Bandung, 2009
Melalui penyemat suara yang terpasang di kedua telinganya, Arion mendengarkan lagu-lagu yang sudah dipilihnya dari pemutar musik miliknya. Pagi ini, walaupun langit masih belum terang, Arion sudah berlari mengelilingi lapangan bola yang masih berada di area komplek rumahnya. Pemuda dengan tinggi 170 cm itu memang terbiasa berlari pagi sebelum memulai kegiatannya, bahkan saat masih tinggal di kota kelahirannya—Surabaya.
Minggu lalu ia dan keluarganya pindah ke Bandung, sebab ayahnya dipindahkan ke perusahaan cabang kota tersebut. Awalnya hanya ayahnya saja yang akan pindah, tetapi tiba-tiba ibunya justru ingin pindah juga. Alashil keluarga dengan tiga anggota itu pindah ke Bandung.
Lagu terakhir pada pemutar musiknya telah selesai, begitu juga dengan sesi lari paginya hari ini. Ia menepi ke pinggir lapangan, melakukan pendinginan sejenak sebelum akhirnya membasahi tenggorokan dengan air yang ia bawa. Terdiam sejenak, Arion memperhatikan suasana di sekitar lapangan yang sepi. Orang-orang mungkin sedang bersiap di dalam rumah mereka, atau mungkin masih tidur.
Merasa cukup memperhatikan suasana pagi hari ini, ia segera meninggalkan lapangan tersebut. Hari ini adalah hari pertama ia bersekolah di sekolah yang baru. Sebagai murid pindahan, tidak baik rasanya jika ia terlambat datang ke sekolah. Sambil berjalan menuju rumah, ia menikmati udara Bandung saat ini. Cukup dingin, tetapi kulit tubuhnya masih bisa menahannya.
Hampir tiba di rumahnya, langkah kedua kakinya justru terhenti. Laki-laki itu terlihat heran dengan kehadiran sosok perempuan berambut pendek di depan gerbang rumahnya, apalagi sepagi ini. Tingkah perempuan itu terlihat seperti seorang pencuri yang akan menerobos masuk. Arion kembali melangkah menuju rumahnya.
“Ada perlu apa pagi-pagi ke rumah saya?” tanya Arion saat hampir tiba di depan rumah dan perempuan itu, yang tidak lain adalah Mava.
Perempuan itu segera berbalik setelah mendengar pertanyaan yang diajukan Arion. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukannya beberapa waktu lalu, Mava justru sedang memperhatikannya dengan serius dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Di detik selanjutnya, tanpa Arion sangka-sangka, Mava justru menghambur memeluknya. Tidak hanya memeluknya saja, Mava juga menangis. Hal tersebut jelas membuat Arion kebingungan, sehingga ia segera melepaskan diri dari pelukan Mava.
“Kamu kenapa tiba-tiba peluk saya?” protes Arion.
“Gua kangen banget sama lu,” jawab Mava.
Arion mengangkat sebelah alis matanya setelah mendengar jawaban yang diberikan Mava. Di kepalanya ia berpikir, kenapa Mava merindukannya? Padahal kemarin mereka sempat bertemu. Tetapi yang paling aneh, bagaimana perempuan itu bisa merindukan seseorang yang baru dikenalnya dua hari lalu?
“Seneng rasanya gua bisa liat lu lagi, walaupun waktu lu masih ….” Mava merapatkan kembali bibirnya.
“Waktu saya masih apa?” Arion mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Mava tadi.
“Bukan apa-apa. Lupain aja,” jawab Mava segera. “By the way Arion, gua boleh minta sesuatu, gak?”
“Minta apa? Kalau itu bukan hal yang aneh, mungkin bisa saya kasih.”
“Tolong dengerin setiap perkataan gua, oke?”
“Iya, saya dengarkan. Jadi, kamu mau minta apa dari saya?”
“Ya itu, gua minta lu dengerin setiap perkataan gua.”
Lagi-lagi Arion dibuat heran oleh ucapan Mava. Ia bahkan sampai memiringkan kepalanya. “Maksudnya? Saya enggak ngerti.”
“Udah, lu gak perlu ngerti maksud omongan gua. Yang penting itu, lu harus dengerin setiap perkataan gua, bisa? Tenang aja, gua gak bakalan minta lu ngelakuin hal yang aneh atau berbahaya. Gua bukan orang yang kaya gitu.”
“Terserah kamu saja,” ujar Arion yang setelahnya memilih untuk segera masuk. Laki-laki itu berjalan memasuki halaman rumahnya tanpa berbalik. Saat sudah berada di depan pintu, ia baru berbalik dan mendapati Mava yang masih berdiri di tempatnya, sambil melambaikan tangan padanya.
