Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Stalkers (Segera Terbit)
MENU
About Us  

Di sekolah, Fitri langsung menyambut Askara dengan wajah sumringah. “Ifal bakal pulang siang ini! Kita bisa jenguk dia lagi! Yeah!” serunya penuh semangat.

Namun, Adit menggeleng pelan dan tersenyum. “Wah, seneng banget sih, yang spesial mau pulang ya?” ucapnya menggoda. “Jangan buru-buru gitu, Fit. Dia butuh istirahat. Kasih waktu lah buat dia pulih dulu.” Lanjutnya sambil terkekeh.

Fitri sempat terkekeh kecil, tapi tawa itu segera menguap saat Adit menyebut kata “spesial.” Ekspresinya perlahan berubah murung. Sejak Ifal terbaring koma, pikirannya sering kembali pada momen-momen kecil yang dulu ia abaikan, tatapan mata Ifal, caranya mendengarkan dan diam-diam, perhatiannya yang tulus.

Awalnya ia mengira itu hanya simpati, tapi semakin hari, semakin sulit membedakannya dengan rasa yang lain. Sebuah kesadaran menyelinap, dulu, ia pernah menolak cinta Ifal demi fokus pada sekolah. Tapi kini, jika ia terus membiarkan diri untuk dekat dan bertemu, perasaan yang selama ini coba ia simpan bisa tumbuh dan berubah menjadi rasa sayang yang tak bisa ia hindari.

Akhirnya dia mengangguk kecil menahan perasaannya sendiri.

Adit menoleh ke arah Askara yang duduk menyendiri di pojokan, pandangannya kosong menatap jendela. Dengan nada menggoda, ia menyenggol bahunya pelan.

“Ra, kamu kenapa? Cemburu ya?” godanya sambil terkekeh.

Askara tersentak kecil, lalu buru-buru memalingkan wajah.

“Hah? Apaan sih, ya nggak lah.” sahutnya cepat, suaranya datar tapi terdengar dipaksakan.

 

Tangannya refleks mencubit jemari kirinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Ia mengusap wajah pelan, mencoba menghapus sesuatu yang bahkan tidak bisa ia jelaskan.

Padahal, ada sesak yang menumpuk di dada. Kekhawatiran Fitri pada Ifal, senyum kecilnya, semua itu menusuk tanpa permisi. Tapi ia memilih diam.

“Aku, cuma kepikiran Anita.” gumamnya akhirnya, hampir tak terdengar.

Fitri melirik sekilas, ekspresinya berubah. “Waduh, nggak salah denger nih? Sekarang kamu beneran suka sama dia? Bukannya telat banget ya?”

Askara mendelik lebih tajam. “Bukan gitu! Aku tadi pagi nyobain ngebuktiin keberadaan dia pakai ini.” Dengan ragu, ia merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan surat yang semalam ia tinggalkan di jendela.

Adit langsung merebutnya sebelum Askara sempat berkata apa-apa. Ia membuka lipatan kertas itu dan membacanya lantang.

“Oh, jadi kamu beneran nulis surat buat hantu? Terus hasilnya gimana?”

Askara menghela napas berat, menatap mereka bergantian. “Ada tiga kelopak bunga mawar putih di dalamnya. Tapi aku nggak yakin Anita yang lakuin itu. Soalnya, kelopak itu beda sama instruksinya.”

Mata Fitri melebar, tubuhnya sedikit merinding. Ia bergidik, lalu berbisik pelan. “Ih, serem.”

“Tapi ada yang lebih seram dari itu.” kata Adit pelan, sambil mencondongkan tubuh ke arah Fitri. Ekspresinya berubah serius dan jari telunjuknya terangkat seperti ingin menekankan sesuatu.

“Apa lagi tuh?” tanya Fitri, setengah penasaran, setengah khawatir.

“Aku denger dari satpam sekolah, katanya, ada dua orang yang sempat kelihatan mondar-mandir dekat gerbang belakang, tengah malam.”

“Yaelah, paling juga maling.” sela Askara, bersandar santai ke kursi. “Apa seramnya?”

