Sejak kecil, bayangan Dia selalu ada di sudut pandanganku. Bahkan ketika aku tak melihatnya secara langsung, keberadaan dia seolah terpahat di dalam pikiranku. Langit biru yang membentang, aroma tanah setelah hujan, hingga suara angin yang berbisik lembut di antara dedaunan—semuanya terasa lebih bermakna jika Dia berada di sana. Saat kami bermain bersama, waktu seolah melambat, mengizinkan setiap tawa, setiap sentuhan lembut angin, dan setiap percakapan sederhana diabadikan dalam ingatanku.
Tawa Dia selalu mengingatkanku pada bunyi angin di ladang bunga yang penuh kelembutan namun sulit dijangkau. Ada kehangatan di setiap langkahnya, semacam aura yang membuatku merasa... utuh. Kami tumbuh bersama, berbagi cerita tentang mimpi-mimpi kecil yang waktu itu terlihat begitu dekat, begitu nyata. Tapi tanpa aku sadari, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam diriku. Perasaan yang awalnya samar, seperti embun di pagi hari, kini semakin jelas. Cinta. Perasaan itu mengakar di hatinya, tak bisa diabaikan lagi.
Pagi itu, aku melihat dia dari kejauhan. Dia itu berjalan perlahan di trotoar menuju sekolah, dengan langkah ringan yang selalu memancarkan rasa percaya diri. Rambut hitamnya tergerai, bergoyang pelan tertiup angin pagi, membawa aroma khas yang selalu terpatri di ingatanku. Seragam putih dan rok lipit abu-abunya terlihat rapi, hampir bersinar di bawah pancaran matahari yang baru saja meninggi. Aku berdiri di sana, menggigit bibir sejenak. Ada denyut yang bergetar di dadaku, perasaan gugup bercampur harapan yang tak bisa aku kendalikan.
“Hei, bangun dari mimpimu,” gumamku pelan kepada diriku sendiri sebelum melangkahkan kaki untuk menyusulDia. Aku tahu, setiap langkah mendekat membuat hatinya berdetak lebih cepat. Namun, tidak mungkin aku berdiri di sana selamanya.
Saat mendengar langkahku, Dia menoleh. Senyumnya langsung mengembang, hangat seperti matahari pagi yang menyapa dunia setelah malam panjang.
“Pagi,Varo!” sapanya dengan suara yang ceria namun penuh keakraban, seperti biasa.
Aku merasa kata-kata mendadak tersangkut di tenggorokanku. Panas menjalari pipiku, membuatku berusaha keras menjaga ketenangan. “P-pagi,” jawabku pelan, suara yang nyaris tenggelam dalam riuh langkah siswa lain yang berlalu-lalang. Tanganku menggenggam erat tali tas di pundak, seolah mencari pegangan untuk menstabilkan diriku sendiri.
Dia tersenyum kecil, lalu tertawa lembut. Bukan tawa yang menyiratkan ejekan, melainkan tawa yang seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa ia memahami sesuatu yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya bisa ungkapkan.
“Varo, kamu kenapa?” tanyanya, memiringkan kepala sedikit, sebuah kebiasaan yang selalu berhasil membuat hati Kou terasa melompat.
“Ah, t-tidak apa-apa,” jawabkucepat. Aku mengalihkan pandangan, mencoba mengatur napas, tapi detak jantungku tetap membandel, berdebar terlalu keras hingga aku yakin Dia bisa mendengarnya.
“Hmm, baiklah kalau begitu. Tapi kalau ada apa-apa, bilang saja, ya?” Dia berkata dengan nada ringan, tapi matanya menunjukkan ketulusan yang tulus. Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan langkahnya, memimpin jalan dengan semangat yang khas dirinya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, lalu mengikuti dari belakang. Di dadaku, cinta yang aku rasakan semakin nyata, semakin sulit disembunyikan. Namun, seperti pagi itu, aku tetap memilih menyimpan dalam diam, berharap suatu hari keberanian akan mengalahkan rasa gugupku.