Aku sudah terbiasa dengan pengalaman gaib ini. Astral projection, begitu aku menyebutnya. Sejak remaja, aku sering "keluar" dari tubuhku saat tidur. Awalnya menyeramkan, tapi seiring waktu, aku mulai menikmati sensasinya. Melayang di udara, mengunjungi tempat-tempat jauh, bahkan mengintip dunia yang tak terlihat oleh mata biasa. Lambat laun, kemampuan ini menjadi pelarian di saat aku lelah menjalani kehidupan di dunia nyata.
Biasanya, aku kembali menjelang azan subuh. Aku hanya perlu memusatkan pikiran, lalu tubuhku akan menarikku kembali seperti magnet. Tapi, malam itu berbeda…
Aku baru saja tertidur ketika kurasakan tubuhku terasa melayang keluar. Rasanya sama seperti biasanya, hanya saja dunia yang kulihat terasa... lebih berbeda daripada biasanya. Segalanya tampak suram, seperti diliputi kabut kelabu. Aku tak terlalu memikirkan hal itu karena mengira ini hanya bagian dari pengalaman baruku.
Aku mulai melayang bebas keluar dari rumah, menyaksikan jalanan kosong yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Merasa suasananya semakin mencekam, aku memutuskan kembali lebih awal. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Sekeras apapun aku fokus, aku tetap tidak bisa menyatu dengan tubuhku.
Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tentu saja tak terdengar oleh telinga manusia normal. Aku melayang ke samping tubuhku yang terbaring tenang, sekali lagi mencoba masuk, tapi tubuh tak memberi sinyal kerjasama seperti biasanya. Bibirku terlihat memucat, dan tubuhku seolah seperti cangkang kosong yang bukan milikku lagi.
Panik mulai melandaku. Berulang kali mencoba, tapi usahaku sia-sia.
---
Dari sudut kamar, aku melihat keluargaku panik saat menyadari aku tak kunjung bangun. Mereka segera memanggil ambulans dan membawaku ke rumah sakit. Saat itu dokter mengatakan kalau aku mengalami koma. Satu kata itu menusuk jantungku. Lalu, aku mengikuti mereka ke ruang ICU, melihat tubuhku dipenuhi kabel dan alat bantu napas.
Hari-hari berlalu. Aku menyaksikan keluargaku datang setiap hari. Ibuku selalu memegang tanganku, menangis sambil berdoa. Ayahku jadi tampak lebih tua dari biasanya, lelah terlihat jelas dari wajahnya. Ia duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Teman-temanku datang bergantian, satu-persatu membisikkan harapan di telingaku.
“Nak, kami semua rindu padamu. Bangunlah, sayang,” ucap ibuku dalam isak tangisnya.
Aku ingin mengatakan bahwa aku masih di sini. Tapi ibu tidak bisa melihatku, tidak bisa mendengar jeritanku.
---
Duniaku mulai berbeda. Aku jadi lebih sering bertemu dengan sosok-sosok asing, wajah dan bentuk tubuh yang aneh hingga bayangan yang mengintaiku dari kejauhan. Beberapa ada yang mendekat, menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.
"Kenapa kamu masih di sini?" tanya salah satu dari mereka, seorang pria berwajah pucat dengan pakaian khas pasien rumah sakit.
"Aku masih ingin kembali," jawabku.
Pria itu tersenyum tipis. "Kamu sudah terlalu jauh. Tubuhmu tidak bisa lagi menerimamu."
Aku tidak ingin percaya, tapi kenyataannya semakin hari, tubuhku memang terlihat semakin rapuh. Napasku yang dulu stabil kini melemah, hampir tak terdengar. Keluargaku mulai tampak putus asa.
---
Hari ke-40. Dokter menyerah dengan kondisiku, dan hanya berharap adanya keajaiban. Keluargaku berkumpul di sekeliling tubuhku, melafalkan banyak doa. Suara tangis ibuku memenuhi ruangan. "Nak, kalau melepasmu adalah jalan yang terbaik, maka Ibu ikhlaskan," katanya sambil mencium keningku.
Sesungguhnya, aku tidak ingin pergi. Aku masih ingin hidup. Aku belum membahagiakan kedua orangtuaku. Aku berusaha mencoba meraih tangan ibu, tapi tak ada gunanya.
Cahaya hangat tiba-tiba muncul di belakangku. Rasanya damai, dan mulai memanggilku dengan lembut. Aku menoleh ke tubuhku untuk terakhir kali. Mesin di sekitarnya berbunyi monoton, tanda kehidupanku telah berhenti. Waktuku benar-benar berakhir.
Dengan berat hati, aku melangkah menuju cahaya. Duniaku memudar bersama harapan yang tak pernah tercapai untuk kembali.