Askara terus berlari melewati jalan setapak di tengah rimbunnya hutan bambu. Napasnya tersengal, berat, seperti tertahan di dada. Dahan kering mematah saat kakinya menginjaknya dan gemerisik ilalang terdengar nyaring dalam gelap. Cahaya bulan menembus celah dedaunan, berkedip seperti alarm bahaya.
Jalan menuju rumahnya masih panjang, setelah melewati hutan bambu dia harus melewati ladang milik ayahnya. Gelap dan rimbun, jalan setapak itu seperti menyembunyikan sesuatu dalam kegelapan yang pekat.
Sesekali, Askara menoleh ke belakang. Jantungnya berdegup lebih kencang saat menyadari orang-orang itu masih mengejarnya. Sekop-sekop di tangan mereka teracung.
“Hey! Berhenti! Jangan kabur kamu!” Teriak mereka.
Keringat dingin membasahi pelipis Askara. Tenaganya sudah terkuras sejak tadi, karena mengejar sosok Anita dan kini ia harus berlari lagi demi menyelamatkan diri.
Pandangannya mulai berkunang-kunang. Saat memasuki hutan bambu yang lebih lebat, kepanikan mulai menguasainya. Ia kehilangan arah. Jalan setapak ditumbuhi rumput liar, semakin sulit untuk menemukan jalur yang benar. Dalam ketergesaan, kakinya tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah.
“Aduh!” Tubuh Askara terhempas keras ke tanah berbatu. Lututnya menyerempet kerikil, meninggalkan rasa perih dan hangat yang segera disusul darah. Pergelangan kakinya menghantam akar keras, mengirimkan rasa panas yang menjalar cepat. Ia mencoba bangkit, namun hanya bisa merangkak, menggenggam tanah basah yang licin, seolah dunia menolak memberinya pijakan.
Dengan cepat, ia menoleh ke belakang. Berharap pengejarnya kehilangan jejak dia. Namun, harapannya pupus saat melihat mereka semakin dekat. Sekop-sekop itu kini terangkat lebih tinggi, siap menghantam.
Askara mencoba bangkit, namun nyeri seperti sembilu menjalar dari pergelangan kakinya yang terkilir. Ia meringis, rahangnya mengatup menahan sakit. “Sial.” desisnya lirih. Aku nggak boleh ketangkap sekarang. Sebelum aku tahu kebenaran tentang Anita dan Ifal. Terlebih aku masih ingin menyatakan perasaanku ke Fitri.
Tiba-tiba, cahaya senter menerobos gelapnya malam, menyorot tepat ke arah para pengejar. “Hei! Kalian sedang apa di sana?!” Suara lantang itu menggema di tengah keheningan.
Pengejarnya sontak berhenti. Mereka saling pandang, lalu tanpa pikir panjang, berbalik arah dan kabur seperti baru saja melihat sesuatu yang lebih menyeramkan daripada mereka sendiri.
Askara masih terengah-engah saat menatap sosok di balik cahaya senter itu. Begitu matanya mulai menyesuaikan dengan terang, sosok itu terlihat. Seorang remaja berkulit pucat dengan tatapan tajam. Dia remaja yang sempat Askara lihat di rumah tua khas Belanda, Indische Empire..
“Itukah William?” Askara mengerjap, memastikan penglihatannya benar.
Remaja itu mendekat dengan langkah mantap. “Kamu si anak yang sempat datang ke rumahku kan? Kamu nggak apa-apa?” ucapnya.
Askara mengangguk pelan “Iya, aku, nggak apa-apa.”
William mengulurkan tangan dengan ramahnya, menawarkan bantuan. Askara ragu sejenak, namun akhirnya menerima uluran tangan itu. Begitu kulit mereka bersentuhan, tubuhnya tersentak. Dingin. Seperti es yang membekukan jari-jarinya. Bulu kuduknya meremang tanpa alasan.
Askara segera melepaskan pegangan tangannya dari William. Kini, ia bisa melihat wajah itu lebih jelas. Kulitnya pucat, kontras dengan rambut hitamnya. Garis wajahnya tajam, dengan hidung yang sedikit besar dan mata yang dalam. Tampan, tapi ada sesuatu yang terasa, tidak biasa.
“Aku William Smith. Salam kenal.” ujar remaja itu, mengulurkan tangan lagi untuk berjabat tangan.
