Loading...
Logo TinLit
Read Story - A & A
MENU
About Us  

Suara riuh kantin siang itu memenuhi setiap sudut ruang, seperti irama yang tak pernah berhenti. Denting piring beradu, langkah kaki yang berlalu-lalang, hingga tawa siswa yang saling sahut menyahut menciptakan sebuah harmoni yang penuh kehidupan. Di tengah semua kebisingan itu, ada satu sudut yang terlihat sedikit lebih tenang—bukan karena sunyi, tetapi karena suasana di meja itu terasa lebih intim. Camelia duduk di sana, menggenggam sepotong roti cokelat yang, alih-alih digigit, hanya dia mainkan dengan ujung jarinya. Pandangannya mengambang, seolah ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.

“Ah, aku baru ingat.” Suaranya ringan, tetapi cukup jelas untuk menembus keramaian. Nada bicaranya membuat Edgar mengangkat sebelah alis tanpa benar-benar melepas pandangan dari piringnya.

“Apa?” gumam Edgar di sela kunyahannya, suaranya terdengar acuh, tapi nada penasarannya tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Camelia menoleh, dan seulas senyum kecil melengkung di bibirnya. “Katanya, hari Minggu ini Aileen senggang.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Edgar. Ia langsung menghentikan kunyahannya, matanya membulat dengan antusiasme yang hampir kekanak-kanakan. “Sip! Jadi, hari Minggu ya!” serunya penuh semangat, hampir seperti seorang anak kecil yang baru diberi hadiah.

Di sisi lain meja, Alvaro, yang sedang asyik dengan jus stroberinya, hanya melirik sekilas. Ia mengangkat alis, meminum perlahan dari kemasan berwarna merah muda di tangannya, sebelum meletakkannya di meja dan bergumam dengan nada datar, “Strategi kencan ganda…” Kata-katanya lirih, seperti lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada untuk siapa pun di meja itu. Ia bersandar, menatap meja sambil menopang dagunya. “Bukannya itu cuma kayak kita main berempat seperti biasa?”

Camelia dan Edgar saling memandang, jelas kebingungan dengan logika Alvaro yang melenceng jauh dari inti pembicaraan. Ekspresi Edgar berubah cepat—dari bingung, frustasi, lalu akhirnya menyerah dengan satu helaan napas panjang. Wajahnya memerah, mungkin karena merasa kesal atau malu.

“Ng-nggak gituuuu!” Edgar akhirnya berseru dengan nada setengah merengek. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan secarik kertas yang terlipat rapi. Dengan gerakan dramatis yang jelas disengaja, ia membentangkan kertas itu di atas meja. “Lihat ini! Aku menyusun rencana ini semalaman, tahu!” serunya penuh kemenangan.

Camelia dan Alvaro segera mencondongkan tubuh, kepala mereka mendekat ke arah kertas yang kini terbuka. Ada tiga poin yang ditulis dengan huruf tegak dan rapi:

Strategi perubahan total sikap Alvaro.

Strategi diskon pasangan di toko kue.

Alvaro harus berusaha lebih keras.

Camelia membaca daftar itu dengan alis terangkat. Nada bicaranya datar, hampir tanpa emosi. “Jadi ini hasil dari semalaman?” tanyanya, seperti ingin memastikan bahwa Edgar benar-benar menganggap ini serius.

Alvaro, di sisi lain, hanya menunjuk poin kedua dengan jari telunjuknya. Wajahnya sedikit masam, dan suaranya terdengar malas, nyaris bosan. “Yang ini jelas-jelas keinginanmu sendiri,” komentarnya tanpa basa-basi.

“Bukan!” Edgar buru-buru membela diri, suaranya meninggi, penuh dengan nada antusiasme yang sulit ditutupi. Ia menepuk-nepuk poin kedua itu, seolah mencoba meyakinkan semua orang di meja. “Ini kan diskon untuk pasangan! Mau nggak mau, kau sama Aileen harus pura-pura jadi pasangan. Aku sama Camelia juga. Nah, siapa tahu Aileen jadi lebih sadar perasaannya ke kamu. Ya kan? Ya kan?”

Alvaro mendengus pelan, ekspresinya tidak berubah. Ia bersandar di kursi dengan sikap skeptis yang nyaris berlebihan. “Khawatir nih kalau malah kacau balau,” gumamnya sambil mengangkat bahu.

Camelia, yang sejak tadi hanya memperhatikan dengan senyum tipis, akhirnya menggigit roti cokelatnya pelan. Ia menelan suapan pertamanya, lalu berbicara dengan nada santai tetapi tajam. “Tapi poin pertama itu bagus juga. Alvaro selalu pakai baju big size, kan? Kalau yang poin kedua, abaikan saja.” Tatapan matanya menembus langsung ke arah Alvaro, membuat pria itu sedikit mengerutkan kening.

“Big size?” Alvaro mengulang kata itu dengan nada bingung, matanya melirik dirinya sendiri, seolah baru menyadari sesuatu yang sudah lama ada.