“Bukan itu masalahnya.” Adit menoleh cepat. “Yang seram, pas satpam mengecek CCTV, mereka nggak terekam sama sekali disana. Cuma kelihatan pagarnya doang yang tiba-tiba rusak. Padahal si satpam bersumpah dia lihat sendiri dua orang itu masuk. Dia sempat coba kejar, tapi larinya cepet banget, kayak bukan larinya manusia. Akhirnya si satpam kehilangan jejak mereka.”

Suasana mendadak hening. Fitri melirik ke arah Adit, lalu menelan ludah.

“Oke itu baru serem.” gumamnya pelan sambil mengangkat bahu. “Lebih serem dari bunga di kamar kamu, Ra.”

“Tapi ada lagi.” Adit kembali melanjutkan ceritanya. “Pas aku tanya tadi pagi sama satpam. Sosok itu punya wajah yang sama, mungkin kembar. Terus ciri-cirinya sama kayak anak yang diceritain sama ibu Ifal waktu itu. Ada kemungkinan mereka William dan kembarannya.”

Askara dan Fitri seketika terdiam tak bisa berkata apa-apa. Mereka saling pandang dengan sorot mata yang memperlihatkan keheranan yang nyata.

Tiba-tiba seorang siswa berlari tergesa-gesa masuk ke kelas, napasnya memburu. Matanya melebar, wajahnya penuh kepanikan.

“Guys! Ada yang kena 'kutukan Anita' lagi di kelas sebelah! Kondisinya sama persis! Ayo liat!”

Mata Askara, Fitri dan Adit langsung membesar. Mereka saling berpandangan, dada mereka berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, mereka bangkit dan buru-buru keluar kelas.

Di depan ruang kelas sebelah, suasana sudah riuh. Para murid berkerumun, bisik-bisik memenuhi udara. Beberapa guru berusaha mengatur keributan, namun kegelisahan tetap terasa di wajah semua orang.

“Permisi, ada apa ini?” tanya Fitri pada sekelompok siswa yang berdiri paling depan.

Seorang siswa menoleh dan menjelaskan dengan nada khawatir. “Anggara Sidharta, anak kelas 11, tiba-tiba pingsan di lab komputer.” Ia menelan ludah sebelum melanjutkan.”Seharian ini dia sering bengong, kulitnya pucat, matanya sayu. Terus, tiba-tiba aja dia jatuh dan, mulutnya keluar busa. Persis kayak Anita dan Ifal!”

Jantung Askara mencelos. Ia menoleh ke Adit dan Fitri. Mereka semua berpikiran sama, ini tidak mungkin kebetulan.

Spekulasi liar mulai menyebar di antara para murid. Beberapa menganggap ini adalah penyakit menular, sementara yang lain percaya ini adalah kutukan Anita.

Fitri, yang mendengar bisik-bisik itu, langsung melangkah maju. Wajahnya memerah menahan emosi. “Berhenti nyalahin Anita! Ini bukan salah dia dan ini bukan kutukan!” serunya tajam.

Siswa yang sebelumnya membicarakan kutukan itu langsung terdiam. Ia mendengus kecil sebelum memilih mundur dari kerumunan, enggan berdebat lebih jauh.

Sementara itu, Anggara segera dibawa ke UKS oleh beberapa guru. Para siswa hanya bisa menatap dengan perasaan ngeri dan kebingungan.

“Aku yakin sebentar lagi ambulans pasti datang lagi ke sekolah ini.” komentar Askara pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Adit dan Fitri.

Akan tetapi, kejadian mengejutkan lainnya menyusul.

Tepat pukul tiga, sebelum bel pulang berbunyi, ponsel Fitri bergetar. Ia mengernyit, melihat layar, sebuah pesan dari ibu Ifal. Awalnya, ia mengira itu hanya pesan biasa, tapi begitu membacanya, wajahnya langsung berubah drastis.

“Ada apa?” tanya Askara cepat, menangkap ekspresi terkejut di wajah Fitri.

