Willie menyaksikan dengan senyum tipis yang menakutkan. Tatapannya tajam, dingin dan puas.
“Bagus Anita, tunjukkan siapa kamu sebenarnya.” bisiknya.
Askara berlari. Napasnya berat, langkahnya goyah, tapi matanya terpaku pada Fitri yang hampir tak bergerak.
Tanpa berpikir, dia mendorong tubuh Anita menjauh dari Fitri.
“Lepasin dia, Anita!”
“Fitri, bangun! Ayo bangun!” teriaknya panik.
Tapi tubuh Anita seperti patung batu, tak bergeming. Kepala itu tertanam kuat di leher Fitri. Darah masih menetes dari luka terbuka. Terhisap kedalam taringnya.
Mata Anita beralih menatap Askara. Dalam sekejap, waktu seolah melambat saat pandangan mereka saling bertemu. Tapi bukan amarah yang terpancar dari mata Anita, melainkan luka yang dalam. Tatapannya membawa campuran perasaan yang rumit: cinta yang tak terbalas, kecemburuan yang membakar dan kesedihan yang menumpuk, semuanya berkecamuk dalam dada.
Askara tak sempat berpikir panjang. Ia menjambak rambut Anita dan menarik sekuat tenaga kebelakang. Anita mengerang kesakitan, tapi tetap tak melepas. Askara memukulnya berkali-kali berharap bisa menyadarkan atau menghentikan gigitan itu. Hingga dia merasa jika yang ia pukul bukan lagi sahabatnya. Tapi sesuatu yang lain.
“Kamu bukan Anita!” desisnya. “Kamu monster!” Teriaknya.
Ia mengepalkan tangan dan mengangkatnya, siap memukul lebih keras.
Namun sebelum pukulan itu sempat mendarat, Anita tiba-tiba melepaskan gigitannya dan menundukkan kepala, menyelipkannya di antara tubuh Fitri, membuat pukulan Askara menghantam udara kosong. Dalam hitungan detik, Anita mendorong tubuh Fitri ke arah Askara dengan kekuatan penuh.
BRAK!!
Keduanya terlempar dan jatuh menghantam tanah. Askara terhempas. Fitri menindih tubuhnya. Napasnya tercekat.
“Arrgh!”
Ia mengaduh pelan, menahan nyeri di tangannya yang terhantam. Namun tanpa memperdulikannya, ia segera meraih tubuh Fitri dan memeluknya erat. Seakan tak ingin siapapun menyentuh gadis itu. Tubuh Fitri terasa dingin dan lemas, nyaris tak bergerak, tapi masih ada napas. Ia masih hidup.
Di pelukannya, Fitri mengerang lirih. Matanya terbuka sedikit, namun tak fokus, seperti menatap dunia lain.
Kulitnya mulai kehilangan rona, dingin dan keabu-abuan.
“Fit, bertahan ya. Kumohon.” bisik Askara dengan panik.
Namun dari lehernya, semburat hitam perlahan menjalar di bawah kulit, tanda racun mulai bekerja.
Anita berdiri kaku melihat Askara dan Fitri, tubuhnya gemetar. Taringnya telah keluar, namun jiwanya belum sepenuhnya siap.
“Maafin aku.” bisiknya nyaris tak terdengar, ada sedikit penyesalan dalam hatinya.
Tangannya sempat mengepal, menahan emosi yang bercampur antara penyesalan, kemarahan dan kesedihan. Namun dalam hitungan detik, kecemburuan mengalahkan nalar. Matanya merah. Wajahnya dipenuhi luka batin, bukan fisik. Ia mengatakan sesuatu dengan suara gemetar.
“Kenapa, Kenapa kamu selalu perhatiin dia, sedangkan aku nggak, Askara?”
Air matanya menggantung di pelupuk, tertahan oleh guncangan emosi yang belum tuntas meledak. Namun luka di hatinya sudah lebih dulu menetes.
