Malam sudah semakin larut ketika Dami bersiap untuk pulang dari apartemen Seungjae. Hari itu cukup melelahkan, tetapi juga penuh dengan kejadian yang membuat hatinya terasa lebih ringan. Saat Dami sedang berdiri di depan pintu, mengenakan sepatu sambil merapikan jaketnya, Seungjae tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu.
"Kau mau pulang?" tanyanya sambil melirik jam tangannya.
Dami mengangguk. "Ya, sudah malam. Kau juga mau keluar?"
Seungjae tersenyum tipis sambil mengangkat kunci mobilnya. "Hanya ingin mencari angin segar sebentar. Mau kuantar pulang sekalian?"
Dami segera menggeleng, merasa sungkan. "Ah, tidak perlu. Aku bisa naik bus. Lagipula rumahku tidak jauh."
Seungjae menaikkan alis, sedikit tersenyum lebih lebar kali ini. "Bus? Malam-malam begini? Lebih baik jangan, Dami-ssi. Aku juga keluar kok, jadi tidak masalah. Naik saja, anggap ini bagian dari tugasku sebagai... penulismu."
Dami tergelitik mendengar kata 'penulismu'. Rasanya ada yang aneh tapi menyenangkan di telinganya saat ia mendengar itu. Ia tertawa kecil dan mengangguk pelan. "Baiklah, jika kau tidak keberatan."
Mereka keluar bersama, malam yang dingin membuat embusan napas mereka terlihat di udara. Mobil Seungjae, sebuah SUV hitam, sudah terparkir di depan gedung. Ia membuka pintu penumpang untuk Dami, dan perempuan itu masuk dengan hati-hati, sedikit terkejut dengan keramahan Seungjae yang tidak biasa. Setelah menghidupkan mesin, Seungjae mulai melajukan mobilnya, membawa mereka menyusuri jalan-jalan kota yang sepi.
***
Saat mobilnya mendekati taman, angin malam bertiup lembut, membuat ranting-ranting pohon bergoyang pelan. Udara terasa sedikit dingin di kulit, dan keheningan malam membuat suara mesin mobil Seungjae terdengar lebih jelas. Perjalanan berlangsung dalam keheningan sesaat, hingga akhirnya Seungjae memecahnya.
"Kenapa kau ingin turun di taman? Bukankah lebih dekat ke rumahmu kalau langsung ke depan pintu?" tanyanya.
Dami menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, tersenyum kecil sambil menatap lampu-lampu jalan yang bergerak lambat di balik kaca. Taman yang dimaksud memang hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya. "Aku ingin bertemu teman. Jian akan datang sebentar."
"Jian?" Seungjae mengangguk, mengenali nama itu. "Jadi, kau tidak langsung pulang?"
Dami mengangguk. "Tidak, hanya ingin berbicara sebentar. Kami sering bertemu di sana, apalagi kalau butuh udara segar."
Seungjae meliriknya sejenak, tetapi tak mengatakan apa-apa lagi. Saat mobilnya mendekati taman yang disebutkan, ia berhenti di pinggir jalan. "Kau yakin tidak apa-apa sendirian di sini? Sudah malam, dan taman ini cukup sepi."
Dami mengangguk sambil melepas sabuk pengaman. "Aku tidak apa-apa. Jian akan segera datang."
Seungjae tidak tampak yakin, tetapi dia tetap tersenyum, lalu berkata, "Baiklah, hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku." Ia melambaikan tangan pelan sebelum melaju pergi.
Setelah mobil Seungjae menghilang di tikungan, Dami merapatkan jaketnya dan berjalan ke arah bangku yang biasa ia dan Jian tempati. Ia duduk sambil memainkan kakinya, menggoyangkannya bolak-balik, sedikit gugup menunggu kehadiran sahabatnya.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jian muncul dari arah pintu masuk taman, mengenakan hoodie tipis kesukaannya dan membawa secangkir kopi. "Sudah lama menunggu?"
Dami tersenyum dan menggeleng. "Baru saja. Aku diantar Seungjae tadi."
Jian tertawa kecil saat duduk di sebelahnya. "Oh iya bagaimana kalian baikan?" tanyanya penasaran. Dami tersenyum sambil menarik napas panjang, mengingat kembali kejadian itu. "Ceritakan semuanya!" Jian menambahkan antusias.
