“Askara!”
“Askara!”
“ASKARA!”
“Bangun kamu!”
Suara lantang Pak Surya, guru IPA, menggema di seluruh kelas. Wajahnya merah padam, napasnya memburu menahan amarah. Murid-murid lain tertawa geli melihat Askara terbangun dengan ekspresi kebingungan.
Namun, tidak demikian bagi Fitri, Adit dan Ifal. Sebagai sahabat dekat Askara, mereka justru saling bertukar pandang, bingung sekaligus heran. Bisa-bisanya Askara tertidur di kelas. Biasanya dia kuat menahan ngantuk.
Memang, pelajaran IPA yang dibawakan oleh Pak Surya sering kali terasa membosankan. Tapi tetap saja, teman-teman yang lain kuat melewati pelajaran ini, tapi dia tidak.
“Lagi-lagi kamu nggak serius sama pelajaran saya, Askara! Ini sudah kesekian kalinya kamu nggak menghargai saya sebagai guru. Bolos lah, ribut lah, sekarang tidur!”
Askara menguap panjang, mengusap matanya yang masih berat. “Huahhh, kenapa sih, Pak? Baru juga sarapan, tidur tuh bagus buat pencernaan.”
Tawa semakin pecah di kelas, membuat Pak Surya semakin geram. Dengan gerakan cepat, ia melempar spidol ke arah Askara.
Bugh! Spidol itu mendarat tepat di dahinya.
“Aduh!” Askara mengaduh sambil mengusap kepalanya.
“Kalau kamu mau tidur, jangan di kelas saya! Sekarang, keluar!”
Mau tak mau, Askara bangkit dari bangkunya dengan wajah kesal. Dengan langkah santai, ia menuju pintu kelas, sama sekali tak menghiraukan omelan Pak Surya yang masih berlanjut di belakangnya.
Namun, di tengah langkahnya, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Anita yang duduk sendirian di bangku barisan kedua dari belakang. Wajahnya tampak pucat, seperti sedang tidak enak badan. Matanya menatap kosong ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya.
Askara ingin bertanya, memastikan apakah sahabatnya itu baik-baik saja. Tapi pertanyaan itu tertahan di tenggorokan karena suara Pak Surya terus memaksanya untuk segera pergi meninggalkan kelas. Askara menghela napas, langkahnya berat, ada pertanyaan yang tak sempat dia tanyakan.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Askara menghela napas panjang, bahunya sedikit turun. Ia mendesah pelan, menatap kosong ke depan sambil menggeleng pelan.
“Dasar Pak Surya nyebelin.” Gerutunya.
Dengan langkah malas, Askara berjalan menuju taman sekolah. Sepanjang perjalanan, pikirannya kini tertuju pada Anita. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya hari ini. Biasanya, Anita selalu energik dan cerewet, tapi tadi ia tampak lesu.
“Anita kenapa ya? Bad mood banget kayaknya, jangan-jangan.” gumam Askara. “Ah, masa bodo deh.” Lanjutnya, berusaha menepis rasa penasaran.
Ia menyapu pandangan ke sekitar taman, mencari tempat untuk duduk dan menenangkan pikirannya. Kondisi taman saat itu sepi. Banyak bangku-bangku kosong berjajar rapi menunggu Askara untuk menduduki salah satu diantara mereka. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Murid-murid lain masih di kelas. Askara mendekati bangku di pojokan, duduk dan hendak melanjutkan tidurnya.
Tapi sesekali Askara menyapu pandangan ke bangunan sekolah yang menurutnya terlihat menyedihkan. Karena sekolahnya bukanlah sekolah mewah dengan bangunan modern yang menjulang tinggi.
Sebaliknya, sekolah itu berdiri di atas bangunan peninggalan Belanda dengan gaya Indische Empire yang masih mempertahankan ornamen-ornamen khas kolonial. Cat dindingnya sudah banyak mengelupas, memperlihatkan lapisan kusam yang semakin menegaskan usia bangunan tersebut. Beberapa sudut ruangan sering kali terasa menyeramkan, terutama saat malam tiba, seolah menyimpan kisah-kisah lama yang enggan dilupakan.
