Langkah Fitri tertahan saat menerobos kerumunan dan melihat tubuh Ifal terbujur kaku tidak bernyawa dengan kondisi mengerikan.
Napas Fitri tercekat, matanya membelalak lebar dan tangannya refleks menutup mulutnya yang menganga. Tubuhnya bergetar hebat membuat kakinya lemas.
Askara menoleh, mendapati wajah Fitri yang kini pucat pasi. Dalam sekejap, tubuh Fitri lemas, hampir jatuh ke tanah.
“Fit! Fitri!.” ucap Askara panik, buru-buru meraih tubuhnya sebelum ia ambruk.
Tubuh Fitri yang berhasil dirangkul oleh Askara terasa hangat di pelukannya, meski dinginnya malam masih menyelimuti udara sekitar. Ada aroma samar yang begitu familiar, harum, yang entah mengapa terasa menenangkan.
Namun, suasana di sekeliling mereka tetap mencekam. Warga masih berkerumun di sekitar tubuh Ifal yang tak bernyawa, tak satupun dari mereka berani mendekat, mereka takut akan penyakit yang mungkin menular. Warga hanya berbisik-bisik dan menunggu, berharap tim medis segera datang untuk mengevakuasi. Hanya ibu Ifal yang menangis histeris. Isak tangisnya terdengar pilu, menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Siapa saja yang menyaksikan pasti akan merasa, betapa malangnya nasib keluarga Ifal.
Tiba-tiba, kerumunan terbelah. Seorang pria dengan wajah panik menerobos maju, Ayah Fitri.
“Fitri!” teriaknya keras, langsung berlari menghampiri anaknya yang terkulai dalam pelukan Askara.
Askara refleks hendak menjelaskan, tapi sang Ayah sudah meraih tubuh putrinya. Wajahnya tegang, tangan gemetar saat memeluk Fitri. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Askara sekilas, penuh kekhawatiran yang menumpuk.
“Kita harus bawa dia sekarang.” gumamnya lirih, lalu berjalan cepat menjauh dengan menggendong Fitri di pangkuannya. Askara mengikuti dari belakang, tak sanggup meninggalkan Fitri dalam keadaan seperti itu.
Mobil polisi dan ambulans berhenti dengan tergesa. Pintu terbuka dan beberapa petugas kepolisian turun bersama tim medis yang bergegas membawa tandu. Salah seorang polisi maju ke tengah kerumunan, suaranya tegas saat memberi instruksi.
Namun kedatangan mereka tak seperti tanggap darurat pada umumnya. Hanya satu ambulans dan satu mobil polisi yang datang. Selain karena desa Tatar Loka Kumayan yang terpencil sehingga sulit untuk dijangkau, ada juga desas-desus yang menyebar cepat bahwa kepala desa, pihak sekolah dan rumah sakit telah bekerja sama untuk menyembunyikan kasus ini.
Askara sempat mendengar seseorang berbisik. “Katanya kepala desa, sekolah dan rumah sakit nggak mau media tahu. Mereka bilang ini cuma kasus 'kejadian mendadak'. Soalnya kalau sampai Viral, desa ini bakalan tambah terasing. Warganya bakal takut dan milih merantau.”
“Semua mundur! Beri kami jalan!” teriak seorang polisi sambil menyingkirkan warga yang berkerumun dengan tangannya.
Warga perlahan-lahan menjauh, memberikan jalan bagi petugas. Tim medis segera menghampiri tubuh Ifal, mengamati kondisi mayatnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di sisi lain, Isak tangis memilukan terdengar dari sang ibu yang terus meneriakkan nama putranya di antara suara tangisnya yang pecah.
“Ifal! Ifal! Jangan mati, Nak! Bangun!” jeritnya, tangannya mencoba meraih tubuh anaknya yang terbujur kaku di tanah hendak dievakuasi. Tapi Sang ayah berusaha menahan istrinya, memeluknya erat agar tidak nekat menerjang ke arah mereka.