Fitri menatap mereka dengan mata membelalak. Suaranya gemetar saat membaca isi pesan. “Ibu Ifal tanya, katanya Ifal ada di sekolah atau nggak? Soalnya setelah pulang dari rumah sakit, dia tiba-tiba hilang!”

Adit dan Askara sama-sama membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri.

“Dicari di rumah, nggak ada!” lanjut Fitri, kini suaranya lebih panik.

Askara dan Adit saling pandang, perasaan tak nyaman menjalar di tubuh mereka. Bagaimana mungkin Ifal bisa menghilang dalam waktu sesingkat itu?

Tanpa membuang waktu, Fitri langsung membalas pesan, memastikan bahwa mereka akan membantu mencari Ifal di sekolah.

Mereka bertiga pun sepakat, mereka tidak bisa diam saja. Mereka harus mencari Ifal.

Bel pulang sekolah berbunyi, namun Askara, Fitri dan Adit tidak langsung beranjak. Mereka mencoba mendatangi teman-teman Ifal di sekolah, tetapi tak ada yang tahu kemana Ifal pergi. Kegelisahan semakin menekan dada mereka. Akhirnya, tanpa membuang waktu, mereka memutuskan untuk segera pergi ke rumah Ifal.

Setibanya disana, mereka disambut oleh ibunya yang terlihat panik. Napasnya tersengal, wajahnya dipenuhi kecemasan yang jelas terpancar dari matanya.

“Syukurlah kalian datang. Ifal hilang, padahal tadi dia sempat tidur di kamarnya untuk istirahat. Tapi pas sore mau dibangunin buat minum obat, dia nggak ada! Jendelanya juga kebuka lebar!” suaranya bergetar, nyaris pecah.

Askara merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa mungkin ada yang bawa dia keluar bu?” tanyanya, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya sendiri dipenuhi ketakutan.

Ibu Ifal mengangguk lemah. “Mungkin, soalnya ibu sempet denger suara ‘lepasin’ dari kamar Ifal. Tapi karena saat itu ibu lagi masak di dapur, ibu nggak sempat langsung cek.”

Tanpa membuang waktu, mereka bertiga langsung bergabung dalam pencarian. Hingga malam semakin larut, namun hasilnya tetap nihil. Spekulasi penculikan pun mulai muncul.

Akhirnya, Askara mengubah strategi. “Eh inget nggak. Ifal pernah cerita soal anak yang baru datang ke desa ini, kalau nggak salah namanya William, bener kan?”

Adit dan Fitri mengangguk. Mereka mengiyakan.

“Kita temuin anak itu aja. Mungkin dia tahu sesuatu.”

Semuanya setuju.

Akhirnya mereka mulai bertanya ke warga sekitar soal keberadaan anak misterius bernama William itu. Setelah lama mencari, seorang warga menunjuk ke sebuah rumah tua bergaya Indische Empire yang terletak di barat rumah Ifal, berjarak beberapa puluh meter dari sana.

Saat mereka tiba di depan rumah tersebut, perasaan tak nyaman langsung menyergap. Bangunan dua lantai itu tampak megah, namun ada sesuatu yang membuatnya terasa berbeda. Gentengnya menjulang tinggi, sementara pagar besi tua mengelilinginya, tampak kokoh dan tak ramah.

Mereka menelan ludah, ragu-ragu untuk menekan bel. Entah mengapa, rumah itu terasa, menolak kedatangan mereka. Namun, setelah mengumpulkan keberanian, Askara akhirnya menekan bel meskipun tangannya sedikit gemetar.

Hening.

Tak ada jawaban.

Ia mencoba lagi. Tetap sunyi.

Namun, setelah beberapa kali mencoba, akhirnya seseorang muncul dari dalam rumah. Seorang pria paruh baya berpakaian rapi keluar dengan langkah tergesa. Jas hitamnya tampak licin dan bersih, sementara kacamata bulat bertengger di matanya, menambah kesan misterius pada sosoknya.

“Ada perlu apa kalian kesini?” tanyanya dengan suara dalam dan tajam.

Askara menelan ludah, lalu menjawab dengan hati-hati. “Kami ingin ketemu sama anak yang baru pindah kesini, Pak. Kami dapat info kalau dia tinggal di sini. Namanya William.”