Ada beberapa ruangan yang belum pernah Askara masuki. Bukan karena dilarang, tetapi karena tempat-tempat itu selalu tercium bau apak yang menyengat, membuatnya tak nyaman bahkan hanya untuk sekadar melintas di depannya.
Namun, dari semua hal itu, yang paling mencolok adalah lokasi sekolahnya. SMA ini berdiri di sebuah desa terpencil, satu-satunya sekolah yang ada di sana. Desa itu bernama Tatar Loka Kumayan, sebuah nama yang nyaris tak pernah terdengar, bahkan nyaris tak tercantum di peta.
Letaknya tersembunyi di balik hutan bambu rimbun yang seolah disengaja untuk menjauhkannya dari dunia luar. Butuh perjalanan panjang untuk mencapainya. Tak heran jika hanya segelintir orang yang mengetahui keberadaan sekolah ini, apalagi memahami kehidupan di dalamnya.
Askara menghela napas panjang, mencoba mengabaikan pikirannya tentang sekolah. Ia membaringkan tubuhnya, berniat memejamkan mata sejenak. Namun, belum sempat ia terlelap, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar mendekat.
Dengan enggan, ia membuka matanya dan mendapati Anita berdiri di depannya. Gadis itu terengah-engah, satu tangannya bertumpu pada pinggang, sementara alisnya menekuk tajam ke bawah, ekspresi wajahnya penuh kekesalan. Tidak ada tanda-tanda wajah pucat karena sakit. Raut wajah itu jelas berbeda dari saat terakhir Askara meninggalkannya di kelas.
“Lah si cewek berisik, ngapain sih dia kesini?” Dengus Askara heran. Kedatangan Anita mengusik ketenangannya.
“Ih, Askara! Serius deh, kamu tidur siang jam segini? Dasar pemalas!”
Anita. Gadis berkepang dua itu menatapnya dengan tatapan jengkel.
Askara mengerjap malas. “Kamu juga, ngapain di luar kelas? Diusir sama Pak Surya ya?”
“Sorry ya, aku udah selesai ulangan duluan, makanya boleh keluar.”
“Oh gitu, bagus dong.”
“Bagus apanya? kamu tuh ya, kalau begini terus, bisa nggak lulus, tahu!”
Askara mengedikkan bahu. “Yaudah lah nggak apa-apa, lagian jadi anak SMA kan enak. Lulus juga paling ujung-ujungnya nganggur.”
Mata Anita melebar. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Kamu ini ya! Kenapa sih nggak pernah serius mikirin masa depan?!”
“Terserah aku lah.” Jawab Askara ketus. Ia bangkit dari bangku dan berjalan meninggalkan Anita. Gadis itu mendengus kesal, tapi tidak mengejarnya. Ia tahu percuma berdebat dengan Askara yang keras kepala.
Anita adalah orang yang selalu ada di dekat Askara. Di mana ada Askara, di situ ada Anita. Kedekatan mereka begitu alami hingga teman-teman mereka sering salah paham, mengira perhatian itu sebagai tanda cinta.
Pernah suatu kali, saat Askara membolos sekolah, Anita datang ke rumahnya sambil membawa setangkai mawar putih. Ia mengira Askara sedang sakit, ingin menjenguk dan memastikan keadaannya. Namun, kenyataannya, Askara hanya malas masuk sekolah.
Askara sebenarnya tak pernah benar-benar tertarik pada Anita setidaknya tidak seperti yang orang-orang bayangkan. Namun, ada sesuatu dari diri Anita yang membuatnya terpaksa ‘nyaman’: perhatian dan kepeduliannya. Askara memanfaatkannya, terutama untuk urusan pelajaran. Tapi yang paling penting, Anita dekat dengan seseorang yang diam-diam sangat ia sukai, Fitri.
