Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan bambu, tinggal seorang gadis cantik dan baik hati bernama Gayatri. Kulitnya yang seputih bunga melati, rambut hitam panjang sepinggang dan bibir merah meronanya telah membuat banyak pemuda jatuh hati. Sayangnya, Ia sudah bertunangan dengan seorang pemuda kaya bernama Bima dan pernikahan mereka akan diselenggarakan dalam waktu dekat serta dibuat meriah.
“Nak, besok sudah hari pernikahanmu, jangan sampai keluar rumah apapun alasannya kecuali Ibu atau Bapak yang suruh, ya. Supaya dirimu terjaga dari hal-hal yang tidak baik,” ucap sang ibu sambil mengusap puncak kepala putrinya.
“Iya, Bu.”
“Ke sumur belakang juga tidak boleh. Kalau air di kamar mandi kurang, panggil Bapak atau Ibu buat mengambil air. Ngerti, ya?”
“Ngerti, Bu.”
“Ya sudah, kamu lanjut luluran, nanti Ibu siapkan air hangat di kamar mandi buat basuhan.” Gayatri kembali mengangguk, kemudian ibunya keluar dari kamar mandi untuk melanjutkan persiapan acara besok pagi.
***
Pukul 4 dini hari pagi, Gayatri mendengar suara gaduh dari luar kamarnya. Saat ia keluar untuk mengecek, terlihat ibunya sedang menangis di pelukan bapaknya. Rupanya, keduanya sedang bicara dengan orangtua Bima yang datang bersama paman dan bibinya. Namun, tak terlihat sosok Bima di antara mereka.
Gayatri mendekati mereka, wajah kedua orangtua Bima terlihat gelisah dan hampir tak berani menatap Gayatri. “Bu, Pak, ada apa datang sepagi ini? Acaranya, kan masih jam 8.” Sekali lagi Gayatri menatap ke sekitar, mencari keberadaan calon suaminya. “Mas Bima tidak ikut ke sini?”
“Nak, Bapak sama Ibu minta maaf. Minta maaf sekali sama kamu,” balas Ibu Bima sambil menggenggam tangan Gayatri dengan kuat. Air mata membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi keriput.
“Sudah! Sudah! Kelakuan Bima sangat memalukan, mencoreng nama baik keluarga saya! Sudah bagus anak saya menerima lamaran anak anda, tapi akhirnya malah anak saya dihinakan dengan cara seperti ini! Jangan mentang-mentang keluarga kaya, jadi seenaknya dengan keluarga miskin seperti kami. Gak tahu adab! Pulang kalian semua!” Gayatri terkejut saat tiba-tiba tubuhnya ditarik paksa oleh bapak ke belakang. Baru kali ini, bapak marah besar hingga wajah dan lehernya merah padam. Gayatri yang kebingungan dengan situasi tersebut, mencoba bertanya pada ibunya yang membawanya masuk kembali ke dalam kamar.
“Bu, sebenarnya ada apa ini? Kenapa Bapak semarah itu sama keluarga Bima? Dan kenapa Mas Bima tidak ikut ke sini?”
Ibu Gayatri mengusap-usap wajah, pundak hingga punggung Gayatri. “Yang sabar, ya Nak, mudah-mudahan Tuhan mengganti musibah ini dengan kebahagiaan berlimpah buat kamu,” ucapnya dengan berurai air mata. “Ibu tidak akan memaafkan Bima dan keluarganya, sampai kapan pun karena sudah menyakiti anak Ibu.”
“Bu, tolong kasih tahu Gayatri sebenarnya ada apa?” Gayatri memohon.
“Nak, pernikahanmu hari ini batal.”
Seketika Gayatri terdiam. Ekspresinya terlihat kebingungan.
“Bima sudah kabur ke kota kemarin pagi, dan memberi kabar melalui via telepon kepada orangtuanya kalau dia tidak mau melanjutkan pernikahan dengan alasan harus menikahi perempuan lain di kota itu, karena sudah terlanjur menghamilinya.”
