Bagai menarik tali yang putus, rencana Molly gagal total. Tak ada jalan lain ke dunia itu selain membuka gerbang pada kosen ajaib yang kini telah ambruk. Tak ada informasi yang pasti di mana posisi Agatha sekarang. Literasi mengenai Keajaiban Bilena tidak menerangkan secara detail kemampuan si kelinci. Tak ada petunjuk, alat bantu, maupun peta—semuanya adalah misteri yang tak terpecahkan.
Selama perjalanan kembali ke menara sang Penjaga Lembah, Molly lebih banyak menutup mulutnya rapat-rapat, menundukkan kepala, memandang kosong sekitarnya bagai manusia tak bernyawa.
Hatinya telah mati—tidak ada rasa kecewa maupun kesedihan. Hanya kekosongan. Ekspektasi mengkhianatinya, harapan menghancurkan kewarasannya, yang tersisa hanyalah kenyataan yang seolah tengah mengolok-olok dirinya, dan Molly mulai mempertanyakan keputusannya dalam diam.
Malam harinya, Molly mendengar suara ketukan seseorang pada pintu kamarnya. Dia tak menjawab, tak ingin berbicara dengan siapa pun untuk sekarang. Fisik dan pikirannya terluka pada waktu yang bersamaan. Tangannya gemetaran ketika mengusap wajahnya cepat.
"Mawar Merah." Rolan memanggil, suaranya teredam di balik pintu.
"Tinggalkan aku sendiri." Molly menjawab lirih.
Baru juga mengatupkan mulutnya, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rolan yang berdiri seraya menyandarkan tubuhnya pada kosen pintu. Wajahnya datar, seolah tengah menghakimi kondisi Molly sekarang, dengusan napasnya yang pendek menyiratkan kebosanan.
"Bagaimana kabarmu?" Rolan bertanya.
Molly sempat menaikkan satu alisnya, mendapati selentingan nada suara lembut yang tidak wajar, yang lolos dari lidah lancang dan tajam lelaki itu.
Perempuan berambut emas itu memilih untuk tak menjawab.
"Aku baik-baik saja. Luka di bahuku sudah sembuh, terima kasih telah bertanya," Rolan menyahut, dalam nada sarkasme. Padahal Molly belum sempat berkata apa pun.
Bibir Molly bergetar saat hendak mengucapkan, "Oh. Aku juga."
"Kau berbohong, kan?"
Molly meremas roknya, kemudian bibirnya menjawab pelan, "Iya."
Pengakuan itu lolos seketika tanpa dapat ditahan oleh Molly.
Rolan menghela napas panjang, memasukkan tangannya dalam saku celana, setelah itu beranjak dari kosen pintu. "Ayo ikut aku."
Molly melirik tajam.
"Tenang." Rolan menyeringai, lagi-lagi mata hijau itu berkilat dengan kenakalan. Sudah lama sejak terakhir kali Molly melihat sorot mata yang satu itu. "Aku tidak akan memakanmu, kecuali—" Ucapan terakhirnya mengambang, mengandung misteri, dan matanya melesat ke bagian lengan dan kaki Molly yang terekspos. "Tentu saja, kalau kau memang suka untuk dilahap oleh lelaki sepertiku."
Sayangnya perkataan itu tidak berhasil menimbulkan percikan kejengkelan dalam hati dan pikiran Molly. Perempuan muda itu malah mengernyit, mempertanyakan apa maksud Rolan.
Kepala Molly terangkat perlahan ketika lelaki berambut merah itu berjalan mendekat. Tangan yang semula berada di saku terulur untuk menyibakkan sehelai rambut ke belakang telinga Molly. Jari-jari Rolan menyapu permukaan kulit pipi, mengirimkan sengatan hangat, membuat mata perempuan itu membulat.
"Ayo pergi, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Rolan.
***
Keduanya menaiki bagian ujung menara, ke tempat terbuka di mana mereka dapat memandang pemandangan lembah dari sisi lain.
"Kau bisa melihat bintang lebih jelas dari sini," Rolan berkata, menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. "Ini adalah tempat kesukaanku untuk merenung sambil memandang langit dan mengagumi apa yang telah tercipta di atas sana. Percayalah, itu bisa membantumu untuk tetap tenang."
Molly mendongak, memandang langit malam membentang luas bagai permadani hitam berhiaskan bintang-bintang perak bagai permata. Sejenak, perasaan kosong yang menghantuinya terangkat, sedikit. Angin malam berhembus lembut membelai rambut emasnya, merayu kulit dengan sentuhan yang menyejukkan, dan perlahan menyapu kesedihan dalam hati.
Ada jeda yang berisikan kekosongan selama beberapa saat sebelum akhirnya Molly menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.
"Kau benar," kata Molly, "Pandia akan sangat menyukai tempat ini. Langit malam dan bintang-bintang seperti ini adalah favoritnya."