Fitri adalah gadis pindahan dari sekolah kota yang merupakan sahabatnya, namun berada di dekatnya membuat Askara terlihat bodoh karena gugup.
Suatu sore di kafe kecil, Askara, Anita dan Fitri sedang mengerjakan tugas kelompok. Anita seperti biasa cerewet, berusaha menarik perhatian. Tapi pikiran Askara justru tak lepas dari Fitri.
Diam-diam, ia menarik kursi Anita mendekat, bukan karena ingin dekat dengannya, tapi agar ia bisa terlihat santai di hadapan Fitri. Tangannya sempat bersentuhan dengan Anita, tapi hatinya tetap berdebar karena Fitri.
“Eh, Nit, tau makanan favorit aku nggak?” tanya Askara tiba-tiba.
“Mie kocok, kan?” sahut Anita semangat.
“Tau aja kamu.” ujarnya singkat, lalu beralih ke Fitri. “Kalau kamu, apa Fit?”
“Nasi Kebuli.” jawab Fitri.
Askara berpikir sejenak. “Oh, yang ayamnya di-oven itu ya?”
“Di oven?” Fitri tertawa. “Itu namanya di-rotisserie, Ra.”
“Oh, hehe.” Askara terkekeh menyadari sikapnya yang sok tahu.
Akhirnya Anita segera menjelaskan panjang lebar tanpa diminta, tapi Askara tak benar-benar mendengar. Fokusnya hanya pada tawa Fitri yang ringan, cara bicaranya yang tenang. Ia ikut tertawa, menghilangkan rasa canggung.
“Maaf kalau aku sok tahu.” Ucap Askara.
“Nggak apa-apa.” Fitri menanggapi santai.
Suasana menjadi lebih cair dan obrolan pun semakin hangat. Semuanya berkat kehadiran Anita yang tanpa sadar membuat Askara lebih nyaman mengobrol dengan Fitri.
Namun, tidak selalu begitu. Ada saat-saat dimana Anita terasa merepotkan, hampir menyesakkan. Seperti hari ini, ketika Askara hanya ingin bersantai, Anita malah datang menghampirinya.
Askara mendesah pelan. Sudah beberapa kali ia mencoba menghindar, tapi Anita selalu menemukan caranya untuk tetap ada di dekatnya.
Di kantin, Askara menghela napas lega. Akhirnya, ia bisa terbebas dari omelan Anita, setidaknya untuk sementara. Baru saja ia hendak membeli jajanan, ponselnya bergetar di saku. Ia melirik layar, nama Adit terpampang di sana.
“Ra, cepetan ke kelas! Ada kejadian heboh!”
“Apaan?”
“Kesini aja, cepetan!”
Adit menutup teleponnya tanpa penjelasan lebih lanjut. Jantung Askara berdegup lebih cepat. Ia segera meninggalkan kantin dan berlari menuju kelas. Berusaha secepat mungkin agar tidak tertinggal berita heboh yang dimaksud.
Tapi di pertengahan jalan, Askara teringat sesuatu, dia berhenti dan mencari-cari keberadaan Anita yang tadi sempat mengomel padanya. Akan tetapi dia tidak mendapati siapapun ada di taman. Sepi. Ia pikir Anita mungkin mendapat telepon dari Adit dan segera menuju kelas tanpa peduli padanya.
Namun setibanya di kelas 12-B, kelas Askara, dugaannya salah, ia terkejut melihat sekelompok murid telah berkumpul di depan pintu. Wajah mereka dipenuhi keterkejutan dan ketakutan. Bisikan-bisikan panik terdengar di antara mereka.
“Ada apa sih?” tanya Askara, mencoba mencari tahu.
“Ada yang pingsan pas ulangan. Mulutnya keluar busa.” jawab seorang siswa dengan wajah panik.
Alis Askara terangkat dan dahinya berkerut karena heran dengan apa yang dia dengar. Alhasil dia merasakan dorongan kuat untuk masuk. Ia menerobos kerumunan dan melihat ke dalam kelas.
