Menurut kalian, apa yang Yura rasakan saat melihat lelaki itu tiba-tiba terduduk kesakitan perutnya? Tentu saja Yura panik, walaupun hanya sedikit. Itu manusiawi kan. Tapi begitu dokter jaga di IGD langsung tindakan pada lelaki itu. Yura sudah bisa bernapas lega. Karna disini, dia tidak bisa melakukan banyak hal.
Tak lama, papanya sampai di ruang IGD. Kepalanya ke kiri dan ke kanan, seakan mencari seseorang. Saat Yura mendapati papanya datang, dia langsung menhampiri papanya yang terlihat khawatir itu.
"Appa. Yeogi wae wasseo? Hwanjaneun?" (Papa, kenapa kau kesini? Bagaimana dengan pasienmu?)
Papanya meneliti tubuh anaknya, mengecek apakah ada yang salah dengan Yura, tapi akhirnya dia bisa bernapa lega saat melihat Yura baik-baik saja. "Tadi setelah pasien di ruangan selesai konsul, appa minta rehat sejenak untuk langsung kesini saat mendengar kau ada di IGD. Neo ya mallo. Wae yeogi isseo? Eunggeubsil-e wae wa? Eodi apha?" (Kau ini justru. Kenapa kau kesini? Sedang apa ke IGD? Kau sakit, kah?)
Yura menggeleng, "engga. Aku tidak sakit, kok. Aku mengantar pasien. Tadi dia baru saja selesai di infus di IGD sini karna keracunan makanan katanya. Teerus kita tabrakan--"
"Mwo?! Tabrakan? Tabrakan dimana?"
Yura menggeleng lagi dan tersenyum tipis, dia lupa kalau appanya kadang bisa lebih khawatir dan histeris daripada mamanya. "Ani.. Geu tabrakan malgo." Salahnya juga sih karna menjelaskannya ambigu. "Yang penting, aku tidak sakit. Aku baik-baik saja. Tenang saja, Appa. Lelaki itu tiba-tiba merintih sakit perut, jadi aku bawa ke IGD lagi. Sekarang dokter sedang memeriksanya."
Mendengar penjelasan anaknya, papanya bernapas dengan lega. "Kau tunggu dulu disini. Biar appa memeriksanya."
Yura mengangguk patuh dan duduk di balik nurse station. Menunggu papanya yang ternyata cukup lama juga berbincang dengan dokter dan pasien di salah satu bilik kasur pasien IGD itu.
"Apa kata dokter?" tanya Yura langsung begitu papanya kembali berdiri di depannya.
"Keracunan makanan. Tapi dia perlu diopname. Dan sayangnya dia turis disini, tidak ada yang menjaganya," jelas papanya.
Yura mengangguk prihatin mendengarnya. Dokter yang tindakan tadi juga mengangguk, "dia bersikeras tidak perlu dijaga. Tapi lebih baik jika ada yang menjaga."
Kepala Yura kembali mengangguk paham, karna dia juga setuju. Bagaimanapun seorang pasien lebih baik jika ada yang membantu jaga, apalagi lelaki itu sampai demam tinggi tadi.
"Hm.. Begini saja. Anak saya ini juga dokter. Walaupun lulusan di Korea, tapi dia juga dokter, disini sedang liburan sambil menunggu fellowship mulai. Bagaimana jika dia yang menjaganya?"
Mendengar dirinya ikut disebut, Yura benar-benar terkejut. Karna papanya baru saja mengajukan dirinya untuk menjaga orang yang baru dia lihat. Simjieo, pertemuan mereka juga tidak bisa dibilang mengesankan.
Dokter jaga itu terlihat memperhatikan Yura dan papanya bergantian sebelum akhirnya mengangguk. "Jika pasien bersedia, tidak apa."
"Tadi pasien sudah saya tanya juga. Apakah boleh jika ada yang menjaganya. Katanya tidak apa-apa." Eh? Yura semakin bingung disini. Bagaimana bisa papanya sudah sesiap ini.
Dan lagi, kenapa tidak ada yang bertanya mengenai pendapat Yura padahal dia yang menjaga disini? Yura menatap kedua pria paruh baya itu bergantian, saking bingungnya.
"Baiklah kalau begitu. Mohon bantuannya, Nona Yura."
Yura benar-benar bingung disini. Astaga. Apakah dia sedang bermimpi sekarang? Dia sepertinya ketiduran di perpustakaan.
Tapi begitu merasakan bahunya yang ditepuk-tepuk pelan oleh papanya sendiri, dia tersadar kalau ini adalah dunia nyata. Astaga.
Yura terpaku, tidak percaya apa yang baru didengarnya. "Eh? Kenapa harus aku?"
Papanya hanya menepuk bahunya pelan. "Kau kan dokter. Anggap saja latihan." Yura mendesah panjang, tapi akhirnya mengangguk dengan pasrah. Bagaimana bisa ia menolak jika papanya sendiri yang memintanya?