Pria itu menggeleng tanpa ragu. “Tidak ada anak dengan nama seperti itu di sini. Pemilik rumah ini tidak mengenal siapa pun yang kalian maksud.”

Askara membuka mulut, hendak membantah. “Tapi pak”

“Silahkan pergi. Jangan mengganggu tuan rumah.” Pria itu memotong tegas, ekspresinya tak berubah sedikit pun.

Dengan berat hati, mereka berbalik pergi. Melangkah menjauhi rumah. Namun, saat Askara menoleh ke arah rumah itu sekali lagi, jantungnya hampir berhenti berdetak.

Di balik jendela lantai dua, sosok bayangan tampak berdiri.

Seorang remaja berkulit pucat, dengan rambut hitam lebat yang kontras dengan warna kulitnya.

Mata mereka bertemu hanya sekejap, namun itu cukup untuk membuat Askara merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Tatapan itu kosong, dalam, seolah menembus langsung ke dalam pikirannya.

Dan dalam hitungan detik, tirai langsung tertutup.

Askara tersentak, tanpa sadar melangkah maju, berniat kembali ke rumah itu. Namun, pria tadi segera menghadangnya. Tatapannya tajam, penuh peringatan.

“Pergilah!”

Suara itu berat, nyaris seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Dengan perasaan tak tenang, Askara terpaksa melangkah pergi bersama Fitri dan Adit. Namun, dalam hatinya, tekadnya semakin kuat.

“Aku bakal cari tahu kebenarannya.”

Malam semakin larut saat Askara, Fitri dan Adit melangkah gontai meninggalkan rumah bergaya Indische Empire itu. Napas mereka masih sedikit tersengal, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena telah pulang dengan tangan kosong. Tidak ada petunjuk mengenai keberadaan Ifal dari anak yang sempat mereka cari.

Lampu jalanan berkedip redup, menambah kesan suram pada malam yang semakin dingin. Fitri memeluk dirinya sendiri, bukan hanya karena udara yang menusuk, tetapi juga karena rasa khawatir yang belum sirna.

“Gimana sekarang, Ra?” tanyanya dengan suara lirih, matanya menatap penuh harap ke arah Askara.

Namun, sebelum Askara sempat menjawab, Adit menyela, nada suaranya sedikit lebih bersemangat. “Gimana kalau kita bilang ke orang tua Ifal, buat langsung tanya anak yang ada di rumah itu? Pasti mereka bakalan dibolehin.”

Adit menatap mereka penuh antusias, seolah itu solusi terbaik yang bisa mereka lakukan saat ini.

Askara menghela napas panjang, menatap rumah tua yang semakin jauh di belakang mereka. “Hmm, jangan. Kalau kita libatin mereka sekarang, bisa-bisa mereka langsung nuduh anak itu sebagai pelakunya. Sedangkan kita nggak punya bukti kalau dia benar-benar terlibat.”

Ia menoleh ke Adit dengan ekspresi serius. “Pas keadaan genting kayak gini, orang bisa bertindak nekat. Lebih baik kita kumpulin bukti-bukti dulu sampai semua ini benar-benar ngarah ke dia.”

Adit terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya juga sih.”

“Sekarang, kita lanjut fokus ke pencarian Ifal. Sampai kita tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita nggak boleh gegabah.”

“Oke.” jawab Adit akhirnya.

Fitri, yang sedari tadi hanya memperhatikan, menatap teman-temannya bergantian. Pikirannya buntu. Di dalam hatinya, ada sesuatu yang terus berbisik, mendesaknya untuk terus mencari. Karena dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Ifal.

Pencarian kembali dilakukan. Kali ini, area pencarian diperluas hingga radius ratusan meter dari lokasi rumah Ifal. Keluarga Ifal dan beberapa tetangga ikut membantu. Mereka menyisir kebun, ladang, hingga hutan bambu di pinggiran desa. Semakin lama mereka berjalan, semakin besar rasa putus asa yang mulai merayap di hati masing-masing.