Di sana, tubuh Anita tergeletak di bangkunya. Wajahnya pucat, lidahnya menjulur dan busa keluar dari mulutnya. Guru-guru tampak panik, mencoba menolongnya.
“Awas-awas jangan dorong-dorong, jangan masuk.” Suara Pak Surya yang menjaga pintu kelas terdengar lantang.
Dada Askara terasa sesak, ada sesuatu yang gawat terjadi. “Pak! Beneran itu Anita?!” Tanyanya pada Pak Surya.
Pak Surya menoleh. “Ya, dia tiba-tiba pingsan pas ulangan.”
“Tapi tadi aku baru aja ketemu dia di taman!”
Pak Surya mengernyit. “Masa? Dia nggak keluar-keluar kok sejak tadi.”
Askara tertegun. Ini tidak masuk akal. Perasaannya mulai kacau. Dia segera mendorong dirinya keluar dari kerumunan, berusaha menjauh, lalu mencari-cari keberadaan Adit untuk mendapatkan informasi lebih jelas mengenai apa yang terjadi.
“Ra, disini!” Adit yang melihat Askara kebingungan, melambaikan tangan di tengah kerumunan siswa. Askara yang melihatnya segera berlari kecil menerobos kerumunan dan menghampiri Adit.
“Dit, Anita kenapa?” Tanya Askara terengah-engah.
“Nggak tahu.” Jawab Adit. “Kata Fitri sih tadi dia pucet banget pas tau bakal ada ulangan dadakan dari Pak Surya, terus histeris dan langsung pingsan.”
“Astaga.” Ucap Askara dengan kepala yang tersentak ke belakang. Dirinya terkejut dan khawatir akan keselamatan Anita.
Tak lama kemudian, tim medis datang membawa ranjang dorong ke dalam kelas. Semua siswa diminta memberi jalan, tim medis tergesa-gesa membawa Anita masuk ke dalam ambulans untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Guru-guru meminta siswa untuk membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing. Mereka mengatakan kalau semuanya sudah terkendali dan akan baik-baik saja.
Askara dan Adit memperhatikan kepergian Anita yang dibawa tim medis menjauh dari kelas. Perasaan heran dan khawatir menghantui dirinya.
Sepanjang pelajaran, pikiran Askara melayang. Ia tidak bisa melupakan pertemuan anehnya dengan Anita sebelum kejadian itu. Bahkan sampai jam pulang sekolah tiba. Askara dan teman-temannya membicarakan kejadian yang baru menimpa Anita.
Sore itu setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka berjalan meninggalkan sekolah bersama-sama. Fitri, Adit dan Ifal, melangkah tergesa sambil berbincang, dipenuhi rasa penasaran dan kepanikan. Adit membuka pembicaraan. “Yuk, kita mampir jenguk Anita!”
“Ayuk!” sahut Fitri dan Ifal hampir bersamaan.
Askara mengerutkan dahi. “Emang kalian tahu Anita dibawa ke rumah sakit mana?”
Ketiganya saling berpandangan sebelum menggeleng. “Aduh, aku lupa tadi nggak nanya.” jawab Adit akhirnya.
Askara mendesah pelan. “Dasar, ntar aja lah, kalau infonya sudah jelas.”
“Hmm, Iya deh kalau gitu.” Jawab Adit lesu.
Akhirnya mereka setuju dengan usulan itu. Obrolan pun berlanjut, kali ini tentang pertemuan Askara dengan Anita di taman sebelum kejadian. Namun, teman-temannya justru menanggapinya dengan skeptis.
“Yakin nggak mimpi, Ra? Jangan-jangan kamu mulai baper sama Anita?” ujar Fitri mengejek.
“Iya, bisa jadi kamu mulai naksir sama dia.” Ucap Adit, menggoda.
Askara mendengus, langsung menepis tuduhan itu. “Sumpah, aku nggak bohong! Tadi aku beneran ketemu dia!”
