Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 44) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Bagai menarik tali yang putus, rencana Molly gagal total. Tak ada jalan lain ke dunia itu selain membuka gerbang pada kosen ajaib yang kini telah ambruk. Tak ada informasi yang pasti di mana posisi Agatha sekarang. Literasi mengenai Keajaiban Bilena tidak menerangkan secara detail kemampuan si kelinci. Tak ada petunjuk, alat bantu, maupun peta—semuanya adalah misteri yang tak terpecahkan.

Selama perjalanan kembali ke menara sang Penjaga Lembah, Molly lebih banyak menutup mulutnya rapat-rapat, menundukkan kepala, memandang kosong sekitarnya bagai manusia tak bernyawa.

Hatinya telah mati—tidak ada rasa kecewa maupun kesedihan. Hanya kekosongan. Ekspektasi mengkhianatinya, harapan menghancurkan kewarasannya, yang tersisa hanyalah kenyataan yang seolah tengah mengolok-olok dirinya, dan Molly mulai mempertanyakan keputusannya dalam diam.

Malam harinya, Molly mendengar suara ketukan seseorang pada pintu kamarnya. Dia tak menjawab, tak ingin berbicara dengan siapa pun untuk sekarang. Fisik dan pikirannya terluka pada waktu yang bersamaan. Tangannya gemetaran ketika mengusap wajahnya cepat.

"Mawar Merah." Rolan memanggil, suaranya teredam di balik pintu.

"Tinggalkan aku sendiri." Molly menjawab lirih.

Baru juga mengatupkan mulutnya, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rolan yang berdiri seraya menyandarkan tubuhnya pada kosen pintu. Wajahnya datar, seolah tengah menghakimi kondisi Molly sekarang, dengusan napasnya yang pendek menyiratkan kebosanan.

"Bagaimana kabarmu?" Rolan bertanya.

Molly sempat menaikkan satu alisnya, mendapati selentingan nada suara lembut yang tidak wajar, yang lolos dari lidah lancang dan tajam lelaki itu.

Perempuan berambut emas itu memilih untuk tak menjawab.

"Aku baik-baik saja. Luka di bahuku sudah sembuh, terima kasih telah bertanya," Rolan menyahut, dalam nada sarkasme. Padahal Molly belum sempat berkata apa pun.

Bibir Molly bergetar saat hendak mengucapkan, "Oh. Aku juga."

"Kau berbohong, kan?"

Molly meremas roknya, kemudian bibirnya menjawab pelan, "Iya."

Pengakuan itu lolos seketika tanpa dapat ditahan oleh Molly.

Rolan menghela napas panjang, memasukkan tangannya dalam saku celana, setelah itu beranjak dari kosen pintu. "Ayo ikut aku."

Molly melirik tajam.

"Tenang." Rolan menyeringai, lagi-lagi mata hijau itu berkilat dengan kenakalan. Sudah lama sejak terakhir kali Molly melihat sorot mata yang satu itu. "Aku tidak akan memakanmu, kecuali—" Ucapan terakhirnya mengambang, mengandung misteri, dan matanya melesat ke bagian lengan dan kaki Molly yang terekspos. "Tentu saja, kalau kau memang suka untuk dilahap oleh lelaki sepertiku."

Sayangnya perkataan itu tidak berhasil menimbulkan percikan kejengkelan dalam hati dan pikiran Molly. Perempuan muda itu malah mengernyit, mempertanyakan apa maksud Rolan.

Kepala Molly terangkat perlahan ketika lelaki berambut merah itu berjalan mendekat. Tangan yang semula berada di saku terulur untuk menyibakkan sehelai rambut ke belakang telinga Molly. Jari-jari Rolan menyapu permukaan kulit pipi, mengirimkan sengatan hangat, membuat mata perempuan itu membulat.

"Ayo pergi, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Rolan.

***

Keduanya menaiki bagian ujung menara, ke tempat terbuka di mana mereka dapat memandang pemandangan lembah dari sisi lain.