Sementara itu, petugas memasukkan tubuh Ifal ke dalam kantong jenazah berwarna oranye. Bunyi resleting yang tertarik ke atas terdengar nyaring, Beberapa warga membuang muka, enggan melihat pemandangan yang terlalu menyayat hati.
Tandu didorong dengan hati-hati menuju mobil ambulans. Orang tua Ifal ikut masuk ke dalam tanpa memperhatikan sekeliling mereka lagi. Hanya kesedihan yang tersisa dalam tatapan mereka.
Tak lama setelah itu, polisi mulai memasang garis kuning di sekitar lokasi penemuan mayat. Garis bertuliskan POLISI – DILARANG MELINTAS itu kini menjadi pembatas. Warga mulai ditanya satu per satu oleh petugas, namun sebagian besar dari mereka hanya menggelengkan kepala.
“Kami baru menemukan mayatnya tadi.”
“Saya nggak tahu apa-apa.”
Di dalam hati, Askara terus memikirkan satu hal: semua yang terjadi penuh dengan keganjilan. Kematian Anita, Anggara dan Ifal, mereka semua memiliki kesamaan saat ajal menjemput.
Kini, dia menjauh menuju sebuah undakan tanah yang ditumbuhi dengan sedikit rumput-rumput liar yang menjadi tempat Fitri dibaringkan oleh Ayahnya. Kepala Fitri disandarkan di pangkuan sang ayah dengan mata yang masih tertutup. Mereka menunggu dengan penuh kecemasan, alis berkerut dan keringat semakin deras membasahi kening mereka.
Suasana yang menegangkan perlahan memudar ketika Fitri mengerang pelan dalam dekapan ayahnya.
“Fit, Fitri. Sadar, Fit.” Askara mengguncang pelan tangannya, berharap ia segera siuman.
Ayah Fitri masih menatap putrinya dengan was-was. Erangan Fitri terus berlanjut beberapa saat, membuat mereka menunggu dengan penuh harap. Tak lama, kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Pandangannya masih buram, mencari-cari titik fokus. Dengan susah payah, ia melihat ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya menatap wajah Askara yang ada di hadapannya.
“Kamu nggak apa-apa, Fit?” tanya Askara penuh harap, suaranya sarat dengan kekhawatiran yang tulus.
Fitri menatap mata Askara tanpa berkata-kata, lalu tiba-tiba, ia langsung bangkit dan melingkarkan tangannya di leher Askara. Tangisnya pecah seketika, terisak sekencang-kencangnya. Askara yang kala itu tidak mengantisipasi tindakan Fitri sempat menghentakan tubuhnya ke belakang karena terkejut.
Tubuh Fitri yang hangat bergetar sesaat dalam pelukannya. Dadanya berdegup kencang saat menyadari betapa dekatnya tubuh Fitri dengannya. Perasaan aneh menyeruak, namun Askara berusaha mengendalikan diri. Suara tangis Fitri menggema, bercampur dengan desingan serangga malam. Getaran di bahunya terasa jelas di dada Askara, menimbulkan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Askara, Ifal, dia, mati ya?”
Kata-kata itu keluar dengan susah payah, tercekat di tenggorokan Fitri. Tangisnya semakin menjadi. Askara bisa merasakan perasaan kehilangan yang dirasakan Fitri begitu memilukan dan menyayat hati. Ada keinginan untuk meringankan duka yang dialaminya. Sesuatu yang membuatnya ingin memastikan bahwa Fitri akan selalu berada di pelukannya.
Tanpa berpikir panjang, Askara melingkarkan tangannya di pinggang Fitri, menariknya lebih dekat, lalu mengusap punggungnya dengan lembut.
“Sabar, Fit. Ada aku disini.”
Ayah Fitri menatap mereka dalam diam, wajahnya terlihat berusaha menahan kesedihannya sendiri. Askara, merasa gugup ketika matanya melirik dan bertemu dengan mata sang Ayah. Dia tersadar kalau tindakannya terlalu berlebihan, dia berusaha melepaskan pelukannya, tapi niatnya terhenti ketika melihat sang Ayah mengangguk kecil, seolah mengizinkan anaknya untuk tetap berada dalam dekapan Askara sedikit lebih lama.