Malam semakin pekat. Angin berhembus lebih dingin, membawa suara-suara samar yang entah berasal dari mana. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi jejak Ifal masih belum ditemukan.

Adit akhirnya berhenti di tengah jalan tanah yang mereka lalui, menumpukan tangan di lututnya sambil terengah-engah. “Ra, Fit, aku capek.”

Ia menegakkan punggungnya, mengusap peluh di dahinya. “Serius deh, kita udah jalan sejauh ini dan hasilnya nihil.”

Askara juga merasakan hal yang sama. Kakinya mulai terasa berat, kepalanya pening akibat kelelahan. “Iya, aku juga.”

Ia menoleh ke Fitri, yang masih berdiri tegak, wajahnya dipenuhi kegelisahan.

“Kita pulang dan istirahat dulu, kali ya? Besok kita lanjut lagi. Besok juga ada kelas kan.”

Namun, Fitri tetap tidak menanggapi. Matanya tetap fokus ke kegelapan di depan mereka, seolah berharap Ifal tiba-tiba muncul dari sana. Tangannya mengepal erat, seakan ada sesuatu yang salah.

Askara akhirnya mengambil keputusan dan meminta izin kepada ayah dan ibu Ifal untuk berhenti mencari malam ini. Mereka butuh istirahat agar bisa melanjutkan pencarian esok hari dengan tenaga yang lebih baik.

Orang tua Ifal tidak keberatan. Mereka sangat berterima kasih atas bantuan Askara dan teman-temannya. Meskipun begitu, keluarga Ifal tetap bersikeras melanjutkan pencarian malam ini. Mereka bahkan mempertimbangkan untuk menghubungi polisi keesokan harinya.

Setelah berpamitan, Askara, Adit dan Fitri melangkah pulang dengan langkah berat. Perjalanan mereka dipenuhi bisik-bisik pelan, membahas hal yang terus mengusik pikiran mereka.

“Gimana mungkin Ifal bisa ngilang pas kondisinya belum pulih banget?” gumam Askara, lebih kepada dirinya sendiri.

Adit mengangkat bahu, ekspresinya tegang. “Kayaknya beneran diculik deh, Ra.” ucapnya. Lalu Adit melirik Fitri yang sedari tadi terdiam. “Fit kamu kok diem terus, kenapa?”

Fitri menoleh “Oh, ya. Nggak apa-apa kok. Yuk kita pulang.”

Di balik diamnya, Fitri terus menoleh ke segala arah mencari-cari sosok Ifal yang tak kunjung terlihat. Kekhawatiran menggumpal di dadanya, menciptakan kegundahan yang sulit dijelaskan.

Ia cemas sekaligus rindu. Ketidakhadiran Ifal membuat hatinya terasa dingin dan kosong.

Adit mengerutkan dahi, melihat Fitri, membuatnya turut bersedih. Namun berbeda dengan Askara, matanya tetap lurus kedepan. Berjalan menyusuri jalanan sepi nan sunyi di tengah malam. Dia bertekad untuk menemukan sahabatnya sebelum semuanya terlambat.

Setibanya di rumah, Askara berjalan dengan langkah berat menuju kamar. Kelelahan menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya masih terus berputar, tak bisa berhenti memikirkan Ifal. Setelah membersihkan diri, ia merebahkan diri di tempat tidur, tetapi bukannya merasa tenang, dadanya justru semakin sesak.

Pikiran tentang Ifal tak henti bergelayut di kepalanya. Mereka memang sempat berselisih, perselisihan yang diam-diam berakar dari perasaan yang sama terhadap Fitri. Ada kata-kata yang terucap, yang seharusnya tak pernah diucapkan. Dan sekarang, Ifal menghilang begitu saja.

Di satu sisi, ada bagian dari dirinya yang merasa lega. Tak bisa dipungkiri, bayangan Ifal yang menjauh memberi ruang bagi perasaannya pada Fitri. Tapi bersamaan dengan itu, ada perasaan bersalah yang menyesakkan. Ifal bukan sekadar saingan, dia sahabat. Orang yang pernah berdiri bersamanya di banyak luka dan tawa.