Refleks, kepala Gayatri menggeleng dengan cepat, menolak berita yang baru saja didengarnya.
“Tidak, tidak mungkin, Bu. Mas Bima sayang sama Gayatri. Mas Bima sudah janji menjadi pasangan terakhir Gayatri sampai ajal menjemput. Lihat, lihat ini, Bu,” Gayatri menunjukkan cincin emas yang tersemat di jari tengahnya. “Bahkan Mas Bima membelikan cincin ini untuk mengikat Gayatri. Ini semua tidak benar, Mas Bima pasti cuma bercanda, Bu. Dia pasti datang hari ini,” ucap Gayatri dengan raut frustasi.
Ibunya memegangi kedua bahu Gayatri. “Nak, tenang. Sabar. Ibu juga tidak menyangka Bima bisa berlaku sejahat ini sama kamu, sama keluarga kita. Tapi, tadi kamu lihat ibunya meminta maaf sama kamu dan… tanpa Bima.”
Seketika, dada Gayatri terasa sesak dan sakit. Ia menangis sejadi-jadinya setelah menyadari kalau berita yang disampaikan oleh ibunya adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima olehnya.
“Yang kuat, ya, Nak. Tabah. Mungkin ini cara Tuhan menjauhkan kamu dari laki-laki yang memang tidak memiliki tanggungjawab dan adab seperti Bima. Tumpahkan kekecewaanmu di sini, sampai kamu puas. Kalau kamu butuh apapun, panggil Ibu ya, Nak. Kamu tidak sakit hati dan bersedih sendiri.” Ibu memeluk erat Gayatri sampai akhirnya izin keluar kamar untuk menuntaskan permasalahan pernikahan yang telah dibatalkan.
***
Seharian Gayatri berdiam diri di kamar. Menangis, termenung kemudian menangis lagi. Rasa kecewanya begitu mendalam dihiasi kesedihan karena diam-diam telah diselingkuhi serta cintanya diputuskan secara sepihak oleh Bima.
Di luar rumah, Bapak dan Ibu berusaha tegar, memberitahukan pembatalan pernikahan kepada setiap tamu yang terlanjur datang. Makanan dan minuman yang sudah dibuat akhirnya dibagi-bagikan pada para tetangga dan tamu.
Gayatri memandangi gaun pernikahan berwarna putih yang telah digantung rapi di belakang pintu. Ia bangkit, meraih baju itu, lalu mengusap tiap bordir dan payetnya. Tangisan kembali tak terbendung sambil memeluk gaunnya.
***
Keesokan paginya, ibu Gayatri panik tidak menemukan keberadaan putrinya di kamar. Bersama suaminya, mereka mencari ke sekitar rumah hingga kampung dibantu oleh para tetangga. Mereka khawatir Gayatri nekad melakukan sesuatu yang berbahaya atau kabur dari rumah karena frustasi pernikahan impiannya gagal.
“Gimana ini, Pak? Sudah sesiang ini, Gayatri belum juga pulang, ke mana anak ini Pak?” tanya ibu Gayatri dengan cemas.
“Sabar, Bu, kita berdoa saja semoga Gayatri hanya berjalan-jalan sebentar buat menghilangkan kesedihannya dan cepat pulang,” ucap bapak Gayatri dibalas anggukan ragu dari istrinya. “Bapak mau bersih-bersih dulu, Bu.”
Bapak Gayatri pergi menuju kamar mandi di halaman belakang, meninggalkan istrinya yang masih berdiri di balik tirai jendela–menanti kehadiran sosok putrinya.
“Astagaaa, Gayatriiiiiii!!!”
Ibu Gayatri kaget mendengar jeritan suaminya, yang bahkan bisa didengar oleh para tetangga yang rumahnya berdekatan. Buru-buru ibu Gayatri menghampiri suaminya yang sudah terduduk lemas dan menangis di dekat sumur.