Fitri mengatakan sesuatu dengan suara pelan. “Sekarang harus gimana, Ra? Ifal udah nggak ada, Aku belum sempat bilang.”
Askara mengernyit. “Bilang apa?”
“Aku suka sama dia, Aku sayang sama dia, Aku pingin sama dia.”
Dada Askara seakan dihantam sesuatu. Jantungnya mencelos. Dadanya tiba-tiba sesak mendengar kalimat yang baru saja dia dengar. Dia merasa cemburu, marah dan takut. Perasaan itu bercampur menjadi satu, kini dia tahu kalau Fitri, benar-benar menyukai Ifal.
Ia menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya yang bercampur aduk. Ia melepas pelukan Fitri dan menggenggam kedua bahunya dengan lembut dan menatapnya dalam.
“Jangan khawatir. Semua bakal baik-baik saja. Lagian, aku ada sama kamu disini.”
Fitri menatap Askara dengan mata sembab. “Jadi?”
Napas panjang dihela oleh Askara. “Kita bakal cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita bakal selidiki kasus ini.”
Fitri mengangguk pelan, mengusap air mata dan berusaha menenangkan diri. Meski begitu, Askara masih bisa melihat kesedihan di matanya. Fitri berusaha tegar, sahabat yang selalu ada disisinya, Ifal, kini telah tiada.
Mereka akhirnya bangkit dan berjalan pelan menaiki mobil untuk pulang. Awalnya, Fitri sempat menolak. Ia ingin pergi ke rumah sakit melihat langsung kondisi Ifal, memastikan dengan matanya sendiri bahwa sahabatnya benar-benar telah tiada. Tetapi ayahnya melarang dengan tegas.
“Tidak, Fitri. Kamu sudah terlalu terguncang. Malam ini kita pulang saja. Besok pagi kita ke rumah sakit.”
Suara ayahnya penuh dengan ketegasan dan sarat kekhawatiran. Fitri mencoba menerima kalau ayahnya benar. Walau sebagian hatinya tidak rela dan terasa hancur.
Askara ikut masuk ke dalam mobil. Mereka duduk dalam diam, hanya suara mesin mobil yang mengisi keheningan di antara mereka.
Setibanya di rumah, Askara langsung menceritakan semua yang ia lihat dan alami kepada kedua orang tuanya. Wajah ibunya berubah pucat, sementara ayahnya terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut putranya. Meskipun mereka tidak terlalu akrab dengan teman-teman Askara, mereka mengenal Ifal sebagai anak yang baik. Kesedihan terlihat jelas di mata mereka, turut berduka atas kepergian sahabat putra mereka.
Setelah percakapan yang berat, Askara masuk ke dalam kamarnya. Ia menjatuhkan tubuh ke atas kasur, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kelelahan. Berharap rasa ngantuk akan melupakan semua kesedihan yang terjadi walau sementara.
Namun, tiba-tiba, hembusan angin dingin menyusup masuk, membuat tubuhnya bergidik. Askara melirikkan pandangannya ke arah jendela kamar yang ternyata tidak tertutup.
“Aku kira, jendelanya sudah kututup.”
Dengan enggan, ia bangkit dan berjalan menuju jendela. Tangan terulur untuk menutupnya, namun langkahnya terhenti ketika ia mendongak, mengintip ke luar dan menyapu pandangannya diantara perkebunan.
Saat itulah, dadanya menegang. Napasnya tercekat.
Saat pandangannya tanpa sengaja melihat ke bawah jendela, dia mendapati sosok gadis dengan rambut berkepang dua, sedang berjongkok menaruh bunga mawar putih. Jantung Askara seolah berhenti. Kedua matanya menatap nanar ke arah sosok itu, mencoba memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.
