Ifal segera dibawa ke ruang UKS oleh beberapa guru. Sebagian lainnya menelpon pihak rumah sakit agar segera mengirimkan ambulans.
Suasana di lorong menuju UKS terasa bergemuruh, semua orang berbisik-bisik dengan prasangka mereka masing-masing. Kekalutan menyelimuti, perasaan tak menentu menghinggapi. Semua orang terlihat gelisah dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
Raut wajah Askara, Fitri dan Adit dipenuhi kecemasan. Mereka terduduk menunggu di depan ruang UKS, kecuali Fitri, sejak tadi dia mondar-mandir gelisah. Dadanya naik turun dengan cepat tak karuan berusaha meredam kecemasan yang terus menggumpal di dadanya.
“Ra, Ifal kenapa? Jangan bilang ini sama kayak yang terjadi ke Anita.” suaranya bergetar ketika bertanya pada Askara, suara itu nyaris tercekat di tenggorokan.
Askara menatapnya sekilas, mencoba menampilkan wajah tenang meski hatinya sendiri penuh tanda tanya. “Aku juga nggak tau, tapi semoga aja Ifal nggak kenapa-napa.” ucapnya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Adit ikut menimpali, berusaha meyakinkan. “Kita doa aja, Fit. Semoga nggak ada hal buruk terjadi. Kayaknya ambulans juga bakalan datang sebentar lagi.”
Tapi Fitri tetap tidak bisa diam. Tangannya menggenggam ujung roknya, meremasnya dengan kuat. Tatapannya terpaku pada pintu UKS, menunggu seseorang keluar dengan kabar baik. Namun, saat petugas UKS akhirnya muncul, wajahnya justru mengabarkan hal sebaliknya.
Ekspresi itu, pucat. Rahangnya mengeras, alis matanya terangkat keatas. Tatapannya menghindari tatapan Fitri.
“Kak, Ifal nggak kenapa-napa, kan?” Fitri langsung menghampiri, suaranya penuh harap sekaligus ketakutan.
Petugas itu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Maaf, saya belum bisa pastikan. Tim medis dari RS akan datang sebentar lagi, kita tunggu aja ya.”
“Jadi, Ifal nggak baik-baik aja Kak?” Fitri bertanya lagi, kini lebih lirih. Suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh detak jantungnya sendiri.
Petugas itu hanya mengangguk pelan sebelum pergi meninggalkan mereka dengan langkah perlahan. Fitri menatapnya lirih, tak ada jawaban yang pasti, hanya kebisuan yang mencekik.
Tak butuh waktu lama, air mata Fitri menggenang. Tubuhnya sedikit gemetar. Askara segera menghampiri, menariknya ke bangku di depan UKS untuk duduk menenangkan diri. Adit ikut duduk di samping mereka, tatapan kosong menatap lantai.
“Sabar Fit.” Ucap Askara. “Kamu masih punya aku kok.” Lanjutnya.
Mendengar hal itu, Fitri terhentak kaget. “Maksud kamu apa?”
“Eh, maksud aku. Aku dan Adit bakal selalu disini buat doain Ifal.”
Mendengar itu, Fitri tidak ambil pusing, dia kembali larut dalam kekhawatiran.
Diluar gedung sekolah, sirine ambulans terdengar mendekat. Orang tua Ifal tiba bersama tim medis. Mereka bergegas lari menuju ruang UKS melewati lorong-lorong kelas. Suasana menjadi lebih tegang. Para murid menyingkir, memberi jalan bagi para petugas yang membawa ranjang dorong masuk ke dalam ruangan.
Sementara itu, Fitri melangkah masuk kedalam ruangan berusaha melihat Ifal sebelum dibawa pergi. Dia mendapati ibu Ifal ada di samping ranjang sedang mengatur tim medis agar berhati-hati memindahkan ifal. Fitri melangkah mendekat ke arah ibu Ifal, keberanian tumbuh dalam hatinya meskipun suaranya masih bergetar.
“Tante, Kenalin, aku Fitri. Teman Ifal. Aku ingin tanya boleh?” Ragu-ragu Fitri meminta izin. Ibu Ifal melirik dan mengangguk pelan. “Apa Ifal sudah kelihatan sakit parah tadi pagi sebelum ke sekolah, tante?”