Dami mulai bercerita tentang bagaimana hubungan mereka akhirnya membaik setelah kebingungannya selama ini. "Ternyata dia hanya ingin mengujiku. Aku kesal sekali waktu itu, tapi sekarang aku mengerti. Dia bukan orang yang suka menyusahkan, hanya saja... caranya cukup aneh."
Jian tertawa mendengar cerita itu. "Ya ampun, Dami-ya! Kau benar-benar senang, ya? Tapi syukurlah, kalian sudah tidak ada masalah lagi."
Dami ikut tertawa. "Ya, setidaknya sekarang aku lebih tenang."
Di sela percakapan mereka, tiba-tiba ponsel Dami bergetar. Ia melihat layar dan mendapati nama Sangho tertera di sana. Dami mengangkat teleponnya, "Eo, Oppa?"
"Dami-ya, kau di mana sekarang?" Suara Sangho terdengar sedikit terburu-buru.
"Aku sedang di luar, sama temanku. Wae?" Dami menjawab dengan santai.
"Aku mau nitip sesuatu, bisa kau ambil sebelum kau ke rumah sakit?" Sangho terdengar agak ragu, menyelidik.
"Memangnya kau tidak percaya aku sedang bersama teman?" Dami menggoda, mendengar nada suaranya yang sedikit khawatir.
Sangho tertawa kecil di seberang sana. "Percaya, percaya. Jangan menggoda. Aku hanya perlu bantuanmu."
Setelah percakapan singkat itu, Dami menutup telepon dan menatap Jian dengan senyum lebar. "Sepertinya aku harus pergi. Sangho oppa butuh sesuatu di rumah sakit."
Jian mengangguk, paham. "Semoga semuanya baik-baik saja, ya. Sampai jumpa lagi, Dami-ya."
Setelah berpisah dengan Jian, Dami segera pergi untuk membantu Sangho.
***
Setelah urusannya dengan Sangho selesai, Dami memutuskan untuk langsung ke rumah sakit. Sangho menitip untuk dibawakan pakaian barunya karna di rumah sakit sudah tidak ada pakaian baru lagi.
Saat tiba di rumah sakit, Dami melihat Sangho sedang duduk di ranjang, memegang ponselnya dengan satu tangan yang sudah baikan dan terlihat sedikit lelah. Ia langsung melambaikan tangan ketika melihat Dami masuk.
"Dami! Kau sudah sampai?" Sangho bertanya dengan senyum lelah di wajahnya.
Dami mengangguk dan duduk di kursi di sebelah ranjang. "Bagaimana kondisimu?"
Sangho mengangguk kecil. "Sedikit lebih baik, hanya butuh waktu untuk pulih. Bagaimana dengan pekerjaanmu dengan Seungjae?"
Dami tertawa kecil mendengar pertanyaannya. "Ah, ternyata selama ini dia hanya mengujiku, Oppa. Kau tahu? Aku pikir dia benar-benar menyebalkan, tetapi ternyata dia hanya ingin memastikan aku cocok dengan pekerjaanku."
Sangho tersenyum penuh pengertian. "Aku sudah tahu dari Seungjae. Dia bilang itu semacam 'ospek' untuk manajer barunya. Aku sendiri pernah melewatinya, jadi aku tahu betapa membingungkannya."
Dami terkejut mendengar hal itu. "Kau juga? Wah, kenapa aku tidak tahu?"
Sangho tertawa keras. "Kau tidak perlu tahu. Waktu itu, aku juga merasa sangat frustasi, tapi akhirnya aku mengerti. Seungjae memang punya caranya sendiri untuk memastikan orang di sekitarnya bisa dipercaya."
Dami merasa lega mendengar tawa Sangho. Percakapan mereka berlangsung santai, membahas segala hal mulai dari pekerjaan hingga rencana masa depan. Meski Sangho harus menjalani rawat inap, semangatnya tetap tinggi, dan Dami merasa lebih tenang setelah berbicara dengannya.
Malam itu, sebelum pulang, Dami melihat Sangho tertidur dengan tenang, wajahnya damai di bawah cahaya redup ruangan rumah sakit. Dalam hati, Dami merasa bersyukur. Meskipun keduanya, Sangho dan Seungjae, punya caranya masing-masing, mereka selalu ada di saat ia membutuhkan—cara yang mungkin tidak selalu terlihat, tapi selalu terasa.