Namun, tidak ada yang benar-benar percaya. Bahkan Ifal yang merupakan sahabat paling terdekatnya, tidak berkomentar. Dia hanya tersenyum. Akhirnya Askara menyerah dan membiarkan mereka menganggapnya bercanda.
Pembicaraan beralih ketika Ifal, yang rumahnya berdekatan dengan Anita, bercerita tentang kejadian aneh yang ia perhatikan beberapa hari terakhir.
“Semalam rumah Anita kedatangan tamu sampai larut. Lampunya masih menyala sampai sekitar jam satu pagi.” katanya, sedikit berbisik.
“Hah? Tamu siapa?” tanya Fitri penasaran.
Ifal menggeleng. “Nggak tahu.”
Askara mengerutkan kening. “Terus, hubungannya sama kejadian Anita apa?”
“Mungkin dia kelelahan gara-gara itu, makanya dia pingsan di sekolah.” jawab Ifal, mencoba menganalisis.
“Masa sih” Sergah Askara yang kali ini tidak percaya pada cerita temannya. “Nggak mungkin terima tamu sampe larut, pingsan nya sampe parah kayak tadi.” nada bicara Askara berubah serius.
Ifal menghela napas. “Mungkin aja, soalnya ini udah kejadian ketiga kalinya minggu ini. Sering banget.”
Fitri dan Adit saling berpandangan, tampak terkejut. Fakta itu membuat semuanya semakin misterius.
“Ah kita nggak bisa asal nebak.” kata Askara akhirnya. “Mending kita tanya langsung aja sama dia pas nanti jenguk.”
“Okay.” sahut Ifal, Fitri dan Adit bersamaan.
Meskipun percakapan berakhir di situ, pikiran Askara tetap dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Siapakah yang dia temui ditaman?
Malamnya, Askara masih resah. Ia mengurung diri di kamarnya, mencoba mengalihkan pikiran dengan bermain gim di ponselnya.
Kamar Askara berada dekat dengan pinggir lahan kebun milik ayahnya. Jendela persis menghadap kebun, membuatnya bisa dengan jelas melihat hamparan kebun luas di balik jendela tersebut. Kebetulan Askara adalah remaja yang pemberani, jadi dia tidak takut akan hal apapun. Apalagi soal hantu dan sejenisnya. Dia tidak percaya.
Namun, tiba-tiba, tepat pukul sembilan malam terdengar sebuah suara.
TUK! TUK! TUK!
Kaca jendela kamarnya diketuk.
Askara menoleh. Napasnya berhenti sejenak mencoba menganalisis.
Suara apa itu? pikirnya dalam diam.
“Askara, maafin aku, aku nggak bisa nemenin kamu lagi.”
Tubuhnya membeku. Itu suara Anita.
“Makasih buat semuanya. Aku pamit ya.”
Keterkejutan merayapi tubuhnya. Ini kali pertama dia merasakan sensasi yang aneh sejak menempati kamar dekat kebun ayahnya. Dadanya naik turun cepat. Dengan tangan gemetar, ia menatap jendela yang tertutup rapat. Terkunci dan ditutupi gorden tebal.
“Anita, itu kamu?” Tanya Askara.
Dia menunggu-nunggu suara itu datang menjawab. Namun seketika sunyi. Tidak terdengar apapun, bahkan hewan malam pun tidak. Suara itu menghilang.
Merasa aman, Askara membuka jendela kamarnya, tapi dia tidak menemukan siapapun atau apapun berada disana.
“Ah, perasaanku aja kali.” Gumamnya mencoba menenangkan diri.
Akhirnya dengan perasaan curiga, Askara meraih ponselnya dan mengirim pesan ke grup teman-temannya. Menceritakan semua yang terjadi pada dirinya barusan.
Semua orang terkejut. Ifal, Fitri dan Adit. Mereka memberikan berbagai tanggapan, ada yang percaya, ada yang menganggapnya hanya berhalusinasi dan ada yang menganggapnya sebagai tanda kalau Askara mulai menaruh rasa pada Anita.