Askara menunduk, menyeka wajahnya dengan tangan. Rasa peduli itu masih ada, meski terkubur oleh konflik. Ia tidak tahu harus berharap Ifal kembali atau tetap menjauh. Tapi yang ia tahu pasti, hatinya tak benar-benar tenang.

Askara mengingat kembali saat-saat kenangan dengan Ifal. Terutama saat Ifal peduli pada dirinya di saat ia kesulitan dalam pelajaran atau ketakutan akan mimpi yang tidak nyata. Kini sosoknya tidak tahu ada dimana. Membuat Askara menarik nafas berat.

“Kenapa orang-orang baik selalu berakhir tidak baik, ya?” gumamnya lirih.

Ia membenamkan wajahnya ke dalam bantal, berharap lelahnya bisa membawanya tidur, setidaknya untuk beberapa jam.

Entah ini mimpi atau bukan, yang jelas ketika Askara membuka mata, dia tiba-tiba berada di sebuah padang pasir tandus. Tak ada apapun di sekitarnya selain sebuah bangunan besar menyerupai gudang dengan satu pintu di depannya. Dari arah kanan dan kiri, beberapa orang berjalan pelan dengan langkah gontai, tubuh mereka tampak letih dan tak bertenaga, satu per satu masuk ke dalam bangunan itu.

Askara mengernyit, bingung oleh pemandangan yang asing namun terasa begitu nyata. Ia mulai melangkah, mendekati bangunan misterius tersebut. Saat itulah, dari kejauhan, ia melihat sosok seorang anak muda berpakaian compang-camping, wajahnya pucat dengan tatapan kosong. Ia melangkah perlahan ke arah pintu.

Askara memicingkan mata, mencoba mengenali sosok itu. Jantungnya berdegup saat menyadari, itu Ifal.

“Ifal!” teriak Askara, panik.

Sosok itu menoleh. Ia berhenti berjalan, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi. Askara segera berlari menghampirinya.

“Kamu beneran Ifal?” Tanya Askara dengan berhati-hati. Takut-takut dia salah orang.

Ifal mengangguk tanpa berucap. Tatapannya kosong dan sayu.

“Kenapa kamu bisa ada disini? Ini tempat apa, Fal?” tanya Askara dengan nada panik.

Ifal tidak menjawab pertanyaan itu. Melainkan berkata sesuatu yang lain dengan suara pelan, terdengar seperti gema dari masa lalu.

“Ra, semoga ilmu yang udah aku ajarin bermanfaat ya. Maaf, aku nggak bisa lama-lama. Aku pamit.”

Askara tertegun. Dahinya mengernyit, alisnya mengerut. Kalimat itu, terasa familiar. Sangat familiar.

“Kamu ngomong apa sih?” tanyanya, bingung.

Namun Ifal kembali melangkah, meninggalkan Askara begitu saja. Diam, tanpa penjelasan.

Askara hendak menyusulnya, akan tetapi, tiba-tiba getaran di tangannya membuatnya tersentak. Dia kembali masuk ke dalam realita.

Ponselnya bergetar.

Dengan napas tercekat, ia melirik layar. Nama Fitri terpampang di sana.

Perasaan tak enak langsung menyergapnya. Dengan cepat, ia mengangkat panggilan itu. “Halo, Fit?”

Suara di seberang terdengar panik, nyaris bergetar. “Ra, gawat. Beneran gawat.”

Jantung Askara mencelos. Tubuhnya refleks bangkit dari tempat tidur. “Ada apa?”

“Ifal, Ra. Ifal.”

Darahnya berdesir. “Ketemu?”

“Iya. Cuma.” Suara Fitri terdengar ragu, hampir tersendat.

“Cuma apa, Fit?”

Tangis pecah di seberang sana. Suara Fitri terdengar tercekat, seolah tak sanggup mengucapkannya.

“Dia, dia ditemuin udah meninggal.”

Askara seakan kehilangan keseimbangan. Tenggorokannya terasa kering, telinganya berdenging. Ia menegakkan tubuh, tangannya mencengkeram sprei erat-erat.

