Matahari sudah terbit tinggi diatas mereka begitu Minjun sampai di ruang spesialis bedah anak dengan tas ranselnya, ditemani Hyena yang akan berpisah di depan pintu.
"Sampai nanti, jagi," kata Hyena dengna senyum manisnya masih dengan tangannya digenggam dan dielus sayang oleh Minjun.
Minjun ikut tersenyum manis pada kekasihnya itu, sebagian dirinya merasa enggan untuk melepaskan tangannya. "Sampai nanti, jagi. Sa--"
"Eo, wasseo?"
Secara serentak kedua manusia depan pintu itu terkejut dan menoleh ke arah suara dari dalam ruangan. Dan semakin terkejut lagi saat menyadari kalau itu adalah suara Yura yang sedang duduk bersandar di sofa dengan wajah seperti setengah zombie sekarang.
Rasanya tanpa Minjun tanya atau Yura beritaupun, Minjun sudah tau bagaimana hari jaga malam pertama Yura.
"Yura-ya. Kau mengejutkan kami!" kata Hyena masih berdiri di depan pintu, meringis melihat kondisi temannya sekarang.
"Hyena-ya. Kau tidak mau fellow? Biar senasib dengan ku dan pacarmu?"
Dengan kuat, Hyena menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih banyak. Jagi-ya, aku pergi sekarang ya."
Minjun mengangguk, "saranghae, jagi." Tak lupa juga kecupan hangat di kening Hyena yang membuat Yura jadi mual sekarang. Astaga. Cobaannya ternyata masih belum mulai.
"Saranghae~" Lalu Hyena pergi ke ruangannya.
Tinggalah Minjun dan Yura disana. Minjun berjalan masuk sambil tertawa kecil. Biarpun begitu, Minjun masih berbaik hati dengna membuatkan kopi hangat dan memberikannya pada Yura yang seperti sedang melamun menatap langit-langit ruangan. "Minumlah sedikit. Kau seperti zombie hidup sekarang," kata Minjun.
Dengan senang hati Yura menerimanya, walaupun helaan napas turut ikut serta saat mengambil alih cangkir itu dari tangan Minjun. "Gomawo. Tapi ini sudah kopi ketiga ku sejak jam 5 subuh tadi."
"Kau tidak tidur memangnya?"
Yura menggeleng, 'tidur hanya sebentar, karna semalam ada kecelakaan lalu lintas. Pasien anak ada dua orang yang datang. Aku harus mengikuti operasi untuk pasien trauma abdomen perforasi lambung. Lalu setelahnya aku baru bisa tidur dan itupun hanya dua jam, karna harus bergantian dengan hoobae kita juga, kan."
Ikut prihatin, Minjun yang sudah duduk di kursi samping Yura, menepuk bahu temannya itu. "Gosaeng-ie manhda, Han Yura seonsaeng." (Kau sudah cukup menderita, Dokter Yura)
"Gwaenchanha, sebentar lagi aku bisa pulang. Doakan aku bisa pulang tanpa ada operasi dadakan."
"Sam sib bun namattda. Kau pejamkan mata dulu aja. Au akan membantumu untuk jaga disini kalau-kalau kau dipanggil," ujar Minjun. Yura mengangguk dengan patuh lalu memejamkan matanya sambil bergumam terima kasih pada temannya.
Tapi sepertinya memang Yura ini tidak boleh tidur, karna baru saja dia memejamkan matanya sekitar tiga puluh menit, tiba-tiba ada panggilan untuk dokter bedah anak dari residen spesialis bedah, Jisoo, yang ada di IGD memanggil Yura.
Sambil menghela napas, lagi-lagi Yura memakai snellinya dan berjalan ke IGD dengan cepat.
Begitu sampai di IGD, Yura segera menghampiri Jisoo, residen spesialis bedah, yang sedang berdiri di dekat tempat tidur pasien.
"Jisoo-ya, sangtae eottae?" tanya Yura sambil melihat anak kecil yang terbaring lemah di ranjang. (Kondisinya bagaimana?)
Jisoo menghela napas dan menunjukkan hasil pemeriksaan. "Pasien laki-laki, 7 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 12 jam yang lalu. Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri tekan di titik McBurney, ada tanda-tanda peritonitis lokal. Leukositnya meningkat, CRP juga tinggi. Hasil USG menunjukkan adanya tanda appendicitis akut."
Yura mengangguk paham. "Sudah dilakukan pemeriksaan tambahan? Urinalisis untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih?"
Jisoo mengangguk. "Sudah, hasilnya normal. Tidak ada hematuria atau tanda-tanda infeksi saluran kemih."