Merasa ada yang memperhatikan, perlahan, gadis itu mendonggakkan kepalanya ke atas. Mata mereka bertemu.
Saat itulah waktu terasa melambat.
“Anita?” suara Askara nyaris tidak terdengar.
Seketika, gadis itu tersentak kebelakang. Wajahnya yang pucat, tanpa sedikit pun rona kehidupan, seketika panik. Dia tak percaya bahwa Askara menangkap basah dirinya.
Dalam hitungan detik, Anita berbalik dan berlari sekencang-kencangnya berusaha menghilang dalam kegelapan malam.
Askara yang semula terpaku. Mencoba mengembalikan kesadarannya, ia mengerjap cepat dan berteriak. “Anita, itu kamu?! Tunggu!”
Tanpa berpikir panjang, ia melompat keluar jendela. Kakinya bergerak sendiri, melangkah cepat, berlari mengejar sosok yang semakin menjauh.
Di depan sana, siluet gadis itu masih terlihat samar di antara bayangan malam. Pakaian yang ia kenakan berbeda dari yang biasa, kaos dan celana jeans, dibalut dengan jubah hitam panjang dengan tudung yang ditarik menutupi kepalanya. Gelapnya malam membuatnya sulit dikenali, tetapi Askara yakin dengan apa yang sebelumnya ia lihat.
Ia berusaha mempercepat larinya, tetapi gadis itu terlalu cepat. Dia berlari menyusuri perkebunan dan rindangnya hutan bambu. Kemudian melewati pemakaman umum yang semakin menambah ketegangan dan kengerian.
Napas Askara mulai tersengal, meski ia berlari sekuat tenaga, jarak antara mereka semakin melebar. Hingga akhirnya, gadis itu lenyap di balik pepohonan bambu yang menjulang tinggi menuju jalan setapak sepi tanpa penerangan.
Askara terhenti.
Tatapannya menembus kegelapan hutan bambu, berharap bisa melihat jejak gadis itu sekali lagi.
Tapi tidak ada.
“Aku tidak mungkin salah lihat, Itu dia. Itu pasti Anita.”
Dengan napas yang menderu, suara hatinya berbisik, berusaha menyangkal ketidakmungkinan.
Namun, pikiran logisnya berteriak. “Anita udah mati. Ia udah dikuburin. Gimana mungkin dia bisa hidup lagi?”
Askara menelan ludah. Ia mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Dia menyangkal kalau itu adalah hantu. Tapi jika bukan, berarti Anita masih hidup.
Ia mengepalkan tangannya. Berpikir sejenak. Jika memang benar begitu, maka ada sesuatu yang tidak beres. Orang tua Anita telah berbohong soal kematian anak mereka. Tapi ada pertanyaan besar di benaknya, untuk apa orang tua Anita berbohong?
Ia menarik napas panjang, lalu berbalik, berniat kembali ke rumah. Namun, ditengah perjalanan, sebuah pikiran gila terlintas di benaknya.
“Aku harus lihat sendiri kuburan Anita, ngebuktiin dia emang nggak hidup lagi.”
Alih-alih pulang ke rumah, Askara berbelok menuju pemakaman umum. Karena sebelumnya ia sempat berlari melewatinya, tidak ada salahnya memeriksa tempat itu untuk mencari kebenaran tentang sosok Anita yang baru saja dilihatnya.
Namun, dibalik tekadnya, sesaat setelah dia sampai di pemakaman. Ada sedikit ketakutan yang mengendap di dalam hatinya. Malam yang gelap membuat bayang-bayang pohon di pemakaman tampak seperti sosok-sosok misterius yang memperingatkannya agar menjauh. Angin berhembus dingin, menggoyangkan ranting-ranting yang kering, seolah tempat ini sedang berbisik kepadanya agar jangan masuk.
Namun ia terus mengulang kalimat “Nggak ada hantu. Nggak ada hantu.” Di kepalanya, seperti mantra. Membuatnya semakin berani.