Camelia menegakkan tubuhnya. Tatapannya kini lebih serius, meskipun suaranya tetap tenang dan lembut. “Sebaiknya kau coba mengganti kesanmu sesekali. Kita incar perbedaan kesan. Penampilan itu penting, tahu?”

“Betul! Betul sekali!” Edgar langsung menyahut dengan semangat yang tidak terkendali. Matanya berbinar seperti anak kecil yang mendukung ide mainan baru. “Itu kunci utamanya! Kesan pertama!”

Alvaro terdiam. Ia memandangi kedua temannya bergantian, lalu mengusap dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jari, seperti seorang detektif yang sedang mempertimbangkan sebuah kasus rumit. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah,” katanya lirih. “Ayo kita coba.”

Camelia tersenyum, tetapi segera menambahkan dengan nada tajam yang lebih halus. “Oh, satu lagi. Menurutku, yang paling penting itu bagaimana caramu berpindah dari posisi seperti ‘mama’ ke posisi ‘cowok.’ Kau sering dengar, kan? Aileen selalu bilang kau itu seperti mamanya.”

Edgar tak membuang waktu untuk mendukung pernyataan itu. “Iya! Betul banget! Jadi kau harus bisa menunjukkan sisi ‘aku ini lelaki sejati’ ke Aileen. Kalau enggak, ya, terus-terusan aja kau jadi mamanya dia.”

Tidak ada balasan langsung dari Alvaro. Ia hanya menunduk, mengambil kemasan jus stroberinya lagi, lalu menyeruput isinya pelan. Pandangannya kosong, tetapi jelas ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Entah kenapa, komentar mereka berdua seperti berhasil mengetuk sisi dirinya yang selama ini ia abaikan. Sesuatu di dalam dirinya mulai bergolak, meskipun ia sendiri belum tahu persis apa yang sedang berubah.

 

Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu di sela-sela awan tipis, menciptakan kilauan halus di atas air mancur yang gemericiknya terdengar merdu di tengah taman kota. Udara masih segar, dengan aroma dedaunan basah dan bunga liar yang samar-samar tertangkap hidung. Di depan air mancur, tiga sosok berdiri: Alvaro dengan ekspresi tak terbaca, Edgar yang tampak gelisah sembari memainkan kantong jaketnya, dan Camelia yang berdiri santai dengan tangan terlipat.

Alvaro melirik arlojinya untuk kesekian kalinya. Ketukan kecil di ujung sepatu kulitnya membuat Camelia akhirnya membuka suara.
“Kau yakin dia akan datang?” Edgar bertanya lebih dulu, suaranya serak seperti baru bangun tidur. Tangannya sibuk mencari-cari sesuatu di kantong, mungkin permen karet atau rokok.

Camelia mengangkat alis sembari menghela napas. “Tentu saja dia akan datang. Aileen itu nggak pernah batalin janji, apalagi sama kita. Dia cuma… suka terlambat,” sahutnya ringan, seolah kebiasaan temannya itu adalah hal wajar.

Tepat saat itu, langkah cepat terdengar dari arah belakang mereka. Derapnya terdengar seperti irama terburu-buru, namun anehnya tidak mengganggu pagi yang tenang itu. Camelia menoleh, sudut bibirnya naik. “Nah, itu dia.”

Alvaro menegakkan tubuhnya tanpa sadar, matanya mengikuti arah pandangan Camelia. Seorang gadis dengan rambut tergerai sedikit berantakan muncul dari balik pepohonan. Napasnya terengah-engah, pipinya memerah akibat berlari. Meski demikian, senyumnya tetap merekah, menyeimbangkan kehebohan penampilannya.

“Maaf, maaf! Aku telat!” suara Aileen terdengar ceria meski ia masih berusaha mengatur napasnya. Ia menatap mereka dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku nggak nyangka bakal sesusah itu nemuin taman ini!”

Edgar terkekeh kecil, melirik Aileen dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kau telat lima menit, Aileen. Ini bukan akhir dunia,” gumamnya sambil menyelipkan sesuatu—permen karet ternyata—ke dalam mulutnya. “Tapi, kau terlihat seperti baru saja ikut lari maraton.”

Camelia mendekat dengan tatapan yang sulit dibaca. Tangannya terlipat di dada, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Kalau lari maraton, mungkin dia juara bertahan terlambat.”

Aileen tertawa kecil, meski jelas sekali ia merasa sedikit bersalah. “Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya tadi aku pergi sama Varo, tapi dia malah bilang ketemu langsung di sini saja,” katanya sambil menunduk, kedua tangannya bertumpu di lutut.

Alvaro, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara dengan nada datar. “Jadi ini salahku,” ujarnya, setengah bergumam.

Namun sebelum ada yang menanggapi, Aileen menatapnya dengan pandangan berbeda. Mata cokelatnya membesar seiring senyumnya melebar. “Varo… Kau kelihatan berbeda hari ini,” katanya perlahan, nyaris seperti sebuah pengakuan yang tak disengaja.