Ada sesuatu yang aneh dari William, sesuatu yang membuat Askara enggan bergerak. Tapi saat William menatapnya dengan senyum tipis, seolah membaca pikirannya, Askara akhirnya menyambut jabatan tangan itu. “Eh, iya. Maaf. Aku Askara Karsa. Salam kenal.”
William melirik kaki Askara yang masih gemetar. “Kaki kamu terluka?”
“Ehm, iya. Tapi nggak parah kok, cuma terkilir.”
“Oh.” William menjawab datar. “Ngomong-ngomong aku minta maaf soal asisten rumah tangga aku yang waktu kamu datang ke rumah, dia malah ngusir kamu.”
Askara menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor. “Santai aja. Jadi bener ya, kamu tinggal disana?”
“Iya. Sebenernya baru pindah beberapa hari lalu sih.” Ucap William mencoba menjelaskan.
“Pantas saja, tetangga pada nggak tahu soal kamu.”
William terkekeh pelan. “Ngomong-ngomong, boleh aku tahu kenapa kamu lari-larian malam-malam begini?” Tanyanya, menelisik.
Askara menghela napas “Aku dikejar orang-orang jahat.”
“Astaga.”
“Kamu sendiri kenapa ada di sini?”
William menyunggingkan senyum samar. “Oh, anggap saja aku lagi ngeronda.”
Askara mengernyit. Jawaban itu terdengar janggal. “Ngeronda? Setahu aku, desa ini sudah bertahun-tahun nggak ada ronda. Apa ini karena kasus pembongkaran makam ya?”
Senyum William lenyap. Matanya menajam seketika, ekspresinya berubah kaget. “Maksud kamu?”
“Aku dikejar orang-orang yang kepergok lagi ngebongkar kuburan.”
William menoleh cepat. “Di mana?”
“Pemakaman umum, yang di balik hutan bambu.”
Sekilas, wajah William menegang. Ia terlihat berpikir cepat, sebelum akhirnya melirik jam yang ada di tangannya dan berkata. “Sorry, Ra. Aku inget sesuatu. Aku harus pergi.”
“Lho, ada apa emangnya?” tanya Askara, heran dengan sikap William yang mendadak tergesa.
“Nggak, cuma mau lapor pak RT aja, biar kasus ini segera ditangani.” jawab William buru-buru.
“Tunggu dulu, aku mau nanya sesuatu...” ucap Askara, menahan langkah William.
William menghentikan langkahnya, menoleh setengah gelisah. “Nanya apa?”
Askara menatapnya dengan sorot berat. “Kamu kenal Ifal kan? Aku mau tanya soal dia.”
William mengerutkan dahi, lalu bertanya perlahan. “Iya, aku kenal. kenapa emangnya?”
Askara menarik napas dalam. “Dia udah meninggal. Dan kematiannya aneh. Nggak wajar.”
William membeku. Matanya membulat, seperti baru saja ditabrak kabar tak masuk akal.
“Serius? Ifal meninggal?” Ia berusaha terdengar tenang, tapi ada nada tercekat yang dibuat-buat. “Aku bener-bener nggak tahu, Ra. Kapan? Gimana ceritanya?”
Askara mengangguk perlahan, masih mengamati raut wajah William. “Nggak ada yang tahu pasti. Tapi tubuhnya ditemukan dalam keadaan terluka parah.”
William menunduk. Tangannya mengepal, seolah menahan emosi, padahal pikirannya berkecamuk. “Astaga. Aku emang sempat ngobrol sama dia beberapa hari lalu. Nggak nyangka kalau dia bakalan meninggal secepat ini.” Ia menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Askara. “Maaf, Ra. Aku ikut sedih.”
Hening sejenak.
“Karena itu, aku pengen tahu. Sebenarnya ada urusan apa dia sama kamu. Apa kamu tahu sesuatu?”
William berdehem sejenak. Tangannya mengelus-elus dagunya yang tidak gatal. “Aku cuman ngobrolin Anita, itu aja.”
Askara mengernyitkan dahi. Jawaban William terlalu mencurigakan. “Anita? kamu, kenal sama dia juga?”
William menarik napas. “Maaf Ra, aku harus berangkat sekarang. Ini bisa jadi bahaya kalau nggak segera dicek. Nanti kita ngobrol lagi, ya? Aku janji.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah cepat meninggalkan Askara.
“Hei!”
