Tidak dia balas sapaan ramah Fadli. Dengan wajah cuek ia pergi ke dapur, memasak sarapan.
Fadli kebingungan. Kemaren dia masih sempat bercanda dengan Marrinette. Sekarang gadis itu sudah berubah jadi kulkas seribu pintu. Ada apa?
Bahkan ketika meletakkan hidangan, Marrinette tak bersuara sama sekali. Tidak seperti biasanya yang menyapa, meski hanya sekedar mengatakan: "selamat makan.”
Ada yang salah dengannya?
Fadli jadi tidak selera makan.
Sepertinya ia harus berbicara baik-baik dengan Marrinette. Meminta kejelasan dari sikapnya yang seperti itu
Darlius, jangan ditanya. Dihari libur ia hanya akan terbangun jam 12.59. Lebih tepatnya jam 1 kurang semenit.
Usai makan, Fadli menemui Marrinette yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Marrinette, kenapa mendiamkan aku? Apa ada yang salah dengan sikapku?"
Marrinette tidak menyahut.
"Marrinette, jawablah. Jangan hanya cuek dingin seperti es batu."
Lagi-lagi Marrinette tak menyahut. Ia sibuk menata bunga diatas meja.
Fadli mengambil bunga itu dan menggesernya.
Marrinette mengambilnya kembali dan meletakkannya ke tengah.
Lagi-lagi Fadli menggesernya.
Marrinette kesal, menatap Fadli tajam.
Sementara Fadli hanya senyum-senyum tak jelas. Ingin melihat seberapa menyeramkan jika Marrinette marah.
Namun Marrinette tak mempedulikannya. Bersikap cuek dan kembali menaruh bunga itu ke tengah.
Dan lagi-lagi Fadli menggeser bunga itu.
"Mau kamu apa sih?!" Kesal Marrinette seraya memukul-mukul bahu Fadli.
Sementara Fadli tertawa.
"Dibilangin malah ketawa!"
"Kamu ingin tau mauku apa?" Fadli mendekat hingga wajahnya dengan Marrinette hanya berjarak beberapa senti.
"Aku mau kamu mencintaiku...."
Deg!
Suara itu pelan, berbisik. Tapi terdengar sangat jelas ditelinganya.
Bagaikan panah asmara yang menancap hingga tak sadar hatinya telah tercuri.
Mengapa wajah itu sangat mempesona?
Tidak-tidak! Aku tak boleh jatuh cinta.
Sudah menjadi persumpahan duyung bahwa tak boleh menikah dengan manusia. Atau, ia akan terusir dari kerajaan laut. Dan hidup di dunia manusia dalam keadaan lupa ingatan dan tak punya kekuatan.
Dia tak boleh terjebak dengan pesona itu. Dengan langkah sedikit tergesa-gesa ia menghindari Fadli. Namun karena gugup, tak sengaja kakinya tersandung dan Fadli menangkapnya.
Mimpi apa? Kenapa sekarang malah terjebak dalam pelukannya. Ah, mata itu. Kenapa aku malah terjebak dalam rasa yang terlarang?
Ia sadar konsekuensinya, tapi pelukan itu terlalu nyaman. Rasanya enggan untuk melepaskan.
Oh tidak. Marrinette, sadar!
Buru-buru ia berdiri, dan pergi dari hadapannya. Namun Fadli cepat memeluknya dari belakang.
"Marrinette... aku mencintaimu."
Lagi, dan lagi. Apa yang harus dia lakukan? Dan mengapa ini harus terjadi? Sejujurnya ia merasakan hal yang sama. Tapi takdir takkan mengizinkan mereka 'tuk bersama.
Dengan sentakan kuat Marrinette melepaskan pelukan Fadli.
Ia berlari ke kamarnya. Mengunci pintu. Lalu berteriak sekencang-kencangnya.
"HUAAAA!"
Marrinette menangis terisak-isak.
Mengapa ini semua harus terjadi, mengapa rasa itu harus singgah. Dan mengapa ia harus menerima kenyataan pahit.
Hatinya dilema, antara memilih aturan laut dan cinta.
Hidup memang egois. Selalu membuat kita terjebak pada suatu hal yang mana kita tak bisa memilih
Apakah ia akan memilih cinta lalu terusir dari kerajaan laut dan hidup di dunia manusia namun amnesia untuk selama-lamanya.
Atau memilih tunduk pada aturan laut dan meninggalkan Fadli?
"HUAAAA. DUNIA ITU TIDAK ADIL!"
"Seharusnya aku tidak tercipta sebagai duyung. Seharusnya aku tercipta sebagai manusia hingga bisa memiliki dirinya. Lebih baik menjadi manusia biasa daripada menjadi duyung yang mempunyai kekuatan tapi tak merasakan cinta."