"Pasien harus segera dioperasi. Aku akan panggil Profesor dulu." Memang benar-benar tidak bisa tidur dia ini.
Saat itulah Minjun menoleh ke Yura yang berdiri di sampingnya dengan wajah lelah.
"Han Yura, kau istirahat saja. Aku yang masuk untuk operasi ini, biar aku yang hubungi profesor juga," kata Minjun sambil menepuk pelan lengan Yura.
Yura menatapnya ragu, "Tapi kau sudah ada jadwal lain setelah ini, kan?"
"Tidak apa-apa. Aku masih bisa istirahat setelahnya," Minjun tersenyum menenangkan. "Kau sudah berjaga semalaman, waktunya kau pulang."
Yura menghembuskan napas lega dan menatap Minjun penuh terima kasih. "Minjun-ah, gomawo. Kau benar-benar penyelamatku hari ini."
Minjun hanya terkekeh kecil. "Sudah sana, pulang dan tidur. Aku tidak mau melihatmu jadi mayat hidup lagi besok pagi."
Yura tertawa kecil dan mengangguk. "Araseo. Aku akan langsung pulang. Hati-hati di dalam."
"Pasti," jawab Minjun sebelum menyingkir untuk memberitau kondisinya pada profesor mereka dan menyiapkan ruang operasi.
Setelah memastikan Minjun sudah pergi, Yura tidak membuang waktu lagi. Dia segera mengganti pakaiannya, mengambil tasnya, dan melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah yang terasa semakin berat. Tubuhnya sudah hampir menyerah sejak tadi pagi, dan sekarang akhirnya dia bisa pulang.
Sampai di apartemennya, Yura bahkan tidak peduli lagi dengan hal lain. Dia langsung melempar tasnya ke sembarang arah, entah jatuh di sofa atau di lantai. Yang ada di pikirannya hanya satu; tidur.
Tapi setidaknya dia masih punya tenaga untuk masuk ke kamar mandi. Dengan sisa tenaga yang ada, dia mandi sekadarnya, asal bersih.
Begitu selesai, tanpa mengeringkan rambutnya, dia langsung melempar tubuhnya ke kasur dan menenggelamkan wajahnya ke bantal.
"Akhirnya..."
Hanya butuh waktu beberapa detik sebelum kesadaran Yura menghilang sepenuhnya. Tidur. Itulah yang dia butuhkan sekarang. Benar-benar butuh tidur.
***
Berbeda di sisi lain, Minhyuk menyandarkan punggungnya pada kursi, membiarkan aroma kopi hangat memenuhi rongga hidungnya. Dengan satu tangan memegang cangkir, tangan lainnya sibuk menggulir layar laptop, menelusuri satu per satu foto yang telah ia abadikan selama di Jakarta. Matahari pagi yang pernah ia rasakan di sana terasa seakan masih menyapanya, hangat dan penuh kenangan.
Bangunan tua dengan cat yang mulai pudar, orang-orang yang sibuk dengan gerobak dagangan mereka, lalu lalang kendaraan yang tidak pernah berhenti bergerak, dan sebuah gedung dengan tulisan "Stasiun Kota" yang berdiri kokoh di tengah hiruk-pikuk kota. Minhyuk selalu tertarik dengan detail kecil yang sering terabaikan, memastikan bahwa setiap fotonya memiliki cerita tersendiri.
Lalu, foto-foto di kawasan kota tua. Anak-anak berlarian dengan tawa yang riang, meniup gelembung udara yang beterbangan di bawah sinar matahari. Beberapa sibuk mengayuh sepeda ontel, sementara pasangan-pasangan duduk menikmati suasana sore. Di antara semua itu, matanya tertumbuk pada sebuah foto. Siluet seorang perempuan yang sedang bermain dengan anak-anak di sana. Foto itu ia ambil dari dalam Café Batavia, sekadar membingkai momen spontan. Namun, entah mengapa, sosok itu terasa familiar.
Minhyuk mengernyit, menatap layar lebih lama. Perasaan aneh menyelinap dalam pikirannya, seperti ada sesuatu yang harus ia ingat tapi tidak bisa ia tangkap sepenuhnya. Namun sebelum pikirannya terlalu jauh melayang, ia kembali menggulirkan foto-foto berikutnya.
Berpindah ke suasana Pantai Indah Kapuk. Pasir yang penuh jejak kaki, ombak yang datang tanpa terlalu ganas, burung-burung yang beterbangan di atas langit biru. Pohon-pohon di sekitar pantai ikut menari ringan ditiup angin sore. Minhyuk menghela napas kecil. Jakarta mungkin bukan tempat yang ia tinggali, tapi setiap sudutnya menyimpan sesuatu yang tidak akan mudah ia lupakan.