Askara ingin mengejarnya, tapi kakinya terlalu lemah untuk itu. Ia hanya bisa menatap punggung William yang menghilang dalam kegelapan. Dibenaknya muncul pertanyaan Siapa sebenarnya William? Dia terlalu mencurigakan. Secepatnya aku harus bicara sama dia.
Pikiran itu terus menghantui dirinya sepanjang perjalanan. Dengan susah payah, Askara berjalan tertatih menuju rumah. Saat akhirnya sampai, ia tidak masuk lewat pintu utama. Ia memilih berjalan ke samping rumah dan masuk melalui jendela kamar agar tidak menimbulkan pertanyaan dari orang tuanya.
Namun, sebelum menaiki jendela, sesuatu di tanah menarik perhatiannya. Beberapa tangkai mawar putih berserakan di sana.
Ia berjongkok, meraih satu tangkai, menatapnya lama. “Anita, kalau kamu benar-benar hidup lagi apa karena aku nggak balas cinta kamu?” bisiknya pelan. Ada perasaan asing yang menguat dalam dadanya, rasa iba, rasa kasihan dan rasa tak berdaya karena ia tak pernah benar-benar bisa membalas perasaan Anita kepadanya.
Akhirnya dia buang bunga yang ada di tangannya kemudian dengan susah payah, ia memanjat jendela dan masuk ke kamarnya. Tubuhnya terasa remuk saat ia menghempaskan diri ke tempat tidur. Ia mencoba memejamkan mata, berharap pikirannya yang penuh tanda tanya bisa segera larut dalam lelahnya malam. Dan akhirnya, ia jatuh tertidur.
Pukul setengah tujuh pagi suara ketukan pintu terdengar keras mengusik tidur Askara. Ia menggelihat malas di atas kasur mencoba mengabaikan bunyi mengganggu itu.
“Askara, bangun! Sekolah! Lihat, Fitri datang jemput kamu nih” Suara ibunya terdengar nyaring memekakkan telinga. Ketukan di pintu semakin keras seakan mendesaknya untuk segera bangun.
Mendengar nama Fitri disebut, Askara segera terperanjat dari tidurnya dan terduduk. Namun, nyeri menyengat di kakinya. Ia meringis mengusap pergelangan yang masih sulit digerakkan.
“Aduh.” keluhnya lirih.
Ketukan di pintu kembali terdengar membuat Askara menoleh. “Iya-iya, aku udah bangun kok!” serunya, sedikit kesal.
Dengan susah payah, Askara bangkit dan berjalan terpincang-pincang menuju pintu. Saat membukanya, sosok Fitri berdiri di ambang pintu. Wajah gadis itu terlihat sembab dengan bibir terkatup dan ekspresi yang sulit diartikan. Tatapan matanya, sarat dengan kesedihan.
“Ifal, mau dikuburin pagi ini.” ucapnya lirih.
Askara terdiam. Dingin merayapi tengkuknya. Seketika bayangan Ifal memenuhi benaknya.
“Ayo, Ra. Kita harus cepat ke pemakamannya. Aku ingin menemani Ifal ke peristirahatan terakhirnya. Adit lagi sakit, jadi dia nggak bisa ikut kita.” lanjut Fitri, suaranya penuh permohonan.
Askara mengangguk dan berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Namun, langkahnya yang sedikit tertatih tidak luput dari perhatian Fitri.
“Kakimu kenapa?” tanyanya, nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.
Askara berhenti dan menjawab dengan nada santai.”Semalam kesandung kayu di depan rumah. Jangan khawatir, cuma tergilir sedikit kok.”
“Tapi nggak apa-apa, kan?”
“Nggak, bentar lagi juga sembuh.” jawabnya sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.
Dalam hati, Askara enggan menceritakan kejadian sebenarnya kepada Fitri. Apa yang ia alami semalam terlalu aneh dan berbahaya. Menceritakannya hanya akan membuat Fitri semakin khawatir. Setidaknya, ia harus mencari waktu yang tepat sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tiga puluh menit kemudian, Askara sudah siap berangkat. Ia berpamitan kepada kedua orang tuanya. Awalnya, ibunya sempat ragu untuk mengizinkan ketika mengetahui keadaan Askara, terlebih karena mereka akan singgah di pemakaman Ifal sebelum ke sekolah. Namun, melihat Fitri yang sudah repot-repot menjemput, serta mengingat Ifal adalah sahabat mereka yang paling baik, akhirnya ibunya mengangguk. Dengan restu itu, mereka pun berangkat menggunakan mobil yang sama seperti kemarin malam, milik ayah Fitri.