Askara lagi-lagi kesal mendapati pesan temannya itu, kemudian dia membalas dengan kalimat tidak suka. Teman-temannya hanya tertawa menanggapi.
Namun, esok paginya,
Pesan baru muncul di grup. Ifal, sahabat mereka, menulis sesuatu yang membuat Askara membeku di tempat.
“Guys, Anita meninggal tadi malam. Jam sembilan.”
Saat itu juga, Tangan Askara tiba-tiba mengepal ponsel dengan erat tanpa sadar. Bola matanya melebar membaca pesan yang muncul dilayar. Dia terkejut setengah heran. “Kok bisa?”
Diskusi di grup terus berlanjut hingga tanpa sadar Askara kehilangan jejak waktu. Saat melihat jam, jantungnya berdegup kencang. “Gawat.” gumamnya panik. Ia sudah terlambat ke sekolah!
Kabar kematian Anita mengejutkan seluruh sekolah. Ia masih terlalu muda untuk pergi. Sebagai penghormatan, doa bersama digelar. Suasana kelas hening, bangku Anita kini hanya dihiasi setangkai mawar putih, simbol perpisahan terakhir.
Pelajaran tetap berlanjut walau dalam masa berkabung, hingga bel pulang berbunyi, membuat Askara merasakan perasaan yang campur aduk. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Bukan hanya soal kematian Anita, tetapi juga kejadian semalam, suara yang datang dari jendelanya.
“Kamu kenapa Ra?” Tanya Fitri ketika melihat Askara yang melamun. Sambil Fitri masih sibuk merapikan buku pelajaran untuk bersiap meninggalkan kelas.
“Eh, kamu Fit. Nggak apa-apa kok. Ada sedikit yang aku pikirin aja. Ngomong-ngomong kita jadi ke rumah Anita?”
“Jadi dong.” Adit yang menjawab dari belakang. Membuat mereka terkejut.
“Oh.” Askara menanggapi dengan lesu.
“Kamu nggak mau ya?” Tanya Adit yang memperhatikan perubahan ekspresi Askara.
“Mau. Yaudah yuk.”
Mereka melangkah keluar dari kelas dengan langkah berat. Beberapa guru menghampiri dan mengajak mereka bersama untuk mengunjungi rumah Anita, menyampaikan belasungkawa kepada keluarganya.
Begitu tiba di sana, Ibu Anita menyambut mereka dengan mata sembab dan senyum sendu. Suasana rumah terasa sunyi, seolah kehilangan cahaya yang pernah menerangi.
Fitri langsung menutup mulutnya ketika mengetahui Anita sudah benar-benar tiada dan terkubur di tanah basah pemakaman umum di balik hutan bambu tadi siang.
Ia berusaha menahan isak yang mulai pecah. Bahunya bergetar hebat, matanya berkaca-kaca, mencoba menahan air mata yang terus menggenang. Namun, pada akhirnya, tangisnya pecah, menyelimuti ruangan dengan kesedihan yang begitu dalam.
Askara, Ifal dan Adit berdiri terpaku, masih sulit percaya Anita benar-benar telah tiada. Bagi Askara, kehilangan ini menyisakan penyesalan, tanpa Anita, ia harus mendekati Fitri sendirian, hati-hati agar tak membuatnya risih.
Tangis pecah saat ibu Anita mengenang detik-detik terakhir putrinya, mengukuhkan bahwa duka ini nyata dan bisa menimpa siapa saja.
“Dokter bilang, Anita kelelahan karena anemia, lalu mengalami demam yang membuatnya pusing dan akhirnya kehilangan kesadaran. Mereka memberinya obat agar baikan.”
Sang ibu menjelaskan. Suaranya mulai bergetar, sementara tangannya terangkat mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.
“Tapi tiba-tiba, sekitar jam delapan malam, tubuhnya mulai kejang-kejang hebat. Dokter sudah coba segala cara buat nyelametin dia, tapi.” Napasnya tercekat. “Setelah satu jam, dia nggak tertolong.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Suasana begitu mencekam, seakan udara menjadi lebih berat untuk dihirup. Mata semua orang tertuju pada ibu Anita, tetapi tak ada satu pun yang mampu mengucapkan kata-kata. Yang tersisa hanyalah kesedihan yang menyesakkan.