"Kau bisa melihat bintang lebih jelas dari sini," Rolan berkata, menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. "Ini adalah tempat kesukaanku untuk merenung sambil memandang langit dan mengagumi apa yang telah tercipta di atas sana. Percayalah, itu bisa membantumu untuk tetap tenang."

Molly mendongak, memandang langit malam membentang luas bagai permadani hitam berhiaskan bintang-bintang perak bagai permata. Sejenak, perasaan kosong yang menghantuinya terangkat, sedikit. Angin malam berhembus lembut membelai rambut emasnya, merayu kulit dengan sentuhan yang menyejukkan, dan perlahan menyapu kesedihan dalam hati.

Ada jeda yang berisikan kekosongan selama beberapa saat sebelum akhirnya Molly menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.

"Kau benar," kata Molly, "Pandia akan sangat menyukai tempat ini. Langit malam dan bintang-bintang seperti ini adalah favoritnya."

Alis Rolan bertautan. "Kau tahu, Mawar Merah." Dia berdeham. "Semenjak kita pertama berkenalan, kau selalu mengoceh tentang Pandia dan Agatha," lanjutnya seraya memiringkan kepala tanpa memutus kontak mata. "Lalu bagaimana dengan kisahmu sendiri?"

Pernik mata hijau itu menajam, berkilat dalam cahaya obor, membuat dada Molly kembali bertalu-talu. Sejenak dunia berhenti, helaian rambut merah yang menjuntai hingga ke mata Rolan bergerak pelan, teramat pelan seolah sedang dalam mode lambat. Dari hembusan angin tercium bau khasnya, bau yang secara tidak terduga membuat Molly menjadi lebih rileks.

Molly mengalihkan pandangannya seketika, sebagai bentuk pertahanan diri atas perasaan yang dia sendiri tidak dapat mendefinisikannya.

"Duniaku hanya berputar pada kakak dan adikku," jawab Molly lirih. Bibirnya bergetar saat mengucapkannya.

"Mawar Merah," Rolan memanggil.

Astaga, suara Rolan begitu lembut, mungkin kelembutan sutra pun tak bisa menandinginya. Meski sangat lembut, nada bicaranya berhasil menambah tempo dentuman pada dada Molly, menggetarkan sesuatu dari dalam dirinya.

"Dunia ini lebih besar dari sekadar orbit keluarga," imbuh Rolan, "kadang, kau perlu berhenti menjadi pahlawan bagi orang lain dan mulai peduli dengan dirimu sendiri."

"Aku—"

"Pulanglah, Mawar Merah."

Molly menggeleng. "Tidak bisa. Orang tuaku berpesan agar menjaga mereka berdua." Jeda. "Dan setelah kejadian hari ini, aku merasa menjadi orang yang paling gagal di dunia."

"Kejadian hari ini harusnya menyadarkanmu kalau Agatha memang tidak ingin kembali," Rolan berkata, melipat tangannya di dada, matanya mencari-cari wajah Molly. "Dan bahwa Pandia, yang lebih membutuhkanmu."

"Agatha memiliki tujuan yang jelas, Rolan, dan aku percaya dia sedang menungguku di sana." Molly mengangkat kepala, menatap mata hijau Rolan dalam-dalam berharap agar dipahami. "Aku rasa, sekarang adalah saat yang tepat untuk mencari cara lain untuk membuka Gerbang Bilena lagi. Mungkin kita bisa bertanya pada Cardos atau membaca semua buku di perpustakaan menara—"

"Aku kasihan padamu," sela Rolan penuh kekhawatiran. Kilatan pada mata hijau itu tiba-tiba meredup. "Kau melakukan sesuatu yang sia-sia, Mawar Merah. Lihatlah dirimu sekarang, sangat terluka dan terguncang. Agatha tidak peduli akan usahamu, hingga membuatmu melakukan perjalanan ini. Dia bahkan menyuruhmu menunggu seorang diri di tempat itu. Coba kau pikir-pikir lagi, kalau kakakmu memang peduli denganmu, dia tidak akan menyuruhmu menunggu, tapi mengajakmu ikut dengannya."