Sang ibu sedikit termenung memikirkan sesuatu, dengan mata sedihnya dia kemudian menjawab. “Iya, dari pagi dia udah kelihatan nggak enak badan, Ibu sempat suruh dia istirahat di rumah aja, tapi dia maksa pergi ke sekolah, katanya ada ulangan penting.”
“Oh.” Fitri menunduk, matanya mulai berkaca-kaca, seperti ada sesuatu yang tertahan di sana. Fitri mengingat-ingat sifat Ifal yang terkenal rajin. Setiap tugas dikerjakan dengan baik. Bahkan tidak pernah meninggalkan ulangan satu kalipun. Sangat normal baginya untuk memaksakan diri. Namun kali ini, sikapnya jelas tidak bisa diterima oleh Fitri. Fitri merasa bersalah pada dirinya sendiri, karena kurang memperhatikan Ifal. Air matanya sedikit-demi sedikit mulai mengalir.
Askara yang sedari tadi diam tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ada sesuatu yang mengganggunya, firasat buruk yang menggelitik pikirannya. Dia menghampiri ibu Ifal yang sedang berdiri di samping Fitri.
“Tante, mau tanya juga, semalam Ifal kedatangan tamu nggak?”
Adit dan Fitri menoleh bersamaan, kaget dengan pertanyaan itu.
Ibu Ifal terlihat ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Ifal kedatangan tamu, laki-laki seumurannya. Ibu kira itu temannya di sekolah karena mereka mengobrol akrab banget. Kemudian Ifal Izin pergi sama anak itu sekitar jam tujuh malam. Katanya dia pingin ngobrol di kafe, tapi pas Ifal pulang, dia kelihatan bete, terus ngurung diri di kamar.”
Askara merasakan dadanya mencelos. “Tante masih ingat nggak ciri-ciri anak itu?”
Ibunya berpikir sejenak, lalu berkata.”Rambutnya hitam tebal, agak mengerucut ke belakang. Wajahnya lumayan ganteng, dengan hidung agak besar tapi mancung dan mata lebar, hanya saja kulitnya, pucat. Kayak orang sakit.”
“Ibu tahu siapa namanya?”
Sang ibu berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kalau nggak salah, ibu sempat dengar namanya Willie, apa ya? Willi-am.”
“William?” Askara bertanya memastikan.
“Iya.” Sang ibu mengangguk.
Askara merasakan aliran dingin merayapi tubuhnya. Ia menatap Adit dan Fitri yang juga tampak sama tegangnya. Mereka tidak saling berkata, namun mereka yakin, ada sesuatu yang ganjil yang terjadi di antara Ifal dan anak yang disebutkan.
Setelah obrolan singkat itu usai, Ifal dibawa keluar menuju mobil ambulans, kejadiannya sama persis seperti Anita. Askara dan kedua temannya melihat Ifal menjauh dengan perasaan tak karuan. Sedih, khawatir dan takut. Semua bercampur menjadi satu.
Setelah ambulans pergi, mereka bertiga berdiri dalam keheningan. Fitri menunduk, wajahnya masih menyimpan ketakutan.
“Fit, Dit, Kita nggak bisa diem aja. Anak itu pasti ada hubungannya sama semua ini. Kita harus cari tahu!” Suara Askara terdengar lebih serius dari biasanya.
“Setuju.” Fitri menjawab cepat.
“Gimana caranya?” tanya Adit lemah.
“Coba tanyain ke semua orang di sekolah. Mungkin ada yang tahu anak dengan nama sama ciri-ciri yang disebutin ibu Ifal.”
“Oke.”
Mereka mengangguk mantap, mengerti akan instruksi yang disampaikan Askara. Tanpa banyak berpikir, mereka berpencar, menanyai teman-teman di sekolah. Dari mulai kelas sepuluh hingga duabelas.
Selain bertanya pada murid-murid, Askara juga mengirimkan pesan ke grup sekolah untuk bertanya mengenai anak yang dicarinya. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada yang pernah melihat anak dengan ciri-ciri itu.
Saat jam istirahat, mereka kembali berkumpul di taman.
“Gimana?” tanya Askara, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
“Nggak ada yang tahu.” jawab Fitri lesu.