Saat memilah foto-foto mana yang bagus dan mana yang perlu dibuang, matanya tiba-tiba terpaku pada satu gambar. Foto seorang perempuan dengan dress putih selutut, berdiri membenarkan rambutnya dari samping. Seakan-akan, tanpa Minhyuk sengaja, perempuan itu menjadi pusat dalam foto itu. Padahal ada beberapa orang lainnya di sekitar, tapi tetap saja... kenapa perempuan itu terlihat seperti ju-in-gong dalam bingkai tersebut?
Minhyuk mengerutkan kening. Perasaan aneh kembali muncul. Ia memperbesar foto itu, mencoba mengamati lebih dalam. Dan saat itu juga, kesadarannya menghantamnya.
Itu Yura.
Wajahnya memang tidak terekspos penuh, tapi Minhyuk yakin. Ia ingat jelas sosok itu—orang yang menjaganya di rumah sakit saat di Jakarta. Entah bagaimana, tanpa sadar, Minhyuk telah mengabadikan dirinya dalam potret yang begitu natural.
Minhyuk menarik napas dalam-dalam, jarinya bergerak di touchpad, mengedit sedikit foto tersebut. Ia menyesuaikan fokus, memberikan efek blur pada latar belakang, dan tanpa ragu menjadikan Yura sebagai pusat perhatian dalam foto itu. Sekarang, ia terlihat jelas—dan, Minhyuk harus mengakui, Yura terlihat begitu cantik.
'Oh astaga, Go Minhyuk. Apa yang kau pikirkan sekarang...' batinnya, buru-buru menggelengkan kepala untuk mengusir pikirannya sendiri. Dengan cepat, ia menekan tombol undo berkali-kali, mengembalikan foto itu ke tampilan semula.
Namun, Minhyuk tidak menghapusnya. Foto itu tetap ada di dalam foldernya. Biarkan saja tetap di sana, pikirnya. Toh, itu hanya sebuah foto. Hanya sebuah foto... bukan?
Tiba-tiba, getaran ponselnya memecah konsentrasinya. Nama 'Min Juwon Maenijeonim' muncul di layar, membuatnya menghela napas sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Minhyuk-ssi. Apakah kau sudah di Korea sekarang?" Suara Juwon terdengar tegas di seberang sana.
Dengan loudspeaker menyala, Minhyuk menjawab santai, "Sudah. Ada apa?"
"Apakah kau mengambil foto-foto cantik lagi? Apakah kita harus mengadakan rapat untuk pameranmu selanjutnya? Atau... kau mau ikut bergabung dalam pameran yang diselenggarakan oleh Fotografer Kim kali ini? Dia sedang mengumpulkan beberapa fotografer dengan tema negara tropis, dan kau mendapatkan undangannya. Kau tertarik?"
Minhyuk menghela napas. Perasaan baru saja ia pulang, tapi tawaran proyek sudah berdatangan. Ngomong-ngomong, Fotografer Kim adalah salah satu sunbaenya saat di kampus dulu. Ya, hanya satu kampus saja sih. Karna beliau sudah lulus jauh sebelum Minhyuk masuk kampus. Dan ia hanya membuka pameran dua tahun sekali, dan karena sempat jatuh sakit, ia harus hiatus. Tahun ini, ia kembali menggelar pameran untuk merayakan 15 tahun kiprahnya di dunia fotografi.
"Sepertinya aku tidak akan membuat pameranku sendiri dulu. Tapi untuk pameran yang diadakan oleh Fotografer Kim... aku tertarik. Nanti akan kukirimkan beberapa fotonya padamu."
"Baiklah kalau begitu. Jangan lupa mengirimkannya segera. Aku akan mengurus proses seleksi untuk pameran itu. Oh, dan Direktur Hwang mencarimu di agensi. Kau mau datang? Sepertinya dia ingin memperkenalkanmu pada salah satu teman anaknya lagi."
Minhyuk memijat pelipisnya. "Hah... kau sudah tau jawabannya, kan?"
Direktur Hwang ini benar-benar tidak ada habisnya. Selama empat tahun terakhir, pria itu seakan menjelma menjadi mak comblangnya. Selalu berusaha mencarikannya pasangan, padahal Minhyuk tidak pernah memintanya.
"Baiklah, silakan istirahat."
Panggilan berakhir, dan Minhyuk menatap layar laptopnya lagi. Fokusnya yang tadi penuh menghilang begitu saja. Ia menggerakkan mouse tanpa tujuan, menatap foto-fotonya tanpa benar-benar melihatnya.
Hahhh... rasanya ia butuh waktu sebentar untuk mengosongkan pikirannya.