Jari-jari Molly menelusuri bajunya, menggeliat gelisah. Ia ingin membantah, bibirnya masih bergetar saat berkata, "Tapi—"

"Bukankah kau percaya kalau Agatha adalah prajurit yang kuat? Jika benar begitu, bukankah itu berarti dia tidak perlu bantuanmu untuk pulang ke rumah?" Rolan menyela lembut, menyentuh bagian terdalam hati Molly. "Mawar Merah, seseorang yang benar-benar mencintaimu tahu bagaimana caranya untuk kembali padamu. Aku akan mengatakannya sekali lagi, Pandia-lah yang paling membutuhkanmu. Pulanglah, lindungi adikmu dengan penuh keberanian seperti saat kau melakukan perjalanan ke tempat ini. "

"Dengan cara apa? Menggantikan Pandia menjadi pengantin, begitu?" Mata Molly berkilat defensif.

Rolan menaikkan kedua bahunya. "Ada pepatah yang mengatakan, orang akan melakukan apa pun untuk melindungi sesuatu yang dicintainya, meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Sama halnya kau yang bersedia melakukan perjalanan ini."

"Kau—" Molly tercekat, lubang hidungnya kembang kempis menahan amarah. "Aku sendiri juga tidak mau menikah dengan pria yang sudah bau tanah! Kau tidak tahu bagaimana menjijikannya paman dan bibiku, Rolan. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana kami bertiga ingin segera keluar dari rumah itu—"

Rolan tak terpengaruh, lelaki itu tetap diam tak menjawab, mata hijaunya memancarkan aura kesejukan. Molly menggigit bibirnya dan mengurungkan niat untuk melanjutkan ucapannya.

"Kalau begitu, bawa Pandia pergi keluar dari rumah itu. Sewalah tempat tinggal baru untuk kalian berdua," Rolan menyahut datar, membeberkan cara yang lebih rasional, yang tidak terpikirkan oleh Molly. Cara yang seharusnya tidak perlu membuatnya jauh-jauh ke tempat ini, cara yang jauh lebih efektif dan normal.

Molly memijat ujung hidungnya. "Kau tidak mengerti—"

"Tidak, tidak. Aku sangat mengerti maksudmu. Kau tahu, ada garis tipis antara keberanian dan kebodohan." Rolan menyela, menggelengkan kepalanya. "Mawar Merah, mengejar sesuatu yang tak bisa digapai bukanlah keberanian, itu ... kebodohan. Pilihlah pertempuran yang bisa kau menangkan. Jangan biarkan keyakinan membutakanmu dari kenyataan."

Tiga kata terakhir disampaikan dengan lembut, namun berhasil menusuk hati Molly. Seperti duri tajam yang tertanam dalam hatinya, menyakitkan dan menyiksa hingga membuatnya kehilangan napas. Sebagian dirinya berteriak: dia harus bertanggung jawab atas dua saudaranya, karena mereka adalah dunianya, segala yang dia miliki. Namun sebagian lagi, yang hanya sekecil biji sawi, mengakui ucapan Rolan sebagai kebenaran.

Molly membuang muka, bagian rongga matanya terasa panas dan perih. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. Tangannya yang gemetaran disembunyikan pada lipatan rok, mencoba menyembunyikan kepedihan yang meluap-luap. Ia menengadah, mengalihkan pandangannya ke arah cakrawala, namun kehampaan memenuhi dirinya.

Mungkin, Molly terlalu keras pada dirinya sendiri. Terlalu terbebani oleh cinta yang mendalam dan tanggung jawab pada kakak dan adiknya. Perasaannya teramat besar hingga melumpuhkan logikanya. Jika saja, Molly bersedia berhenti sejenak dan mendengarkan hati kecilnya, mungkin dia akan menyadari betapa melelahkan dan tidak bergunanya perjalanan ini.

Kini, yang tersisa hanyalah rasa sakit dan kecewa, yang hidup dan tumbuh, mendekap Molly dalam pelukan erat, teramat kuat sehingga sulit untuk dilepaskan.