“Ada apa, Pak?!”
“Gayatri, Bu…,” jawab bapak Gayatri dengan jari telunjuk kanan mengarah ke dalam sumur. Ibu Gayatri mengecek dan ikut tercekat saat melihat sesosok tubuh tertelungkup di dalam sumur. Tubuh itu mengambang dan tak bergerak.
“Ya Tuhaaannn!” Ibu Gayatri ikut histeris, karena melalui pakaiannya, ia yakin kalau itu adalah putrinya.
Para tetangga berbondong-bondong mendatangi halaman belakang rumah Gayatri, dan setelah tahu apa yang terjadi, mereka membagi tugas. Sebagian membawa orangtua Gayatri ke dalam rumah untuk ditenangkan dan sebagian lagi bergotong royong mengangkat jasad Gayatri yang sudah membengkak. Siang itu, desa menjadi geger dengan keputusan Gayatri yang memilih bunuh diri.
***
1 bulan kemudian, bapak dan ibu Gayatri memilih pindah ke kampung sebelah dengan alasan tak kuat hidup dalam kenangan kematian putrinya yang begitu tragis di rumah lama. Semenjak kepergian mereka, rumor menyeramkan beredar. Beberapa warga yang sedang lewat, pernah melihat kehadiran sosok berbaju pengantin berdiri membelakangi mereka, di balik tirai jendela yang transparan.
Ada juga warga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Gayatri, melihat seorang perempuan berbaju pengantin putih sedang berdiri di dekat sumur rumah Gayatri. Ia tidak bisa melihat jelas wajahnya karena lagi-lagi sosok itu berdiri membelakangi warga tersebut.
Beberapa waktu kemudian, mulai terjadi peristiwa yang tak masuk akal. Bima ditemukan tewas di dalam sumur rumah Gayatri. Menurut pengakuan istrinya, Bima izin mendatangi rumah Gayatri untuk meminta maaf secara langsung karena dihantui rasa bersalah atas keputusannya menggagalkan pernikahan secara sepihak. Ia tidak tahu kalau mantan kekasihnya telah meninggal dan kedua orangtuanya sudah pindah.
Dua hari suaminya tidak pulang dan berkabar, istrinya berinisiatif ke rumah orangtua Bima, kemudian mendapati informasi kalau suaminya tidak pulang ke sana dan mengetahui Gayatri telah meninggal dunia. Informasi itu baru diketahuinya, karena selama dua bulan Bima tidak berkomunikasi dengan orangtuanya.
Hingga akhirnya, istri dan bapak Bima mendatangi rumah Gayatri. Mereka terkejut saat mendapati rumah itu sudah kosong. Keduanya bertanya pada para warga sekitar tentang keberadaan Bima, namun, tidak satupun dari mereka melihat kedatangan putranya.
Entah firasat datang dari mana, bapak Bima memilih mengecek area rumah Gayatri. Ketika tiba di area sumur, ia terkejut melihat tubuh anaknya sudah mengambang di dalam sumur. Saat diangkat, para warga melihat kedua mata Bima terbuka lebar dengan ekspresi ketakutan. Lidahnya menjulur dan ditemukan bekas cekikan di lehernya. Di tangan kanannya menggenggam beberapa butir payet khas dipasang di baju pengantin perempuan.
Di tembok sumur, terdapat ukiran tulisan yang dibuat dengan cairan merah–membuat para warga yang membacanya bergidik ngeri:
SUAMIKU DATANG
Dengan kejadian itu, para warga percaya Bima mungkin dicelakai oleh arwah Gayatri yang masih dendam dengan kegagalan pernikahannya. Ia tak rela jika laki-laki yang sudah mengucap janji menjadi pasangan sehidup semati dengannya, berbahagia dengan perempuan lain.