Sesampainya di pemakaman, suasana duka langsung terasa. Isak tangis terdengar dari keluarga dan teman-teman Ifal yang datang melayat. Dekat makam, seorang wanita duduk bersimpuh. Wajahnya lelah dan matanya bengkak. Itulah ibu Ifal. Ia menatap nisan putranya tanpa berkata apa-apa, seolah masih tak percaya anaknya telah tiada.
Fitri pelan-pelan mendekati ibu Ifal dan menyapanya dengan suara pelan.”Bu?”
Wanita itu mengangkat wajahnya. “Fitri?”
“Iya, Bu, Ini aku.”
Tanpa berkata apa pun, ibu Ifal langsung memeluk Fitri. Tangis mereka pecah, saling menguatkan dalam duka yang sama. Askara hanya berdiri di samping, ikut larut dalam kesedihan meski tak mampu berkata apa-apa. Setelah beberapa saat, tangis itu mulai reda. Suasana berubah menjadi obrolan berat yang tak bisa dihindari, tentang hasil visum dan bagaimana Ifal ditemukan.
“Dokter bilang Ifal kena anemia parah dan serangan jantung.” kata ibu Ifal dengan suara bergetar. “Tapi yang aneh, tubuhnya penuh luka.”
Fitri dan Askara saling berpandangan. “Luka? Maksudnya?” tanya Fitri pelan.
“Ya, seperti gigitan. Awalnya dikira gigitan ular, tapi tidak ada racun. Yang lebih mengerikan, lukanya mirip gigitan taring manusia.”
Fitri langsung menutup mulutnya, terkejut. Jantungnya berdebar kencang.
Askara menatap ibunya lekat-lekat. Pikirannya bergolak, mencoba merangkai semua petunjuk, luka gigitan, bunga mawar putih dan kini Ifal. Ada benang merah yang belum ia pahami.
Ia menelan ludah, lalu bertanya pelan namun penuh tekanan.”Bu... polisi bilang apa soal kejadian ini?”
Ibu Ifal menghela napas panjang. “Katanya, belum ditemukan bukti kekerasan. Nggak ada saksi. Polisi masih menyelidiki, tapi semuanya terasa misterius. Ibu sebenarnya curiga kalau polisi menutup-nutupi kasus ini. Sebelumnya juga pernah ada kasus serupa, korbannya kalau nggak salah namanya…”
“Anita” Fitri memotong ucapan ibu Ifal.
“Nah iya, kalian temannya juga kan?”
“Iya.” Fitri dan Askara mengangguk mantap.
Askara merasa, semua ini tak bisa dianggap kebetulan. Ada sesuatu yang ganjil dan ia harus menyelidikinya lebih jauh. Lalu, perlahan ia menoleh ke arah Fitri.
“Fit, kita ke kuburan Anita yuk, ada yang ingin aku pastiin.”
“Kenapa memangnya, Ra?” Tanya Fitri.
“Ntar aja aku ceritain disana.”
Fitri tambah penasaran. Tapi dia mencoba bersabar. Mereka berpamitan pada ibu Ifal dan melangkah mendekati kuburan. Begitu sampai, Askara menatap nisan sahabatnya dengan diam yang penuh makna. Dia memikirkan kejadian semalam. Tapi tiba-tiba Fitri memulai obrolan.
“Dua sahabat kita udah pergi. Apa nanti giliran kita, Ra?” lirih Fitri, suaranya bergetar.
Askara menoleh, melihat wajah Fitri yang dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Matanya tampak basah dan tubuhnya sedikit gemetar.
Tanpa pikir panjang, Askara mengangkat tangannya dan merangkul pundak Fitri, bukan karena keberanian, tapi karena ia tahu, saat ini mereka sama-sama butuh sandaran. Fitri sempat terkejut, namun tak menolak. Perlahan, ia membiarkan dirinya bersandar.
“Aku nggak tahu, Fit. Tapi aku bakal jagain kamu terus.” gumam Askara pelan. “Jadi nggak perlu takut.”
Fitri menoleh sambil tersenyum tipis. “Jagainnya bareng Adit juga kan, Ra.”
Senyum kecil terbentuk di wajah Askara, walau sedikit dipaksakan. “Iya... sama Adit juga.” Padahal, dalam hati, ia ingin momen ini hanya milik mereka berdua.
Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata. “Fit, sebenarnya ada sesuatu yang harus aku ceritain. Aku rasa ini waktu yang pas.”