“Seperti orang yang berbeda.”
~”~
Bukannya segera keluar dari kamar setelah memakai seragam sekolahnya dengan lengkap, Mava justru asyik mengambil fotonya menggunakan kamera yang dimilikinya. Ia merasa senang karena bisa memakai kembali seragam sekolahnya.
Pakaian seragamnya ini berbeda dari seragam SMA pada umumnya—putih dan abu-abu. Seragam sekolahnya terdiri dari kemeja putih lengan pendek, rok rempel berwarna navi yang dihiasi garis putih pada bagian bawahnya, untuk laki-laki celana panjang berwarna navi juga. Serta rompi yang memiliki warna senada dengan warna rok. Seragam sekolahnya ini ala-ala seragam di drama Korea. Ia menyukainya, bahkan sejak dulu—sebelum ia kembali ke masa lalu.
“Coba aja hape gua kebawa ke sini, udah gua upload sih foto-foto ini,” ujar Mava yang kini sedang memperhatikan hasil bidikan kameranya. Ia tersenyum, merasa puas dengan hasil bidikannya itu. “Gua cetak ah nanti, buat jadi kenang-kenangan. Siapa tau waktu gua udah balik ke tahun 2024 foto-foto ini masih ada.”
Puas dengan sesi photoshoot dadakannya, Mava meletakkan kembali kamera kecil berwarna merah itu di atas meja belajar. Ia menyambar tas sekolahnya yang sudah berisikan buku-buku pelajaran sesuai jadwal hari ini. Langkahnya begitu ringan keluar dari kamar, sebab ia merasa senang bisa bertemu dengan Arion lagi.
Mava sudah memiliki rencana apa yang akan dilakukannya demi ‘menyelamatkan’ Arion, bahkan rencana itu sudah dipersiapkannya sebelum ia tiba-tiba kembali ke tahun saat ini. Benar, ia akan membuat Arion tidak berkuliah di Yogyakarta. Dalam pikirannya, jika Arion tidak berkuliah di Yogyakarta, laki-laki itu pasti tidak akan melakukan tindakan mengakhiri hidupnya sendiri.
“Ci, gak sarapan dulu?” Pertanyaan itu diajukan Abraham, ayah Mava, ketika melihat putri sulungnya sudah memakai sepatu sekolahnya.
“Sarapan di sekolah aja, Pih,” jawab Mava tanpa memandang ayahnya itu. Selesai memakai sepatu ia segera berdiri. “Aku berangkat dulu ya, Pih.”
“Oke, hati-hati,” balas Abaraham yang sebenarnya agak bingung dan heran dengan sikap putrinya pagi ini. Pasalnya, Mava biasa berangka sekolah jam tujuh kurang limabelas, tetapi pagi ini pukul setengah tujuh kurang anaknya itu justru sudah berangkat.
“Kenapa, Pih?” Sarah muncul dari belakang sambil mengelap kedua tangannya menggunakan kain.
“Itu, Ci Mava udah berangkat jam segini, padahal dia biasa berangkat jam tujuh kurang.”
“Ya bagus dong harusnya, jadi dia gak akan terlambat sekolah,” sahut Sarah lalu berlalu pergi memasuki kamar.
“Bener juga.”
~”~
“Good morning!”
Sapaan riang dari Mava menyambut Arion yang baru saja keluar dari rumah. Ia tidak membalas sapaan tersebut dan memilih untuk mengunci terlebih dahulu pintu rumahnya. Kebetulan ayahnya sudah berangkat lebih dulu, dan ibunya sedang pergi ke pasar. Ia berjalan melewati halaman rumahnya yang cukup luas untuk menyimpan satu mobil dan dua motor.
Arion yang sudah berada di depan Mava memperhatikan perempuan berambut pendek itu. Seragam sekolahnya sama dengan yang ia pakai, artinya Mava berada di satu sekolah dengannya. Entah ini sebuah kebetulan atau justru sebuah takdir. Ia tidak tahu.
“Kita satu sekolah,” ujar Mava terlihat bersemangat.
“Kamu kebetulan lewat atau jangan-jangan kamu nunggu saya keluar?” tanya Arion, sebab ia merasa Mava sepertinya menunggunya, bukan kebetulan lewat.
“Nungguin,” jawab Mava.
“Kenapa?”
“Buat berangkat sekolah barenglah.”
Arion sedikit memiringkan kepalanya setelah mendengar jawaban Mava. Rasanya ia belum memberitahu Mava jika dirinya masih bersekolah, serta ia juga tidak memberitahu dirinya bersekolah di mana. Tetapi perempuan itu justru seolah sudah tahu semuanya.
“Kamu ini peramal?”