“Aku selalu ada buat kamu. Selalu.” Suaranya pecah, bergetar di antara napasnya yang tertahan. “Tapi kamu bahkan nggak pernah anggap aku ada.”
Matanya basah. Suaranya makin lirih.
“Ternyata kamu cuma lihat dia, Fitri. Cewek yang bahkan nggak pernah suka sama kamu. Tapi aku, aku suka sama kamu, Ra. Apa kamu nggak pernah sadar? Atau kamu pura-pura nggak mau tau?”
Anita mengungkapkan semua perasaan yang terpendam. Kalimat itu meluncur dari hatinya, patah-patah, menyayat.
Askara tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan berulang kali, dengan bibir bawah tergigit dan tatapan iba. Tatapannya seolah ingin berkata: Aku memang nggak pernah suka sama kamu, Anita.
“Kenapa diem?!” bentak Anita, suaranya bergetar antara marah dan hancur.
“Berarti bener, kan? Kamu nggak pernah suka sama aku.”
Ia menarik napas tajam, lalu melanjutkan dengan nada penuh kesedihan
“Asal kamu tahu, aku nggak akan jadi kayak gini, kalau bukan karena kamu. Ini semua salah kamu!”
Tangan Anita terkepal di dada. Ia melangkah pelan mendekati Askara yang masih terpaku menatapnya.
“Waktu aku ditipu sama William dan kakaknya, Willie, aku ngelihat sesuatu yang selama ini aku impikan, senyuman hangat yang selalu aku harapkan datangnya dari kamu.”
Ia menahan napas, lalu melanjutkan.
“Tapi apa? Kamu nggak pernah tersenyum sekalipun ke aku. Kamu datang pas butuh doang. Hingga akhirnya aku dapet semua itu, senyuman, perhatian dan rasa dianggap, dari William, yang ternyata cuma jebakan. Aku dijerumusin sama dia dan kakaknya, sampai akhirnya aku jadi, jadi monster.”
Air mata Anita mulai tumpah. Suaranya mulai terbata. Dia menangis sejadi-jadinya. Menyesali hidupnya yang tragis akibat cinta yang tak berbalas.
“Tapi, aku hidup lagi. Aku kira ini kesempatan kedua, buat aku deket sama kamu. Kenyataannya, kamu malah deket sama dia. Kamu lihat dia, kamu berduaan sama dia” Ia terisak.
“Aku cemburu, Ra, Aku cemburu. Aku nggak bisa diginiin.”
Anita bersiap menerjang ke depan. Amarahnya sudah tak terbendung lagi dan satu-satunya hal yang ada di kepalanya saat itu hanyalah meluapkan semua kekesalan yang selama ini ia pendam.
Namun, tepat sebelum ia berhasil mendekati Askara,
BUGHH!
Sebuah tubuh tiba-tiba menabraknya dari samping. Anita dan sosok itu terguling di tanah, bergelut tanpa arah di atas tanah yang lembab dan basah. Di bawah cahaya bulan yang pucat, wajah sosok itu akhirnya terlihat.
“William?” gumam Askara, terbelalak kaget.
Dari kejauhan, Willie yang sejak tadi mengamati dengan antusias, seketika mengerutkan kening. Ekspresinya berubah drastis menjadi tegang. Sorot matanya dipenuhi kebencian, bukan hanya pada Askara, tapi kini juga pada adiknya sendiri yang telah merusak momen yang menurutnya paling krusial.
William terdonggak, mencoba bangkit dari posisi terjatuhnya. Tubuhnya berada di atas Anita, seperti dalam posisi push-up, dengan kedua tangannya bertumpu di sisi tubuh Anita, menahannya agar tak bisa bergerak.
“Cukup, Anita. Ini bukan kamu.” ucap William tegas. Matanya menatap langsung ke mata Anita. “Berhenti melukai teman-temanmu. Hentikan ini.”
Anita meronta, berteriak.
“Minggir! Jangan halangi aku!” suaranya parau. “Dia cuma ngerebut Askara dari aku! Dia bukan temanku.”