Fitri menaikkan alis, curiga. “Apa?”
Askara menelan ludah. “Semalam aku lihat Anita. Aku kejar dia, tapi dia menghilang.”
“Kamu nggak ngarang kan? Aku nggak suka bercandaan kayak gitu.” Nada Fitri tegang.
“Nggak, Fit. Aku serius. Aku kenal wajahnya. Itu beneran Anita. Tapi dia pucat banget. Kayak zombie.”
Fitri terdiam. Napasnya memburu. “Maksud kamu, kamu pikir Anita bangkit dari kubur, jadi hantu?”
Askara menggeleng pelan. “Bukan hantu sih, aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku yakin dia nyata.”
Fitri cepat-cepat menggeleng. “Ra, ini udah kelewat batas. Aku nggak mau bahas yang aneh-aneh kayak gitu.”
Tapi Askara tetap bersikeras. “Kalau kamu masih nggak percaya, aku tunjukin sesuatu lagi.”
Dengan ragu, Fitri mengikuti kemana Askara melangkah. Dia berjalan ke sudut pemakaman, di dekat pohon jambu tua. Di sanalah kuburan Anggara berada, anak yang meninggal karena penyakit yang sama seperti Anita.
“Semalam aku lihat dua orang ngebongkar makam ini. Aku sempat kepergok dan mereka ngejar aku.”
Fitri mengamati sekeliling, skeptis. “Tapi lihat deh, kuburannya masih utuh, kok.”
Askara menyapu pandangannya ke sekeliling. Mencari-cari jejak pembongkaran semalam. Namun tidak mendapatkannya. Semuanya terasa wajar.
“Hmm, kok aneh ya. Aku rasa, mereka belum selesai. Aku curiga kalau mereka mau ngebangkitin seseorang dari kuburan ini.”
Fitri memandangnya lekat-lekat, berusaha mencari kepastian dari mata Askara. “Kamu serius ngomong kayak gitu?”
“Iya Fit. Soalnya aku ketemu Anita. Dia hidup lagi. Jadi aku juga curiga kalau pemilik kuburan ini, hidup lagi.”
“Kamu lagi demam, ya?” Fitri mengangkat tangan, menepuk dahinya sendiri”
Askara menghela napas. “Nggak sih. Makanya aku mau cari tahu kebenaran semua ini. Malam ini, aku mau ngintai makam Ifal. kamu mau ikut nggak?”
Fitri terlihat ragu. “Kamu yakin dia bakalan bangkit juga?”
“Aku nggak yakin. Tapi aku harus buktiin.”
“Serem, tapi cuma kita berdua?”
“Iya. Adit kan lagi sakit. Lagian dia pasti ogah diajak ke kuburan malam-malam.”
Fitri berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Yaudah. Jam tujuh malam ya. Tapi serius, aku masih setengah percaya nih.”
Askara tersenyum lebar, lega bukan main. “Nggak apa-apa setengah juga. Ntar malam, semuanya bakal terbukti kok.” Dia terdengar percaya diri.
Ia pun melanjutkan.”Oh iya, semalam aku juga ketemu William.”
“William? Anak yang diceritain Ifal? Kok bisa?”
“Aku nggak sengaja ketemu dia pas lagi dikejar pembongkar makam. Katanya dia lagi ronda, tapi kamu tahu sendiri kan, desa kita udah lama nggak ada yang ronda. Apalagi dia bilang kalau dia pendatang baru.”
“Terus?” Fitri makin tertarik.
“Dia sempat bilang mau cegah pembongkaran makam. Tapi alasannya ngambang. Padahal aku lagi tanya soal Ifal. Aku rasa dia tahu sesuatu.”
Fitri mengangguk paham. “Jadi, kamu mau ke rumahnya dulu sebelum ke kuburan?”
“Iya. Kita ke sana dulu jam lima sore. Siapa tahu ada petunjuk. Oke nggak?”
Fitri menyetujui dengan anggukan.
Askara hampir tak bisa menahan senyumnya. Meski Fitri masih setengah ragu, dia bersedia ikut. Dan itu sudah cukup membuat hati Askara hangat.
Dia tahu, rencana ini gila. Tapi menjalankannya bersama Fitri, entah kenapa terasa lebih masuk akal dan menyenangkan.
Di depan rumah yang menjulang tinggi dengan pagar besi hitam, Askara mencoba menekan bel berulang kali. Suara denting bel berdengung lirih dari dalam, namun tetap sunyi. Tak ada satu pun jawaban.