“Serius?” Tanyanya.

Fitri menarik napas tersendat. “Iya. Aku baru aja dapet pesan dari orang tua Ifal. Mereka nemuin dia di deket sekolah. Badannya,  pucet dan kurus. Aku coba minta lokasi jelasnya, tapi nggak dibales. Gimana ini, Ra? Aku takut.”

Dada Askara naik turun, pikirannya kacau. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi semuanya terasa kosong.

“Udah kasih tahu Adit belum?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya.

“Udah, cuma teleponnya nggak diangkat terus. Jadi aku WA aja, tapi belum dibales. Kayaknya dia udah tidur.”

Fitri masih terisak di seberang, tapi Askara tak lagi mendengar dengan jelas. Fokusnya teralihkan oleh sesuatu yang lain.

TUK! TUK! TUK!

Ketukan pelan terdengar dari arah jendela. Bukan ketukan biasa. Lambat. Sendu.

Askara membeku. Tengkuknya terasa dingin.

“Askara.”

Suaranya lirih.

Suara yang familiar.

Suara Ifal.

Napas Askara tercekat. Matanya melebar, jantungnya berdentum keras di dalam dada. Tubuhnya kaku, tapi pikirannya menjerit untuk lari.

“Aku pergi, selamat tinggal.”

Suara itu terdengar begitu nyata, seolah Ifal benar-benar ada di luar jendela.

Keringat mengucur di pelipis, Askara menoleh ke jendela yang tertutup rapat oleh gorden. Ia ingin percaya bahwa ini hanya imajinasi berlebihan akibat kelelahan.

Tetapi suara itu begitu jelas. Lebih jelas daripada mimpinya yang tadi.

Ia menelan ludah, memberanikan diri melangkah mendekat. Dengan napas tersengal, tangannya perlahan meraih gorden, lalu,

Ia menariknya dengan cepat.

Gelap. Kosong.

Hanya hamparan kebun luas yang sunyi.

Tidak ada siapa pun.

Askara mencengkeram tepi jendela, matanya masih menyisir halaman, berharap menemukan sesuatu, atau seseorang, di sana. Tetapi yang ada hanya angin malam yang berhembus pelan.

Tangannya gemetar. Dada naik turun dengan cepat. Ia menolak percaya bahwa ini nyata, bahwa Ifal benar-benar berdiri di luar jendelanya beberapa detik yang lalu.

“Woy. Keluar kamu!”

Teriaknya nyaring, suaranya menusuk kesunyian malam.

Tidak ada jawaban.

Angin kembali berhembus, membuat daun-daun di kebun berbisik pelan.

Pencariannya buyar ketika suara samar dari ponselnya terdengar. Askara segera berlari, meraih ponselnya yang tadi tergeletak di kasur.

“Fit. Halo, Fitri. Sorry, sorry. Tadi ada gangguan sedikit.”

“Kamu kemana sih? Dari tadi aku panggil-panggil.” dengus Fitri dengan nada kesal bercampur panik.

Askara melanjutkan kembali panggilan yang masih tersambung. Ia enggan memberitahu apa yang baru saja ia alami pada Fitri. Itu hanya akan membuat semuanya semakin kacau.

 “Jadi gimana?”

Askara menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. “Kita ke lokasi kejadian aja, Fit. Sekolah nggak jauh-jauh amat dari sini. Seharusnya gampang buat nemuin mereka.”

Hening sebentar, lalu suara Fitri terdengar lagi, lebih lirih. “Ayo, Ra. Tapi aku naik mobil ya, soalnya dari sini jauh kalau ke sekolah.”

“Okay.”

Askara bergegas berganti pakaian dan keluar rumah. Dia bergerak dengan tergesa, Langkahnya terburu-buru, suara ribut dari kamarnya membangunkan ibunya yang segera keluar dengan wajah mengantuk.

“Mau ke mana malam-malam begini? Kamu kan baru pulang.”

Askara berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh ke arah ibunya yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Napasnya masih memburu saat ia menjawab. “Ifal ketemu, Bu. Ada di dekat sekolah. Tapi udah meninggal. Aku mau kesana buat periksa.”