Pada akhirnya, Molly tidak bisa menyanggah ucapan Rolan. Ia terlalu rapuh untuk berdebat, terlalu lemah untuk menatap kembali mata hijau itu. Kemudian, keheningan yang sempat tercipta dipecahkan oleh suara derit pintu.

Cardos menyusul mereka ke lantai atas dan mengatakan, "Rolan, bisa bicara sebentar?"

Rolan tidak mengatakan apa pun, hanya mengangguk singkat dan menepuk bahu Molly pelan. Jari-jarinya yang hangat mengusap lembut pangkal bahunya, membuat separuh bagian tubuhnya berteriak agar si lelaki bermata hijau tidak pergi meninggalkannya seorang diri.

Dan yang terdengar berikutnya hanyalah deru angin ditambah suara pintu yang ditutup pelan dari belakang.

"Demi para leluhur, apa yang dikatakan Rolan memang benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku?" Suara Molly bergetar dan pecah. "Agatha adalah essentor kuat. Ada Bilena yang menuntunnya pulang. Dia pasti baik-baik saja. Aku hanya perlu menjaga dan melindungi Pandia."

Ia menengadah, menahan air mata, namun senyuman kecil tersungging di wajahnya. Molly tertawa pendek. "Aku telah dibutakan oleh tanggung jawab sampai-sampai melakukan perjalanan yang sia-sia. Dasar Molly bodoh."

Molly lantas melakukan peregangan, seolah mendapatkan semangat baru. "Aku akan pulang ke Nevervale besok pagi. Rolan harus tahu ini."

Ia kemudian terdiam.

Entah berapa lama Molly ada di sana, melamun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat kemudian, dia memilih kembali ke kamarnya. Saat hendak membuka pintu kamarnya, terdengar suara Cardos dan Rolan yang tengah berdiskusi di kamar sebelah.

Sungguh, Molly tidak ingin ikut campur dengan urusan dua lelaki itu, namun ia sempat mendengar nama seseorang yang lolos dari mulut Cardos. Sebuah nama yang dikenalnya sangat baik, terdengar menggelegar bagai petir di siang bolong. Tubuhnya membeku selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersadar kembali. 

Refleks, Molly memutar badan penuh presisi dan berjalan cepat. Tanpa banyak berpikir, Molly mendorong pintu kamar Rolan dengan tenaga yang tidak disadarinya. Dua lelaki itu berdiri terpaku, bagai anak kecil yang ketahuan mencuri permen.

"Ulangi." Molly menelan ludahnya susah payah. Suaranya serak dan bibirnya bergetar saat mengatakan, "Kau bilang, kau bertemu Pandia sore ini?"[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hamufield
27651      3170     13     
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna. Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
PATANGGA
710      493     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Puncak Mahiya
554      399     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5710      1090     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
The watchers other world
1818      735     2     
Fantasy
6 orang pelajar SMA terseret sebuah lingkarang sihir pemanggil ke dunia lain, 5 dari 6 orang pelajar itu memiliki tittle Hero dalam status mereka, namun 1 orang pelajar yang tersisa mendapatkan gelar lain yaitu observer (pengamat). 1 pelajar yang tersisih itu bernama rendi orang yang suka menyendiri dan senang belajar banyak hal. dia memutuskan untuk meninggalkan 5 orang teman sekelasnya yang ber...
KSATRIA DAN PERI BIRU
146      123     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Reality Record
2654      917     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
PurpLove
277      242     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
Glad to Meet You
264      203     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
BALTIC (Lost in Adventure)
4301      1437     9     
Romance
Traveling ke Eropa bagian Barat? Itu bukan lagi keinginan Sava yang belum terwujud. Mendapatkan beasiswa dan berhasil kuliah master di London? Itu keinginan Sava yang sudah menjadi kenyataan. Memiliki keluarga yang sangat menyanyanginya? Jangan ditanya, dia sudah dapatkan itu sejak kecil. Di usianya ke 25 tahun, ada dua keinginannya yang belum terkabul. 1. Menjelajah negara - negara Balti...