Yap, Yura benar-benar menjaga lelaki itu. Dia langsungmengikuti suster yang mendorong kursi roda lelaki itu ke kamar inap. Minhyukmasih belum sadar siapa yang menjaganya, karna Yura hanya mengikutinya darilift.
Begitu melihat Yura disana, Minhyuk -tadi papanya yang memberitau nama pasien itu padanya- hendak protes, tapi Yura langsung memberi isyrat nanti saja ngocehnya. Jadi Minhyuk hanya diam.
Saat sudah di kamar inap, hanya berdua saja, barulah Minhyuk bertanya.
Minhyuk menatap Yura dengan alis terangkat. "Apa kau selalu begini pada semua orang yang baru kau temui?"
Yura menghela napas panjang, menahan kesal. "Aku hanya mengikuti perintah Appa. Jangan terlalu banyak protes. Istirahatlah, oke?"
"Kalau aku tidak mau?" Minhyuk melontarkan kalimat itu dengan nada dingin.
Yura menatapnya tajam. "Kau pikir aku mau di sini? Kalau kau sehat, aku lebih senang pulang sekarang." Minhyuk terdiam.
Entah kenapa, Yura sedikit puas melihat ekspresinya yang tak lagi membalas.
***
Karna efek obat, Minhyuk sedang tidur sekarang. Sedangkan Yura masih sibuk membaca buku pelajaran yang ia pinjam dari perpustakaan rumah sakit ini. Dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, tangannya dengan cekatan menulis hal-hal yang menurutnya perlu dipelajari di tabletnya.
Tak terasa langit sudah gelap di depan. Dan mereka berdua sama sekali belum makan. Mungkin Minhyuk dapat makanan dari rumah sakit, tapi Yura tidak.
Setelah memeriksa kalau Minhyuk masih tidur, Yura berjalan ke kantin RS untuk membeli makanan. Ponselnya bergetar saat menunggu makanannya disiapkan. Mendapati nama Rowoon yang meneleponnya.
"Halo?"
"Han Yura. Kau kapan kembali ke Korea?" tanya Rowoon di seberang sana. Walaupun tipis-tipis, tapi Yura juga bisa mendengar suara Hyena dan pacarnya, Minjun yang sedang berkelahi kecil ingin mendengar suara Yura juga.
Yura terkekeh, "tenang saja. Tidak perlu merindukanku, kawan-kawan. Aku hanya dua minggu disini kok. Baru juga kemarin kalian mengantarku ke bandara."
"HAN YURA. Katanya Rowoon akan meneraktirku dan Minjun kalau kau punya pacar saat kembali ke Korea."
"Ya, Jung Rowoon. Kau berani bertaruh dengan jodohku heh?! Kalau begitu, kita pacaran saja, jadinya kau meneraktir Hyena dan Minjun."
Langsung ramai sekali di seberang sana, Rowoon disoraki oleh dua orang itu. "Haruskah?! Aku setuju saja sih."
Yura terkekeh sambil membayar makanannya. "Michin nom. Jangan sembarangan bertaruh kau nih. Nanti kalau aku tidak dapat pacar juga gimana."
"Kau bisa denganku." Suara Rowoon terdengar sangat jelas di telinganya tapi Yura tidak menganggap serius kata-kata itu. Rowoon adalah salah seorang teman yang selalu suka bercanda dan mengajaknya ribut.
"Jangan bercanda. Sudah, aku mau makan dulu. Kalian juga jangan lupa untuk makan."
Setelah mengambil makanannya dari kantin, Yura melangkah cepat kembali ke kamar inap Minhyuk. Ia tak ingin lelaki itu bangun dan mencoba berjalan sendiri, apalagi dengan kondisinya yang belum stabil.
Begitu ia masuk, dugaannya benar. Minhyuk sedang berdiri, mencoba menarik meja makan sendiri.
"Ya! Kau mau jatuh lagi? Kenapa tidak tunggu aku?" Yura meletakkan makanannya dan segera membantu menarik meja makan ke dekat kasur.
Minhyuk berdeham kecil. "Terima kasih."
"Istirahatlah. Aku juga baru mau makan." Yura memutuskan untuk tidak membuka pembicaraan lagi, mengingat betapa dinginnya lelaki itu. Tapi memang dia sepertinya bukan tipe yang bisa diam saja. Hadeh. "Kau disini untuk liburan kah? Atau untuk kerja?"
"Bukan urusanmu." Begitulah jawaban Minhyuk begitu dia membuka suara untuk pertama kalinya.
Wah, Yura tak habis pikir. Kesal, jadi Yura tidak membuka suara sama sekali. Dia juga lapar, jadi lebih baik dia makan saja. Daripada dia malah makan manusia itu. Cih. Memang benar harusnya dia diam saja tadinya.