“Sama aku juga.” timpal Adit.
Askara mengusap wajahnya, frustrasi.
“Kalau gitu.” Fitri mendadak menegakkan tubuhnya. “Gimana kalau kita intai rumah Ifal. Siapa tahu anak itu datang lagi.”
Adit tampak ragu. “Gimana kalau yang datang itu hantu?” Tanyanya dengan suara pelan menahan rasa ngeri.
“Hantu itu nggak ada Dit, tapi kalau orang jahat mungkin ada.” Jawab Askara sedikit mengejek temannya. Namun Fitri menimpali omongan Adit dengan serius.
“Betul dit, nggak ada yang namanya hantu. Apalagi sampai ngobrol di kafe. Nggak mungkin.” Jawaban Fitri terdengar sewot. Dia tidak terima sahabatnya di datangi hantu.
“Iya deh iya.” Jawab Adit datar, tidak suka mendapat omelan.
“Okelah kalau gitu, kita mulai pengintaian jam tujuh malam. gimana?” Usul Fitri kepada teman-temannya.
Askara mengangguk mantap mengiyakan sedangkan Adit mengangguk dengan ragu-ragu.
Sejak kejadian yang menimpa Ifal, yang mengalami kondisi serupa dengan Anita, penyebab sakitnya masih belum diketahui. Pihak sekolah pun mengimbau seluruh siswa untuk tetap tenang dan tidak panik, serta memastikan menjaga kesehatan sebelum berangkat sekolah. Salah satunya adalah dengan menyempatkan sarapan dan mengonsumsi makanan bergizi. Jika hasil diagnosis terhadap kondisi Ifal menunjukkan hal yang serius, maka pihak sekolah akan melakukan investigasi lebih mendalam terkait kasus yang menimpa Anita dan Ifal.
Di tengah kekhawatiran dan belum pastinya kabar mengenai Ifal, Askara dan kedua temannya sempat mengunjungi rumah sakit untuk menjenguk Ifal. Namun kondisi Ifal masih buruk dan belum boleh menerima tamu, akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan mempersiapkan rencana pengintaian.
Malamnya, pengintaian di mulai. Mereka mengunjungi rumah Ifal yang berukuran sedang, berwarna hijau dengan pagar hitam yang mengelilinginya. Diapit oleh dua rumah tetangga, bangunannya tampak sederhana namun hangat. Halamannya kecil, dihiasi beberapa pot tanaman, sementara pintu kayunya berdiri kokoh di teras depan tertutup rapat.
Mereka bersembunyi di sebuah kebun kosong di seberang rumah Ifal. Kebun yang hanya berisikan rumput-rumput liar dengan pohon-pohon pisang yang berjajar tidak beraturan membuat persembunyian mereka menjadi sempurna untuk tidak bisa dilihat oleh orang di seberang sana.
Angin dingin menerpa wajah mereka. Daun pisang di kebun sebelah berdesir samar, menciptakan bayangan-bayangan ganjil yang bergerak di bawah sinar bulan.
Askara melakukan pengintaian di tempat yang berbeda dengan Fitri dan Adit. Dia memilih untuk berpencar agar pengawasan lebih menyeluruh. Teman-temannya setuju.
Jam terus berdetak tanpa henti. sudah jam delapan malam tanpa kejadian mencurigakan terjadi. Mata Askara mulai terasa berat. Kebosanan menghinggapi dirinya. Dia membuka ponsel dan menatap layarnya untuk memeriksa apakah ada notifikasi dari teman-temannya. Namun tidak ada kabar apapun. Askara menghembuskan napas perlahan. “Hmm.” Keluhnya.
Namun, tak lama setelah itu Askara merasakan sesuatu. Ada suara ribut di belakang dirinya. Rumput-rumput seperti bergesekan dengan sesuatu menghasilkan suara srek yang mengerikan. Sedangkan perasaannya mengatakan bahwa ada seseorang yang memperhatikan dirinya di kejauhan sana.
Bulu kuduknya berdiri. Askara terdorong untuk memeriksa. Dia menoleh ke belakang. Gelap. Sunyi. Tidak ada siapapun. Kemudian dia melangkah kecil maju kedepan untuk memastikan, namun kembali dia tidak menemukan apapun. Akhirnya dia menelpon Adit untuk menemaninya memeriksa keadaan.