Alvaro tersentak kecil. Ia melirik dirinya sendiri—kemeja merah yang sengaja ia biarkan terbuka di bagian atas, kaus putih sederhana di dalamnya, dan kalung hitam tipis yang ia kenakan untuk pertama kalinya. Pikirannya mulai terombang-ambing antara rasa percaya diri dan keengganan. “Keren, ya?” Edgar menyahut dari belakang, membuat Alvaro menoleh dengan tatapan jengkel.

“Hoh, kena pujian?” Camelia menimpali, tertawa geli.

Namun Aileen tak memperhatikan ledekan itu. Ia melangkah mendekati Alvaro, senyumnya lembut. Pagi itu, ia tampak bersinar—atau mungkin itu hanya imajinasi Alvaro yang mulai meracau. “Kau kelihatan keren. Biasanya juga keren, tapi ini… lebih keren,” ucap Aileen dengan jujur. Pipinya merona, dan Alvaro hanya bisa membalas dengan senyuman tipis.

“Begitu?” tanyanya pelan. “Terima kasih. Kau juga… kelihatan manis dengan baju ini.”

Aileen terdiam, seolah kata-kata itu menghentikan dunia di sekitarnya. Ia menunduk sedikit, memainkan ujung roknya dengan jemarinya. “Benarkah? Aku baru beli baju terusan ini, belum lama…” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Camelia, yang memperhatikan dari kejauhan, segera menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. “Hei, obrolan mereka sudah kayak adegan drama romantis, kan?” bisiknya pada Edgar.

Edgar mengangguk, setengah tertawa. “Mereka ini bisa ngobrol mesra tanpa sadar. Kita cuma jadi figuran.”

Camelia mendesah, tapi senyumnya tetap bertahan. “Setidaknya, Aileen mulai memperhatikan usaha Varo. Strategi pertama kita berhasil.”

Edgar langsung tersenyum lebar, mengacungkan jempol. “Oke, strategi kedua, ayo mulai! Hei! Kalian berdua!” serunya dengan nada setengah bercanda. “Waktunya ke kafe!”

Aileen menoleh dengan antusias. “Kafe? Baiklah! Aku lapar,” katanya sambil melangkah lebih dulu, mendahului mereka dengan langkah ringan.

Di perjalanan, Camelia merapat ke sisi Aileen. “Oh, aku lupa bilang. Hari ini spesial lho, di kafe itu lagi ada promosi.”

Aileen menoleh, alisnya terangkat. “Promosi apa?” tanyanya penasaran.

“Setiap pasangan bisa dapat tiga kue dengan setengah harga. Mereka menyebutnya Hari Berpasangan,” jawab Camelia sambil menahan senyum.

Aileen menghentikan langkahnya, menatap Camelia dengan ekspresi bingung. “Tapi kita bukan pasangan.”

Camelia tersenyum misterius, menepuk bahu Aileen. “Benar sekali. Itu gunanya mereka,” katanya sambil melirik Edgar dan Alvaro di belakang mereka.

“Jangan bilang kalau…”

Camelia mengangguk, kali ini senyumnya penuh kemenangan. “Aku dengan Edgar, dan kau dengan Alvaro. Gampang, kan?”

Suara Aileen dan Alvaro nyaris bersamaan, “Apa?!” Wajah mereka memerah, tapi tak satu pun dari mereka membantah ide itu.

Camelia langsung menggandeng Edgar, membuat lelaki itu terlonjak kaget. “Demi kue! Nikmati saja,” katanya santai.

Aileen menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Baiklah… sepertinya menyenangkan juga. Dan aku memang suka kue,” ucapnya riang.

Edgar memandang Aileen tak percaya, lalu mendekatkan wajahnya ke Camelia. “Dia benar-benar nggak sadar, ya?” bisiknya.

Camelia hanya menahan tawa. “Varo, kau harus lebih aktif. Genggam tangannya atau apalah. Ini kesempatan.”

Alvaro hanya bisa menatap mereka dengan sorot putus asa. Namun ketika Aileen menoleh dan tersenyum ke arahnya, ia menguatkan tekadnya. “Baiklah. Aku akan coba,” gumamnya pelan.

Di depan mereka, Aileen terus melangkah dengan ringan, bersenandung kecil. Ia sama sekali tak menyadari betapa rumit dan lucunya perasaan orang-orang di sekitarnya pagi itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Good Art of Playing Feeling
410      304     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
27th Woman's Syndrome
10769      2067     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Returned Flawed
282      228     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
Arini
1084      629     2     
Romance
Arini, gadis biasa yang hanya merindukan sesosok yang bisa membuatnya melupakan kesalahannya dan mampu mengobati lukanya dimasa lalu yang menyakitkan cover pict by pinterest
How Precious You're in My Life
14242      2547     2     
Romance
[Based on true story Author 6 tahun] "Ini bukanlah kisah cinta remaja pada umumnya." - Bu Ratu, guru BK. "Gak pernah nemuin yang kayak gini." -Friends. "Gua gak ngerti kenapa lu kayak gini sama gua." -Him. "I don't even know how can I be like this cause I don't care at all. Just run it such the God's plan." -Me.
Aditya
1437      650     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Moment
328      280     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Pasha
1302      584     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Kejutan
472      261     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media
Love is Possible
170      157     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...