“Kalau cinta kamu nggak dibalas, itu tetap bukan alasan buat nyakitin temen kamu.” kata William dengan nada tajam.
Anita menatapnya marah, tapi juga hancur. Bibir bawahnya di gigitnya, alisnya mengernyit.
“Aku sakit hati Wil, aku cuma pingin Askara mikirin aku. Sebentar aja.”
William terdiam sejenak. Kata-kata Anita mengoyak sesuatu dalam dirinya. Hatinya bergetar, matanya sedikit memejam.
Lalu tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, William memeluk Anita. Ia merengkuh tubuh dingin itu, memeluk kepalanya erat dari depan agar tetap di tempat. Tak ada kehangatan, hanya pelukan yang dingin dan tenang, lembut tapi nyata.
Anita terdiam. Tubuhnya berhenti melawan.
“Aku tahu rasanya, Anita.” bisik William. “Aku juga pernah ngerasa nggak dilihat. nggak dianggap dan malah dibenci. Tapi jadi monster pembunuh, bukanlah jalan keluar.”
Anita menangis setelah mendengar kata-kata William. Bahunya bergetar, Suaranya tercekat saat mencoba berbicara.
“Tapi.” bisiknya pelan.
“Tapi aku suka sama kamu!” seru William, memotong ucapannya dengan suara lantang, penuh keyakinan.
Anita terdiam. Dunia seakan berhenti sejenak. Ada sesuatu yang hangat menyusup ke dadanya, perasaan yang selama ini ia cari, yang ia pikir berasal dari Askara, ternyata bukan. Itu berasal dari William. William-lah yang benar-benar melihat dirinya.
Dengan napas tertahan, Anita akhirnya membalas pelukan William. Erat. Seolah tak ingin melepasnya.
Namun ditengah rasa haru yang memuncak,
BUGG!!
Tendangan keras mendarat di samping tubuh William.
Willie.
“Dasar pengkhianat!” teriaknya.
William terjatuh tersungkur, tubuhnya terguling hingga terbalik di samping Anita. “Uhuk.” Ia terbatuk keras, menahan nyeri yang menusuk di ulu hatinya.
Willie melangkah mendekat dengan wajah penuh amarah. Tanpa ragu, ia langsung menghajarnya, menendang perutnya, memukul wajahnya berulang-ulang. Hantaman demi hantaman mendarat tanpa belas kasihan, meski William tak berbuat apa-apa. Ia tetap terkapar di tanah, tak membalas, hanya menahan rasa sakit.
“Aku udah nyelamatin kamu, William!” teriaknya. “Mereka, manusia, yang udah ngebunuh ayah ibu kita. Kamu malah belain mereka?! Apa kamu lupa, hah?”
William lagi-lagi tidak melawan, suara batuk kembali terdengar, kini diiringi dengan muncratan darah dari mulutnya.
“Aku nggak bela manusia. Aku bela kebaikan. Aku cuma nggak mau jadi pembunuh kayak manusia.”
Willie menggila. Matanya merah, suaranya bergetar.
“Dasar naif. Apa kamu lupa saat mereka tertawa waktu orang tua kita dibakar hidup-hidup, karena ketahuan kita keluarga Vrykolakas! Dan kamu masih bilang, membela kebaikan?!” Suara terkekeh dari mulut Willie terdengar.
Anita menoleh ke arah dua saudara yang bertarung. Wajahnya gelisah dan takut. Ia ngeri melihat semua yang terjadi. Matanya cepat berpindah, dari William yang terkapar, ke Willie yang masih marah, lalu ke Askara dan Fitri yang tergeletak lemah.
“Kamu bisa merasakan aura kebangkitan manusia, sedangkan aku bisa menghisap darah mereka.” Ucap Willie tajam. “Kamu itu Vrykolakas cacat. Makanya, kalau kita berdua bersatu, kita bisa menciptakan pasukan Vrykolakas, dan membalaskan dendam orang tua kita.”