Tak lama, Askara melihat dua sosok berdiri membelakanginya. Bahu mereka naik turun seiring napas yang berat, sementara tangan mereka menggenggam sekop.
Askara menyipitkan mata, mencoba memastikan apa yang mereka lakukan. Beberapa saat ia mengamati dengan saksama, lalu matanya membelalak.
Mereka sedang membongkar kuburan.
Jantung Askara berdegup kencang. Ia segera mencari tempat bersembunyi agar bisa menyaksikan apa yang terjadi tanpa diketahui. Matanya menyapu sekitar hingga menemukan pohon jambu yang cukup dekat dengan lokasi mereka, cukup aman, pikirnya, tempatnya memungkinkan untuk mengintai dengan jelas. Dengan hati-hati, ia bergerak ke sana, menahan napas agar tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Pada awalnya, Askara mengira mereka adalah pencuri makam. Ia pernah melihat di sosial media tentang kasus seperti ini, orang-orang yang sengaja membongkar kuburan untuk mencuri barang berharga yang dikuburkan bersama jenazah. Biasanya, hal seperti itu terjadi di pemakaman khusus, seperti pemakaman orang-orang China.
Namun, ada yang aneh.
Semakin lama memperhatikan, Askara semakin yakin bahwa kuburan yang mereka gali bukanlah makam orang China, melainkan kuburan biasa.
Ia mengernyit, kebingungan. “Untuk apa mereka membongkarnya?” bisiknya pada diri sendiri.
Rasa penasaran mulai menguasainya. Kemudian terdengar suara percakapan dari arah mereka. Askara menajamkan pendengaran, berusaha menangkap percakapan yang samar di antara suara sekop yang menghantam tanah.
“Sial, kenapa selalu kita yang ditugaskan untuk ‘membangunkan’? Kenapa bukan orang lain, Kan jenis kita sekarang bertambah.”
“Bertambah? Kata siapa? Baru juga beberapa yang dikuburkan. Sisanya masih dalam proses infeksi. Jelas saja tuan memberikan tugas ini untuk kita.”
Askara mengernyit. Kata-kata mereka membuat bulu kuduknya berdiri. “Membangunkan? Infeksi? Apa maksudnya?”
Perasaannya semakin tidak karuan. Ia harus melihat lebih jelas kuburan siapa yang sedang mereka gali.
Perlahan, dengan penuh kehati-hatian, ia mulai memanjat pohon tempatnya bersembunyi. Mencoba mendapatkan sudut pandang yang lebih baik. Ia mengarahkan pandangannya ke batu nisan yang kuburannya sedang dibongkar.
Nama di batu nisan itu membuat darahnya membeku.
Anggara Sidharta – Wafat: xx/xx/20xx
Matanya membelalak, dadanya berdesir. Sebuah keheranan memenuhi pikirannya.
“Bukannya itu makam Anggara? Anak kelas sebelas yang baru aja kena ‘kutukan Anita’?”
Napasnya memburu. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia yakin suara itu bisa terdengar. Di tengah keterkejutannya, tanpa sadar ia menginjak dahan rapuh di bawah kakinya.
KRAK!
Suara kayu patah menggema di udara.
Seketika, dua orang itu menoleh.
“Siapa itu?!”
Salah satu dari mereka langsung menyenter ke arah pohon tempat Askara bersembunyi. Cahaya terang menyoroti wajahnya.
“Sial!” Dengusnya.
Dalam hitungan detik, Askara melompat turun dari pohon, tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Gelombang rasa sakit menjalar dari pergelangan kakinya, tetapi ia tidak punya waktu untuk mengeluh. Napasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Ia mendengar langkah tergesa-gesa di belakangnya. Mereka mengejarnya.
“Hei, berhenti. Jangan kabur!” Teriak mereka.
“Sial, aku ketahuan!”
Tanpa menoleh ke belakang, Askara berlari secepat yang ia bisa, berusaha menyelamatkan diri dari sesuatu yang lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.