Siang di rumah sakit sudah mulai ramai. Suara langkah kaki suster yang tergesa, panggilan dari nurse station, dan derai percakapan pasien menjadi latar belakang konstan. Di kamar, Yura meregangkan tubuhnya yang pegal setelah berjam-jam membaca. Ia melirik ke arah barang-barang Minhyuk yang berantakan di sudut ruangan.
"Berantakan sekali," gumamnya sambil menghela napas panjang.
Dengan niat baik, dia bangkit dari kursinya dan mulai membereskan barang-barang itu. Ransel dan tas kamera Minhyuk diletakkannya di tempat yang lebih rapi. Namun, perhatian Yura tertuju pada tas kamera. Tas itu terlihat kokoh dan terawat, meski jelas sudah sering digunakan. Yura tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Apa dia seorang fotografer?" tanyanya dalam hati sambil memegang tas kamera itu.
"Letakkan itu sekarang."
Suara berat yang dingin membuat Yura tersentak. Dia menoleh dan melihat Minhyuk berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan wajah tidak senang.
"Aku... aku hanya membereskan barang-barangmu. Maaf kalau aku lancang," ujarnya cepat sambil meletakkan tas itu dengan hati-hati di meja. Dia mencoba mencairkan suasana dengan senyum kecil. "Apakah kau seorang fotografer?"
"Bukan urusanmu," balas Minhyuk dengan nada datar, berjalan kembali ke tempat tidur tanpa menatap Yura.
Yura menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah. Dia kembali ke kursinya, mencoba fokus pada bukunya lagi. Beberapa menit kemudian, seorang pelayan rumah sakit datang membawa snack untuk pasien.
"Apakah kau mau makan snack ini dulu?" tanya Yura, mencoba membuka percakapan lagi.
"Tidak," jawab Minhyuk tanpa melihat ke arahnya.
Yura mendesah pelan dan memutuskan untuk menyerah. "Baiklah." Dia kembali tenggelam dalam bukunya, membiarkan keheningan mengambil alih ruangan.
***
Minhyuk sedang duduk diam sambil memandangi sebuah gantungan kunci berbentuk hati di tangannya. Goresan-goresan kecil di permukaan gantungan itu menjadi bukti bahwa benda itu telah lama bersamanya. Ada cerita di balik gantungan itu, slah satu cerita yang tidak ingin dia ingat.
Namun, perhatian Yura kembali teralihkan ketika dia melihat gantungan kunci tersebut. "Lucu sekali gantungannya," komentarnya tanpa sadar.
Refleks, Minhyuk langsung menyimpan gantungan itu ke saku bajunya.
Yura mencibir. "Geugeo arayo? Kau tidak bisa terlalu jutek seperti itu pada orang lain. Nanti kau tidak ada yang suka."
"Aku tidak perlu disukai oleh orang lain," jawab Minhyuk, suaranya datar seperti biasa.
Yura meletakkan pena yang sedari tadi digunakannya untuk mencatat. Dia menatap Minhyuk dengan ekspresi tidak percaya. "Jangnanhaeyo? Kita ini manusia, makhluk homo sapiens. Kita membutuhkan manusia lain untuk bersosialisasi, berinteraksi."
"Aku tidak perlu bersosialisasi," balas Minhyuk sambil menatap langit-langit.
Yura mendesah keras. "Gunggeumhandaeyo. Sebenarnya, pekerjaanmu apa sih? Apakah benar fotografer? Karena kau membawa kamera." (Aku penasaran)
"Tak perlu tahu."
Yura menatapnya lelah. "Astaga, kau ini introvert, ya? Segitu tidak sukanya berinteraksi?"
Minhyuk hanya menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangan lagi. "Bukan urusanmu. Lagian, sepi lebih baik daripada keramaian."
Yura mengangkat kedua tangannya, menyerah. "Hah... Arasseo arasseo. Jeon pogi." Dia memutuskan untuk kembali fokus pada bukunya, tahu bahwa berdebat dengan Minhyuk hanya akan membuang-buang energinya. (Baiklah baiklah. Akh menyerah)
***
Hari sudah mulai larut, tetapi Yura masih bertahan dengan posisinya di sofa, tenggelam dalam buku dan tablet yang ada di hadapannya. Minhyuk, yang berpura-pura sibuk menonton televisi, sebenarnya sedang memperhatikan perempuan itu diam-diam.
Dia sedikit merasa bersalah karena bersikap dingin sebelumnya. Bagaimanapun, Yura hanya berniat baik membereskan barang-barangnya. Tetapi, bagaimana pun juga, kamera itu terlalu sensitif untuk disentuh oleh orang lain.
"Haruskah aku minta maaf?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya dia memilih untuk tidur, menunda keinginannya yang baru muncul itu.
***
Malam semakin larut ketika Yura, yang sudah tertidur dengan buku di pangkuannya, terbangun oleh suara gemeretak gigi. Dia membuka mata dan melihat Minhyuk menggigil di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan tubuhnya berkeringat.
"Minhyuk-ssi?" panggil Yura, suaranya penuh kekhawatiran. Dia segera bangkit dan memeriksa kondisi lelaki itu. Saat tangannya menyentuh dahi Minhyuk, dia merasakan panas yang tinggi.
"Panas sekali..." gumamnya, segera meraih termometer yang selalu ia simpan di tasnya. Dia mengecek suhu tubuh Minhyuk. 39 derajat Celsius.
"Ya Tuhan..." Dengan cepat, Yura menekan bel panggilan suster untuk meminta bantuan.
Minhyuk menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. "Kenapa kau melakukan itu padaku..."
Yura menatap wajahnya dengan bingung. Tangan Minhyuk tiba-tiba meraih dan mencengkeram tangannya dengan kuat. Sentuhan itu mengejutkan Yura, tetapi dia tidak melepaskannya.
"Apa maksudmu?" bisiknya pelan, tetapi Minhyuk tidak memberikan respons yang jelas. Yura menduga bahwa lelaki itu tidak sepenuhnya sadar.
Tak lama, seorang suster masuk membawa nampan kecil berisi botol paracetamol dan peralatan medis lainnya. Yura membantu memastikan infus Minhyuk terpasang dengan baik, sementara suster menyuntikkan obat tersebut ke dalam infusnya.
Setelah beberapa menit, suhu tubuh Minhyuk mulai turun perlahan. Wajahnya yang tadi memucat sedikit membaik. Yura menarik napas lega, memastikan selimutnya rapat sebelum kembali duduk di sofa.
Namun, pikirannya masih terganggu oleh gumaman Minhyuk sebelumnya. Apa yang sebenarnya dia alami? Dan kenapa pria ini selalu bersikap dingin seperti sedang memikul beban besar di pundaknya?
Setelah memastikan Minhyuk dalam kondisi stabil, Yura kembali merebahkan diri di sofa. Malam itu, dia terlelap dengan satu harapan sederhana, semoga lelaki itu cepat sembuh.