Alis Rolan bertautan. "Kau tahu, Mawar Merah." Dia berdeham. "Semenjak kita pertama berkenalan, kau selalu mengoceh tentang Pandia dan Agatha," lanjutnya seraya memiringkan kepala tanpa memutus kontak mata. "Lalu bagaimana dengan kisahmu sendiri?"
Pernik mata hijau itu menajam, berkilat dalam cahaya obor, membuat dada Molly kembali bertalu-talu. Sejenak dunia berhenti, helaian rambut merah yang menjuntai hingga ke mata Rolan bergerak pelan, teramat pelan seolah sedang dalam mode lambat. Dari hembusan angin tercium bau khasnya, bau yang secara tidak terduga membuat Molly menjadi lebih rileks.
Molly mengalihkan pandangannya seketika, sebagai bentuk pertahanan diri atas perasaan yang dia sendiri tidak dapat mendefinisikannya.
"Duniaku hanya berputar pada kakak dan adikku," jawab Molly lirih. Bibirnya bergetar saat mengucapkannya.
"Mawar Merah," Rolan memanggil.
Astaga, suara Rolan begitu lembut, mungkin kelembutan sutra pun tak bisa menandinginya. Meski sangat lembut, nada bicaranya berhasil menambah tempo dentuman pada dada Molly, menggetarkan sesuatu dari dalam dirinya.
"Dunia ini lebih besar dari sekadar orbit keluarga," imbuh Rolan, "kadang, kau perlu berhenti menjadi pahlawan bagi orang lain dan mulai peduli dengan dirimu sendiri."
"Aku—"
"Pulanglah, Mawar Merah."
Molly menggeleng. "Tidak bisa. Orang tuaku berpesan agar menjaga mereka berdua." Jeda. "Dan setelah kejadian hari ini, aku merasa menjadi orang yang paling gagal di dunia."
"Kejadian hari ini harusnya menyadarkanmu kalau Agatha memang tidak ingin kembali," Rolan berkata, melipat tangannya di dada, matanya mencari-cari wajah Molly. "Dan bahwa Pandia, yang lebih membutuhkanmu."
"Agatha memiliki tujuan yang jelas, Rolan, dan aku percaya dia sedang menungguku di sana." Molly mengangkat kepala, menatap mata hijau Rolan dalam-dalam berharap agar dipahami. "Aku rasa, sekarang adalah saat yang tepat untuk mencari cara lain untuk membuka Gerbang Bilena lagi. Mungkin kita bisa bertanya pada Cardos atau membaca semua buku di perpustakaan menara—"
"Aku kasihan padamu," sela Rolan penuh kekhawatiran. Kilatan pada mata hijau itu tiba-tiba meredup. "Kau melakukan sesuatu yang sia-sia, Mawar Merah. Lihatlah dirimu sekarang, sangat terluka dan terguncang. Agatha tidak peduli akan usahamu, hingga membuatmu melakukan perjalanan ini. Dia bahkan menyuruhmu menunggu seorang diri di tempat itu. Coba kau pikir-pikir lagi, kalau kakakmu memang peduli denganmu, dia tidak akan menyuruhmu menunggu, tapi mengajakmu ikut dengannya."
Jari-jari Molly menelusuri bajunya, menggeliat gelisah. Ia ingin membantah, bibirnya masih bergetar saat berkata, "Tapi—"
"Bukankah kau percaya kalau Agatha adalah prajurit yang kuat? Jika benar begitu, bukankah itu berarti dia tidak perlu bantuanmu untuk pulang ke rumah?" Rolan menyela lembut, menyentuh bagian terdalam hati Molly. "Mawar Merah, seseorang yang benar-benar mencintaimu tahu bagaimana caranya untuk kembali padamu. Aku akan mengatakannya sekali lagi, Pandia-lah yang paling membutuhkanmu. Pulanglah, lindungi adikmu dengan penuh keberanian seperti saat kau melakukan perjalanan ke tempat ini. "
"Dengan cara apa? Menggantikan Pandia menjadi pengantin, begitu?" Mata Molly berkilat defensif.
Rolan menaikkan kedua bahunya. "Ada pepatah yang mengatakan, orang akan melakukan apa pun untuk melindungi sesuatu yang dicintainya, meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Sama halnya kau yang bersedia melakukan perjalanan ini."
"Kau—" Molly tercekat, lubang hidungnya kembang kempis menahan amarah. "Aku sendiri juga tidak mau menikah dengan pria yang sudah bau tanah! Kau tidak tahu bagaimana menjijikannya paman dan bibiku, Rolan. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana kami bertiga ingin segera keluar dari rumah itu—"
Rolan tak terpengaruh, lelaki itu tetap diam tak menjawab, mata hijaunya memancarkan aura kesejukan. Molly menggigit bibirnya dan mengurungkan niat untuk melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, bawa Pandia pergi keluar dari rumah itu. Sewalah tempat tinggal baru untuk kalian berdua," Rolan menyahut datar, membeberkan cara yang lebih rasional, yang tidak terpikirkan oleh Molly. Cara yang seharusnya tidak perlu membuatnya jauh-jauh ke tempat ini, cara yang jauh lebih efektif dan normal.