Suasana ruangan menjadi semakin pilu. Sang ibu hanya bisa menunduk dan menangis, sementara tangannya terus menggenggam erat tangan suaminya.
“Sebenarnya kami heran.” lanjutnya dengan suara parau. “Anita tidak pernah punya riwayat sakit jantung, tapi dokter bilang dia terkena serangan jantung. Itu yang menyebabkan dia meninggal.”
Askara menelan ludah, begitu pula dengan teman-temannya. Hati mereka dipenuhi kecemasan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang terasa janggal, tetapi mereka belum bisa memahami apa itu.
Suasana rumah Anita masih dipenuhi duka. Isak tangis perlahan mereda, tetapi kesedihan tetap menggantung di udara, menyelimuti setiap sudut ruangan. Waktu terus berjalan tanpa mereka sadari, hingga cahaya matahari mulai meredup di ufuk barat.
Hari semakin sore. Langit berubah jingga keemasan, menandakan malam akan segera tiba. Pukul enam petang, Askara dan teman-temannya berpamitan pada keluarga Anita. Mereka berjanji akan sering berkunjung untuk mengenang sahabat mereka.
Ibu Anita mengusap matanya, lalu tersenyum kecil, senyum yang dipenuhi luka dan kehilangan. “Terima kasih, Nak, Terima kasih sudah peduli sama Anita.” Suaranya lirih, namun penuh ketulusan.
Mereka melangkah pergi dengan langkah berat. Meski tubuh mereka meninggalkan rumah itu, hati mereka masih tertinggal di sana, terikat oleh bayangan Anita yang kini hanya tinggal kenangan.
Saat tiba di rumah, Askara langsung masuk ke kamarnya. Menaruh tas di sembarang tempat dan merebahkan tubuhnya di ranjang kasur. Pikirannya kembali melayang-layang. Apa yang terjadi hari ini sungguh membuatnya tidak habis pikir.
Dia memiringkan tubuhnya ke arah jendela kamar. Menatap jendela itu lamat-lamat. Seketika kengerian merayapi tubuhnya. Bayangan peristiwa kemarin malam kini menghantui dirinya, ketukan di jendela dan suara Anita yang berbisik. Mengusik ketenangan nya, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Askara bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju jendela. Merapatkan gorden, memastikan tidak ada celah sedikitpun untuk apapun dapat melihat kedalam atau keluar. Jendela dikunci agar tidak ada yang bisa masuk. Setelah dipastikan aman, Askara kembali ke ranjang dan berusaha memejamkan mata.
Namun, malam itu, Anita datang lagi.
Bukan dari balik jendela.
Tapi dalam mimpi.
Sesaat mata terpejam dan alam berubah menjadi mimpi. Askara melihat Anita berdiri di kamarnya, wajahnya pucat seperti mayat, tatapan mata tajam menatapnya tak berekspresi. Bibir gadis itu menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang rapi namun menakutkan. Gigi taringnya lebih panjang dari manusia normal. Mulut itu bergerak, mengucapkan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Aku bakal sering datang ke rumah kamu, perhatiin kamu.”
Askara terperanjat. Tubuhnya berkeringat dingin saat ia terbangun dengan napas memburu.
Dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat beberapa kali. Mimpi itu seolah nyata baginya. Dia menyapu pandangan ke penjuru ruangan kamar memastikan tidak ada seorangpun yang berdiri disana.
“Buset, mimpi apaan tadi?” Gumamnya sambil mengelap peluh keringat yang mengucur di dahinya. Panik menjalar.
Askara mencoba melirik ponselnya yang tergeletak di meja samping ranjangnya. Dia segera meraih ponsel dan menghubungi teman-temannya melalui pesan di grup.
“Guys, aku mimpi-in Anita. Dia ada dikamar aku dengan wajah nyeremin. Ngeri.”