“Ra, kayaknya mereka nggak ada di rumah deh.” Ucap Fitri datar, sembari mengitari pagar yang disampingnya dipenuhi sulur tanaman kering.
“Kayaknya sih iya.” gumam Askara. Tatapannya tetap terpaku ke jendela yang tertutup tirai tebal di lantai dua, gelap tak bernyawa.
“Ntar aja deh kita balik lagi kesini.” ujar Fitri sembari membenarkan posisi ranselnya. “Buang-buang waktu kalau di sini terus. Kita kan mau ngintai kuburan Ifal.”
Askara mengangguk pelan, setuju.
Meski kakinya berbalik menjauh, pikirannya masih tertinggal di rumah tua itu. Mereka pun melaju dengan motor menuju pemakaman umum. Satu hal yang pasti, tekad Askara belum berubah. Ia akan menguak semua rahasia, menyingkap kebenaran yang disembunyikan.
Malam pun tiba. Sesuai rencana, Askara dan Fitri menyelinap ke pemakaman. Mereka bersembunyi di balik bukit kecil yang cukup tinggi untuk melihat area kuburan dengan jelas, tanpa ketahuan.
Fitri membawa teleskop kecil agar bisa melihat lebih jelas di kegelapan. Angin malam berembus pelan, membuat suasana makin mencekam. Askara melirik Fitri yang serius mengamati, lalu tersenyum tipis. Meski takut, ia senang tidak sendirian. Ada orang yang dia sukai di sampingnya.
“Kamu siap, Fit?” bisiknya.
Fitri mengangguk. “Semoga ini nggak buang-buang waktu lagi ya, Ra.”
“Nggak dong.” Askara menjawab santai.
Waktu terus berjalan. Hingga pukul sepuluh malam, pemakaman masih sepi. Fitri mulai bosan dan menguap beberapa kali.
“Sabar, Fit. Kita tunggu sedikit lagi. Aku yakin mereka bakal datang.” kata Askara.
Pukul sebelas malam, udara mendadak terasa lebih dingin. Tiba-tiba, Askara melihat dua sosok pria masuk dari gerbang pemakaman, membawa sekop.
“Fit, lihat! Itu mereka!” bisik Askara cepat.
Fitri langsung mengangkat teleskop dan mengamati. Dua pria itu mendekati kuburan Ifal dan mulai menggali. Gerakan mereka cepat dan terlatih.
“Mereka mau ngapain?” suara Fitri bergetar. “Kita harus cegah mereka!” Fitri bersiap berdiri.
Askara menahannya. “Jangan dulu. Biarin aja dulu, Biar kita tahu apa yang mereka lakuin.”
Mereka tetap diam, menyaksikan dalam tegang. Setelah satu jam menggali, dua pria itu menarik sesuatu dari dalam liang. Perlahan, sosok tubuh muncul, itu Ifal.
Tubuhnya kotor oleh tanah, kafannya sudah robek. Kulitnya pucat, dadanya telanjang, matanya kosong. Ia bangkit dari kubur.
Fitri membeku. “Nggak mungkin.” bisiknya.
Askara mengambil teleskop dan melihat lebih jelas. Jantungnya berdebar keras. Ini bukan mimpi.
Tiba-tiba, leher Fitri terasa dingin. Sesuatu melingkarinya erat.
“Ahh! Apa ini?!” Fitri meronta.
Askara menoleh dan membelalak. Sepasang tangan pucat mencekik Fitri. Tangan yang dingin seperti es.
“Siapa kamu? Lepasin dia!” teriak Askara.
Sosok itu tak menjawab. Rambutnya dikuncir dua. Wajahnya kosong. “Anita?”
Namun ada yang berbeda. Bibir Anita membuka lebar, terlalu lebar, memperlihatkan dua taring panjang berkilau di bawah sinar bulan.
Fitri mencoba menoleh, tapi Anita makin cepat mendekatkan wajah ke leher Fitri, siap menancapkan taring.
“Anita, jangan!” teriak Askara panik.
Detik berikutnya, suara robekan daging terdengar lirih, basah dan mengerikan. Jeritan Fitri tertahan di tenggorokan. Askara hanya bisa terpaku, tubuhnya membeku oleh teror yang belum pernah ia rasakan. Anita, kenapa kamu berubah jadi monster? Malam yang hening berubah menjadi malam penuh teror.