Mava tertawa mendengar pertanyaan tersebut. Geli sekali telinganya mendengar pertanyaan dari Arion. “Ya bukanlah,” jawabnya setelah tawanya berhenti. “Aneh-aneh aja lu mikir kalau gua peramal.”
“Ya soalnya kamu bersikap seolah-olah sudah tahu semua tentang saya. Atau jangan-jangan kamu diam-diam mencari informasi tentang saya?” Arion memincingkan kedua matanya, menyelidiki Mava yang mencurigakan baginya.
“Ya itu. Gua udah cari tau informasi tentang lu. Makanya gua tau. Puas?”
Arion menggeleng. Ia merasa Mava seolah terpaksa mengatakan hal tersebut. Bukan itu alasan kenapa perempuan tersebut bisa mengetahui tentang dirinya, terutama sekolahnya.
“Udah, ayo kita berangkat sekolah. Nanti telat. Lu anak baru gak boleh sampai terlambat.”
Tanpa berkomentar lebih lanjut, Arion memilih untuk menuruti ucapan Mava. Lagi pula, bukankah perempuan itu memintanya untuk mendengarkan setiap perkataannya? Karena itulah ia mengikuti Mava tanpa berkomentar lebih lanjut.
Keduanya berjalan dalam keadaan hening. Selain itu mereka juga tidak berjalan beriringan, Arion memilih berjalan di belakang Mava dua langkah, seperti anak ayam yang mengikuti induknya.
Berada di belakang Mava membuat Arion memperhatikannya. Rambut Mava panjangnya sebahu, dan jujur saja Mava cocok dengan rambut pendek itu. Ia tiba-tiba membayangkan Mava berambut Panjang, mungkin akan terlihat cantik. Untuk masalah tinggi badan, Mava hanya sebatas dagunya, jadi perempuan itu tidak terlalu pendek.
Arion mengalihkan pandangannya ketika Mava tiba-tiba saja berbalik. Jantungnya berdegup cepat, seolah ia sudah ketahuan melakukan hal buruk. Tidak ada komentar dari Mava rupanya, perempuan itu hanya tersenyum lalu kembali fokus ke jalan di depannya sana.
“Mava, kita berangkat sekolah naik apa?” Arion akhirnya membuka suaranya.
“Bus,” jawab Mava membuat Arion menghela napas lega. “Lu takut naik angkot, kan?”
Langkah Arion terhenti ketika Mava bertanya seperti itu. Otaknya berpikir, bagaimana Mava tahu jika dirinya takut menaiki angkot?
Mava yang sudah berada beberapa langkah di depannya berhenti melangkah dan berbalik. Perempuan itu tersenyum lalu berkata, “gua udah cari tau informasi tentang lu. Jadi gua tau hal itu. Lupa ya? Padahal baru di bahas beberapa menit lalu.”
Arion menghela napasnya lalu kembali berjalan mendekati Mava. Kali ini ia tidak memilih berjalan di belakang perempuan itu, melainkan tepat di sampingnya.
“Memangnya kamu cari informasi tentang saya dari mana? Saya orang baru di sini, kalau kamu lupa.”
“Ada pokoknya. Gak usah banyak tanya lagi.”
“Tapi saya penasaran.”
“Udah diem aja.”
~”~
“Wah, gua bener-bener kangen masuk ke sekolah lagi,” gumam Mava ketika ia dan Arion telah tiba dengan selamat di sekolahnya—SMA Terang Dunia.
“Kamu suka sekolah?”
Mava menoleh pada Arion yang bertanya. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Rasanya ia ingin memberitahu Arion kalau jiwa dalam tubuh gadis SMA ini adalah wanita berusia tigapuluh tahunan. “Gua gak suka sekolah. Tapi saat ini gua bener-bener kangen banget sama sekolah ini. Bangunanya masih jadul, sekarang udah lebih bagus.”
“Lama-lama saya jadi berpikir kalau kamu ini datang dari masa depan.” Arion berlalu meninggalkan Mava yang mematung di tempatnya.
“Ya bolehlah lu mikir kaya gitu,” ujar Mava seraya mengejar Arion yang sudah jauh di depannya. Langkah kaki laki-laki itu cukup besar sehingga ia kesulitan mengejarnya.
“Theresia Mava!”
Panggilan yang berasal dari arah belakang itu membuat Mava berhenti mengejar Arion. Ia berbalik dan saat mengetahui siapa yang sudah memanggilnya, ada perasaan menyesal yang tiba-tiba saja ia rasakan. Rasanya ia ingin kembali saja ke tahu 2024 saat ini juga.
“Ah iya, gua lupa kalau tahun 2009 ini ada manusia itu juga.”