“Adit, ikut aku ke kebun, yuk” Kata Askara di telepon.
Adit langsung menjawabnya dengan nada ngeri. “Ngapain?!”
“Aku ngerasa ada yang ngawasin.”
“Yang bener? Nggak ah” Teriak Adit di seberang sana.
Adit menelan ludah, menolak ajakan Askara. Ketakutan jelas tergambar dalam nada suaranya.
Namun, Fitri tidak membiarkannya begitu saja. Dengan nada menggoda, ia menyindir. “Masa cowok penakut sih? Nggak punya nyali, ya?”
Ejekan itu langsung menusuk harga diri Adit. Dengan mendengus kesal, ia akhirnya menyetujui ajakan Askara. “Yaudah, yaudah! Aku ikut!” katanya di telepon, meski nada suaranya masih penuh keraguan.
Ia berjalan menuju persembunyian Askara, lalu bersama-sama mereka mulai memeriksa keadaan sekitar, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka berdua menyusuri kebun, cahaya senter ponsel menyapu rerumputan tinggi. Lalu,
Senter yang disoroti oleh Askara menangkap sebuah sosok.
Sesaat. Hanya sekejap. Tidak jelas apakah itu manusia atau sesuatu yang lain.
Sebuah bayangan berlari cepat menembus kegelapan malam ketika cahaya menyoroti dirinya.
“Hei! Siapa itu? Tunggu!” teriak Askara.
Tapi sosok itu menghilang, lenyap ditelan malam.
Sebelum mereka sempat mengejar, jeritan Fitri terdengar melengking.
Mereka berdua langsung berlari kembali ke persembunyian. Mendapati Fitri sedang terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar.
“Fit, ada apa?!” tanya Askara dengan suara panik.
Fitri mengangkat tangannya, menunjuk ke semak-semak gelap yang ada dihadapannya. Dengan suara tercekat, ia berbisik. “Aku lihat Anita di sana.”
Adit bergidik ngeri. “Tuh kan, apa aku bilang. Disini ada hantunya.”
Askara menatap Adit tajam, kemudian beralih ke Fitri. Tatapannya dalam. Ada keraguan pada dirinya, namun seperti ada sesuatu yang mengingatkan nya akan kejadian beberapa hari yang lalu, dia pun berjongkok dan mendekat ke arah Fitri. Dia merendahkan suaranya tapi tegas. “Fit, apapun yang kamu lihat, aku percaya. Soalnya aku juga pernah ngalamin. Tapi aku nggak mau percaya kalau hantu itu ada.”
Fitri menatap Askara sejenak, lalu mengangguk pelan. Ingatannya melayang pada Anita. Sulit memikirkan jika apa yang dilihatnya bukanlah hantu. Tapi Fitri memiliki keteguhan yang sama dengan Askara, dia tidak ingin percaya pada hantu, apalagi hantu Anita. Dia adalah sahabat yang membantunya beradaptasi di sekolah dan membawanya masuk ke dalam lingkaran pertemanan Askara. Anita bukan sekadar teman, tapi penopang di masa sulit. Baginya, Anita adalah sahabat terbaik.
Namun, bayangan Anita membuat hatinya gamang. Apakah arwahnya belum tenang? Atau ada sesuatu yang belum selesai sebelum kepergiannya, mungkinkah perasaannya yang belum sempat diutarakan kepada Askara?
Fitri iba. Ada kepedulian yang ingin disampaikan, tapi ia sendiri tak tahu bagaimana, atau lewat apa.
Kemudian keheningan menyelimuti mereka. Hingga Askara berkata pada teman-temannya.
“Kita udahan dulu malam ini. Ayo pulang.” Dia menarik napas panjang.
Mereka akhirnya bangkit, meninggalkan kebun kosong itu. Tapi di benak Askara, ada sesuatu yang terus berputar-putar.
Dia kembali menatap ke belakang, melihat perkebunan itu dan bertanya-tanya apakah Anita benar-benar, kembali? menjadi makhluk lain? Askara mencoba menepis pikiran-pikiran tidak logis, semua terasa tidak mungkin tapi perasaannya mengatakan sebaliknya.