Sesaat tidak ada balasan dari teman-temannya. Lama menunggu, akhirnya seseorang merespon pesan Askara. Dia melirik ponselnya, ada nama Ifal menelpon dirinya dari seberang sana.
“Halo Ra, kamu nggak apa-apa kan?”
“Iya Fal, Aku nggak apa-apa kok.”
“Yakin? Dari chat kamu, kayak abis lihat hantu.”
“Cuman mimpi, tapi... lumayan bikin merinding sih.”
“Kalau gitu, tarik napas. Biar kamu lebih tenang.”
“Iya.”
“Aku yakin Anita udah tenang di alam sana. Mungkin dia datang cuman buat nengokin teman-temannya aja.”
“Iya kali.”
“Eh, besok kita jadi latihan bareng, kan?”
“Jadi. kamu mau nginep di rumah aku nggak? Sekalian bantu gua belajar buat ujian nanti.”
“Boleh aja, Ra.”
“Sip, thanks Fal.”
“Yoi”
Sambungan telepon diputus. Askara menghela napas, sedikit lega mendengar janji itu. Lalu dia mencoba berbaring di ranjangnya berniat untuk melanjutkan tidur. Sesekali dia melihat ke arah jendela yang terkunci rapat. Membayangkan ada seseorang di baliknya yang mungkin itu Anita. Namun pikiran itu segera ditepis oleh Askara. Dia berusaha memejamkan mata tanpa mencoba membukanya lagi. Hingga rasa ngantuk menghinggapi dan membuatnya tertidur pulas.
Keesokan harinya, Askara berangkat ke sekolah seperti biasa dengan berjalan kaki. Dia biasa melakukannya karena jarak antara sekolah dan rumahnya cukup dekat. Tak butuh waktu lama, dia sampai di gerbang, Dilihatnya Fitri dan Adit sedang berjalan beriringan menuju gedung sekolah. Askara menghampiri dengan berlari kecil.
“Dit, Fit.” Sapanya.
Adit dan Fitri seketika menengok berbarengan. Melihat Askara datang menghampiri, mereka menghentikan langkah menunggu.
“Kamu semalem nggak apa-apa Ra?” tanya Adit sesaat setelah Askara cukup dekat.
“Nggak. Cuman serem aja sih. Tapi nggak apa-apa, cuman mimpi ini” Jawab Askara santai. “Eh, Ifal nggak bareng sama kalian?” Askara kembali bertanya.
Fitri mengangkat bahu. “Nggak tuh. Udah aku WA tadi pagi, tapi nggak di bales-bales.”
“Hmm tumben.”
“Coba aku chat lagi deh” sahut Fitri, mulai mengetik pesan.
Namun, sebelum pesan itu terkirim, seseorang muncul di balik pintu gerbang sekolah.
Ifal.
Askara dan teman-temannya mengernyit. Ada sesuatu yang tidak beres. Cahaya matahari yang menyusup ke halaman sekolah tak mampu mengusir rasa ganjil yang tiba-tiba menyelimuti mereka.
Ifal berjalan pelan, langkahnya terseret seperti seseorang yang kehilangan tenaga. Kulitnya pucat pasi, matanya sayu, seolah malam sebelumnya ia tidak tidur sama sekali.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Fitri khawatir, menghampiri dengan ragu.
Ifal tidak menjawab. Tatapannya kosong, tubuhnya terus melangkah maju menuju gedung sekolah.
Namun, sebelum ia sempat mencapai kelas,
Tubuhnya mendadak ambruk.
Mulutnya berbusa.
Seakan waktu berhenti sesaat, Fitri menjerit panik.
“Aaaah.” Jeritannya memecah ketenangan pagi, membuat semua orang di sekitar gedung sekolah berhamburan mendekat.
Askara terpaku. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Suara bisik-bisik mulai terdengar, merayap di antara para siswa yang mengerumuni Ifal.
“Ini, pasti kutukan Anita.” Ucap salah satu siswa.