Molly memijat ujung hidungnya. "Kau tidak mengerti—"
"Tidak, tidak. Aku sangat mengerti maksudmu. Kau tahu, ada garis tipis antara keberanian dan kebodohan." Rolan menyela, menggelengkan kepalanya. "Mawar Merah, mengejar sesuatu yang tak bisa digapai bukanlah keberanian, itu ... kebodohan. Pilihlah pertempuran yang bisa kau menangkan. Jangan biarkan keyakinan membutakanmu dari kenyataan."
Tiga kata terakhir disampaikan dengan lembut, namun berhasil menusuk hati Molly. Seperti duri tajam yang tertanam dalam hatinya, menyakitkan dan menyiksa hingga membuatnya kehilangan napas. Sebagian dirinya berteriak: dia harus bertanggung jawab atas dua saudaranya, karena mereka adalah dunianya, segala yang dia miliki. Namun sebagian lagi, yang hanya sekecil biji sawi, mengakui ucapan Rolan sebagai kebenaran.
Molly membuang muka, bagian rongga matanya terasa panas dan perih. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. Tangannya yang gemetaran disembunyikan pada lipatan rok, mencoba menyembunyikan kepedihan yang meluap-luap. Ia menengadah, mengalihkan pandangannya ke arah cakrawala, namun kehampaan memenuhi dirinya.
Mungkin, Molly terlalu keras pada dirinya sendiri. Terlalu terbebani oleh cinta yang mendalam dan tanggung jawab pada kakak dan adiknya. Perasaannya teramat besar hingga melumpuhkan logikanya. Jika saja, Molly bersedia berhenti sejenak dan mendengarkan hati kecilnya, mungkin dia akan menyadari betapa melelahkan dan tidak bergunanya perjalanan ini.
Kini, yang tersisa hanyalah rasa sakit dan kecewa, yang hidup dan tumbuh, mendekap Molly dalam pelukan erat, teramat kuat sehingga sulit untuk dilepaskan.
Pada akhirnya, Molly tidak bisa menyanggah ucapan Rolan. Ia terlalu rapuh untuk berdebat, terlalu lemah untuk menatap kembali mata hijau itu. Kemudian, keheningan yang sempat tercipta dipecahkan oleh suara derit pintu.
Cardos menyusul mereka ke lantai atas dan mengatakan, "Rolan, bisa bicara sebentar?"
Rolan tidak mengatakan apa pun, hanya mengangguk singkat dan menepuk bahu Molly pelan. Jari-jarinya yang hangat mengusap lembut pangkal bahunya, membuat separuh bagian tubuhnya berteriak agar si lelaki bermata hijau tidak pergi meninggalkannya seorang diri.
Dan yang terdengar berikutnya hanyalah deru angin ditambah suara pintu yang ditutup pelan dari belakang.
"Demi para leluhur, apa yang dikatakan Rolan memang benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku?" Suara Molly bergetar dan pecah. "Agatha adalah essentor kuat. Ada Bilena yang menuntunnya pulang. Dia pasti baik-baik saja. Aku hanya perlu menjaga dan melindungi Pandia."
Ia menengadah, menahan air mata, namun senyuman kecil tersungging di wajahnya. Molly tertawa pendek. "Aku telah dibutakan oleh tanggung jawab sampai-sampai melakukan perjalanan yang sia-sia. Dasar Molly bodoh."
Molly lantas melakukan peregangan, seolah mendapatkan semangat baru. "Aku akan pulang ke Nevervale besok pagi. Rolan harus tahu ini."
Ia kemudian terdiam.
Entah berapa lama Molly ada di sana, melamun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat kemudian, dia memilih kembali ke kamarnya. Saat hendak membuka pintu kamarnya, terdengar suara Cardos dan Rolan yang tengah berdiskusi di kamar sebelah.
Sungguh, Molly tidak ingin ikut campur dengan urusan dua lelaki itu, namun ia sempat mendengar nama seseorang yang lolos dari mulut Cardos. Sebuah nama yang dikenalnya sangat baik, terdengar menggelegar bagai petir di siang bolong. Tubuhnya membeku selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersadar kembali.
Refleks, Molly memutar badan penuh presisi dan berjalan cepat. Tanpa banyak berpikir, Molly mendorong pintu kamar Rolan dengan tenaga yang tidak disadarinya. Dua lelaki itu berdiri terpaku, bagai anak kecil yang ketahuan mencuri permen.
"Ulangi." Molly menelan ludahnya susah payah. Suaranya serak dan bibirnya bergetar saat mengatakan, "Kau bilang, kau bertemu Pandia sore ini?"[]