Dia melanjutkan dengan nada kecewa.”Tapi kamu malah memilih menyelamatkan manusia.”
Wajah William yang penuh luka tak menunjukkan tanda ingin membalas. Ia hanya tersenyum lemah dan berkata,
“Itulah prinsip Vrykolakas-ku.”
Willie semakin marah dan bersiap memukul lagi. Namun sebelum pukulannya melayang, suara tubuh yang diseret di tanah membuatnya menoleh.
Ia melihat Askara sedang menyeret tubuh Fitri menjauh, pelan tapi pasti. Mereka mencoba melarikan diri.
“Jangan lari kalian!!” Teriaknya. “Pasukanku, tangkap mereka!!”
Suaranya bagaikan dentuman yang memecah keheningan, membangunkan kegelapan.
Dari balik pepohonan, seorang Vrykolakas muncul, melaju dengan lincah, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang malam.
Askara tercekat. Saat matanya menangkap sosok itu, napasnya tertahan. Ia mengenal wajah itu. Anggara.
Selama ini, Anggara hanya mengintai dari balik kegelapan, menunggu, diam, patuh pada perintah sang tuan. Kini dia telah dipanggil. Dan ia datang sebagai pemburu.
Sementara itu, di sisi lain, Anita yang sebelumnya terbaring tak bergeming tiba-tiba membuka matanya. Gerak tubuhnya kaku, namun cepat. Ia bangkit dengan geraman rendah, matanya tak lagi menunjukkan luka, melainkan kegilaan. Wajahnya berubah liar, seperti dirasuki sesuatu yang buas.
Perintah Willie menggema dalam pikirannya, merasuki jiwanya. Mengendalikan. Mengubah.
Kini, Anita dan Anggara berdiri berhadapan dengan Askara. Mereka mengepungnya dari dua arah.
Askara berdiri mematung, peluh dingin membasahi pelipisnya. Di pelukannya, Fitri masih terbaring lemah, kini dia benar-benar terpojok.
Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia terus menarik Fitri menjauh, selangkah demi selangkah, melawan rasa lelah dan ketakutan yang menggerogoti tubuhnya.
Di bawah bukit, Ifal baru saja bangkit dari kubur. Tubuhnya masih kaku, wajahnya pucat seputih mayat. Tapi kesadarannya mulai kembali, meski perlahan. Ia menatap sekeliling dengan mata kosong, mencoba memahami apa yang terjadi padanya. Segalanya terasa dingin dan sepi.
Kebingungan menguasainya, tapi teriakan-teriakan dari atas bukit mengalihkan fokusnya. Ia memicingkan mata, mencoba menembus kabut dan kegelapan untuk melihat apa yang terjadi di sana.
Kedua Vrykolakas yang tadi menjaganya kini telah berlari ke arah suara itu, naik ke bukit dengan gerakan cepat dan beringas.
Ifal ingin menyusul mereka. Tapi tiba-tiba, perutnya mencengkeram dari dalam, sebuah rasa lapar yang aneh, tidak wajar, tidak manusiawi. Tubuhnya gemetar hebat, peluh dingin membasahi dahinya. Sesuatu di dalam dirinya menggeliat.
Matanya mulai berubah. Sorotnya bukan lagi milik Ifal yang dulu, melainkan sesuatu yang dingin dan tak dikenali. Ia terhuyung, lalu jatuh tersungkur, berjuang melawan sesuatu yang belum dipahami.
Sementara itu, di atas bukit, Askara terjebak. Dua Vrykolakas, Anggara dan Anita serta kedua orang yang baru tiba mengepungnya.
Tak ada jalan keluar. Askara memeluk Fitri erat, seolah ingin melindunginya dari dunia yang kejam. Dan untuk pertama kalinya, dia ingin jadi tameng. Meski itu berarti berdiri di antara Fitri dan kematian.
Langit gelap menjadi semakin pekat.