Seketika wajah ibunya berubah, ekspresi terkejut tersirat jelas di matanya. Namun, alih-alih melarang, beliau hanya menghela napas pelan, lalu mengangguk.

“Hati-hati, Nak.”

Askara mengangguk dalam, lalu segera melangkah keluar. Ia berjalan cepat menuju tempat yang dijanjikan Fitri untuk bertemu sebelum ke sekolah. Begitu sampai, ia melihat Fitri sudah menunggu di dalam mobil bersama seorang pria paruh baya, ayah Fitri. Askara mengenalinya.

Tanpa banyak berkata-kata, Askara masuk ke dalam mobil dan dalam hitungan detik, kendaraan itu melaju cepat menuju sekolah, menembus keheningan malam yang terasa semakin mencekam.

Ketika mereka tiba di lokasi, pemandangan di sekitar sekolah sudah berbeda dari biasanya. Cahaya remang-remang. Sepi dan dingin yang menusuk. Tidak ada siapapun terlihat.

Ayah Fitri inisiatif memutar mobilnya, mencari ke sekitaran sekolah. Mencoba memastikan keberadaan orang-orang yang berkumpul.

Tak butuh waktu lama, akhirnya di belakang gedung yang dipagari pagar tinggi berwarna hitam, sekelompok warga berkumpul. Lampu-lampu ponsel menerangi rerumputan tinggi yang tumbuh liar di tanah kosong. Tempat itu bukanlah area pemukiman, hanya hamparan lahan kosong milik sebuah perusahaan yang belum sempat dibangun. Tak ada alasan bagi siapapun untuk datang ke sana, tak ada keperluan.

Tetapi malam ini, tanah kosong itu menjadi saksi dari sesuatu yang mengerikan.

Mobil berhenti dengan sedikit hentakan. Tanpa menunggu lebih lama, Askara, Fitri dan ayahnya segera turun. Mereka bergegas menerobos kerumunan, mengikuti suara isak tangis yang terdengar semakin jelas. Askara harus bersusah payah melewati warga yang berdiri rapat, tetapi ia tetap memaksa maju.

Di bagian sisi kanan, ia melihat ayah dan ibu Ifal. Mereka berjongkok terpaku, tubuh mereka sedikit bergetar. Mata mereka membelalak ngeri ke satu titik di tanah.

Jantung Askara berdetak lebih kencang.

Di depannya, tergeletak tubuh Ifal yang tak bernyawa.

Bajunya robek terkoyak sesuatu, tubuhnya begitu kurus, seperti sudah lama tidak diberi makan. Kulitnya pucat pasi, nyaris seperti mayat yang sudah tergeletak selama berhari-hari. Mulutnya berbusa, matanya melotot kosong ke langit malam.

Namun, yang paling mengerikan adalah jejak luka di tubuhnya.

Gigitan.

Seluruh tubuh Ifal dipenuhi bekas gigitan, mirip seperti gigitan ular dengan taring tajam. Ada di lehernya, di tangan nya, di kakinya. Luka-luka itu tampak hitam, seolah berbisa.

Askara menahan napas, tenggorokannya terasa tercekat. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, ia merasakan dingin menusuk menjalar tubuhnya.

“Astaga, kenapa ini.” gumamnya, hampir tanpa suara.

Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari penjelasan. Ini bukan kematian biasa. Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika.

Kakinya gemetar. Dada terasa sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar ketakutan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Peringatan!!!
2430      1045     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Heliofili
2744      1196     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Premium
Secret Love Story (Complete)
11472      1670     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
My Halloween Girl
1060      581     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3558      1096     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Nightmare
447      307     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
The Call(er)
1901      1077     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
the invisible prince
1565      852     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Echoes of Marie
82      79     3     
Mystery
Gadis misterius itu muncul di hadapan Eren pada hari hujan. Memberi kenangan, meninggalkan jejak yang mendalam dan dampak berkelanjutan. Namun, di balik pertemuan mereka, ternyata menyimpan kisah pilu yang ganjil dan mencekam.
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
925      551     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.