***
Sudah berkali-kali Marrinette mengabaikan panggilan Alya. Hingga akhirnya Alya mengirimi sebuah pesan:
Marrinette, hari ini lagi nggak banyak kerjaan kan? Gimana kalau kita berenang ke laut? Sekaligus mampir ke kerajaan Ratu Apriana. Kamu pasti bosan kan kerja terus. Minta izinlah pada bosmu itu.
Marrinette tak membalasnya. Persetan dengan lautan. Baru kali ini ia membenci statusnya sebagai duyung.
"Heran, mengapa Marrinette tak membalas pesanku?" tanya Alya seraya menatap ponsel.
"Mungkin dia sedang sibuk dan tak bisa diganggu," sahut Evelyn. "Kalau begitu, kita berdua saja pergi ke kerajaan."
***
Marrinette membuka pintu kamarnya yang diketuk. Ketika pintu kamar dibuka, terlihatlah Fadli yang membawakan susu coklat dan beberapa lembar roti.
"Ini buat kamu. Dimakan ya."
Marrinette menerimanya tanpa suara. Ia melangkah keruang tengah, duduk di kursi sofa yang ada disana. Fadli mengikutinya.
Marrinette memakan roti itu, sedangkan pandangannya menerawang entah kemana.
"Marrinette...."
Marrinette tak menyahut.
"Maaf karena sudah bikin kamu risih, nggak nyaman."
Tetap tak ada sahutan dari Marrinette. Pikirannya menguap entah kemana. Ia menghembuskan nafas berat.
Sama sekali ia tak keberatan dengan perlakuan Fadli, malah terlalu manis. Tapi ia tak dapat menelannya. Ia sudah keluar dari rencana, menyalahi aturan laut. Dan ia tak mau terjatuh lebih dalam lagi. Andai Fadli mengetahui hal ini. Tapi, mungkin itu akan lebih menyakitkan saat ia tau kenyataannya.
"Tak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah. Tapi aku minta... mulai hari ini... tolong jaga jarakmu denganku."
Sungguh perih hati Fadli mendengar ucapan itu. Bukan, bukan dia saja yang merasakannya, tapi juga Marrinette. Bahkan ia hampir meneteskan air mata saat mengucapkannya.
"Kenapa?"
"Kita takkan pernah bisa bersatu...." Marrinette yang sudah berusaha menahan air dipelupuk matanya, akhirnya jatuh jua. Ia sesegukan. "Jadi aku minta... tolong jangan pernah mendekatiku lagi. Antara kita... tak lain hanyalah bos dan pembantu."
Marrinette pergi meninggalkan Fadli, berlari kekamarnya.
Fadli yang tidak paham, hanya menyangka bahwa Marrinette cemburu atas perjodohannya dengan Caitlin. Dan ia bertekad untuk meyakinkan Marrinette bahwa perjodohan itu takkan terjadi.
Malam ini kebetulan Darlius pulang cepat. Entah memang tidak terlalu banyak kerjaan atau mungkin lagi istirahat mendatangi wanita malam.
Sampai dirumah dia langsung duduk dimeja makan yang kebetulan sudah ada Fadli. Tak lama kemudian Marrinette datang dengan tatapan dinginnya, meletakkan makanan. Kemudian ia pergi ke dapur dan kembali sambil membawa jus.
Fadli ingin sekali mengatakan pada Papanya dihadapan Marrinette, bahwa ia telah bulat menolak perjodohan dengan Caitlin dan hanya mau menikah dengan Marrinette. Ini sudah dia pertimbangan dari tadi. Dia tak mau terus-terusan didiamkan oleh pujaan hatinya. Tapi tumpahan jus dibaju Darlius mengacaukan semuanya.
"Apa-apaan ini!"
"Ma-maaf, Pak. Nggak sengaja."
Marrinette mengambil lap dan mengusap baju Darlius yang terkena jus.
Tapi Darlius malah merebut lap itu dan membantingnya ke lantai dengan kesal. Baik Marrinette maupun Fadli kaget dengan hal itu.
Darlius berdiri dari tempat duduknya.
"Dasar pembantu tidak becus!"
Marrinette hanya menunduk.
"Berani-beraninya kau mengotori baju kerja saya! Bedebah macam kau ini tak pantas untuk bekerja disini!"
"Pa! Cukup!"
Darlius menoleh geram pada Fadli.
"Itu hanya masalah sepele. Jangan dibesar-besarkan. Lagipula dia juga tidak sengaja."
"Diam kau! Kau tak pantas membela perempuan rendahan ini. Dia hanya pengacau yang datang untuk merusak hubungan kita!"