Si makhluk menyadari keberadaan Molly, saat itulah alarm tanda bahaya dalam dirinya berdering. Setiap langkah menciptakan getaran hebat pada daratan yang dipijak Molly. Semakin mendekat, semakin kencang pula getaran buminya.
Perempuan berambut emas itu menarik tubuh Rolan perlahan-lahan menjauh, dibantu oleh Moko. Setengah mati Molly berusaha menekan rasa takutnya. Setengah mati pula dia menyeret si penyair untuk menjauh. Namun, pada akhirnya dia jatuh terpeleset ke belakang. Matanya membulat sempurna, penuh rasa waspada dan kengerian.
Moko memekik panik, suaranya yang melengking teredam oleh guntur dan gempa.
Ketika kilat menyambar dahsyat, sinarnya yang terang memperjelas sosoknya. Semakin mendekat, tubuhnya menjulang ke langit, matanya menyala bagai api hijau abadi, napasnya terdengar bagai gemuruh yang menandingi deru badai.
Moko memanjat tubuh Molly, bersembunyi di balik tudung jubah. Sementara perempuan itu hanya bisa terduduk lemas, kepalanya mendongak, matanya melotot lebar penuh kengerian memandang sosok monster yang mungkin saja akan menyerang dan membunuh mereka di sini.
"Rolan, apa yang harus aku lakukan?" Molly terisak seraya meremas baju lelaki itu. Tubuhnya terlalu lemas untuk kembali berdiri, dan pikirannya teramat kacau untuk memikirkan solusi.
Detik itu, kabut di sekeliling Molly berkumpul hingga membentuk asap tebal, angin berputar-putar kencang membentuk pusaran angin. Tekanannya semakin kuat, temperatur turun drastis sangat dingin dan menggigit sampai-sampai Molly menggigil kedinginan.
Molly pelan-pelan merengkuh tubuh Rolan, memegangnya kuat-kuat, melindunginya dari angin dingin dan hujan. Matanya tertutup rapat, tidak peduli monster yang akan mendekat. Dia berserah. Apa pun yang terjadi nanti, paling tidak, ia tak meninggalkan Rolan seorang diri.
Cring!
Dalam kepanikan dan rasa takut itu, Molly mendengar bunyi gemerincing lonceng dari kejauhan. Lonceng itu berbunyi lagi, menembus amukan angin. Suaranya jernih seakan berada di dekat telinganya.
Cring!
Gemerincingnya terdengar lagi dan lagi, sampai akhirnya deru angin berhenti dalam sekejap.
"Siapa kalian?"
Pertanyaan itu disampaikan dalam nada penuh keheranan, dingin, dan serak. Saat Molly mengangkat kepala, masih dalam kondisi takut dan lemah, ia mendapati seorang lelaki muda berdiri menjulang.
Kulit cokelatnya terlihat eksotis dan seksi, rambutnya gelap bergelombang acak-acakan mengingatkan akan riak air sungai, telinganya runcing berhiaskan anting-anting berupa lonceng. Pernik matanya berwarna hijau lumut di bawah cahaya matahari di musim panas. Rahangnya yang lancip menegaskan raut wajahnya yang dingin tanpa senyuman ramah. Lelaki itu mengenakan baju selayaknya orang biasa, kemeja abu-abu gelap, celana hitam panjang polos, dengan jubah hijau sepanjang paha. Dia berdiri seraya menyelipkan tangan ke saku celananya.
Sejenak, Molly teringat akan sosok monster raksasa yang ditakutkannya barusan. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa lelaki ini muncul dengan amat santai di tengah amukan badai, sementara ada monster raksasa yang menakutkan bersemayam di balik kabut? Siapa lelaki ini?
Mulut Molly bergetar saat hendak menjawab pertanyaan lelaki asing itu. Namun, saat dia melirik ke arah kabut, monster yang dimaksudnya tak ada di sana. Ia mengerjap bingung dan mendadak suasana menjadi canggung.
"Aku bertanya, siapa kalian?" Lelaki itu menuntut jawaban, rupanya dia jauh lebih garang dari kelihatannya. Sebelas dua belas dengan Rolan.
"Mo—" Suara Molly tercekat, bentakan lelaki ini sukses membuat nyalinya menciut. "Molly, namaku Molly."
Lelaki itu melirik Rolan. "Yang itu?"
"Namanya Rolan," jawab Molly lemas. "Yang ini Moko." Dia memeluk si monyet yang tengah gemetaran dalam jubahnya.
Lelaki itu menghela napas panjang, seolah bosan dan jengkel bercampur menjadi satu. Dia berdecak dan mengacak-acak rambutnya. "Kenapa kalian tidak berteleportasi ke tempat tinggalku? Kenapa malah di sini?"
Gaya bicara lelaki asing ini menyedot setiap milimeter kubik stok keberanian dalam tubuh Molly.
Molly menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Ini kali pertamanya aku ke sini."
Alis lelaki itu terangkat dan kembali mendengkus, "Baiklah, kita pergi ke tempat tinggalku."
Lelaki itu membungkuk, membantu mengangkat tubuh Rolan dengan kedua tangannya. Kemudian menggendongnya ke bahu seperti seonggok karung kentang dengan mudahnya.
"Tunggu, siapa namamu?" Molly menarik jubah lelaki itu, menuai lirikan tajam yang menusuk.
"Kau boleh memanggilku Penjaga Agung Lembah," kata lelaki itu, "tapi para leluhur sering memanggilku Cardos."
Bagai disambar petir, Molly tak pernah menyangka jika sosok yang mencari Rolan merupakan sang Penjaga Agung Lembah. Apalagi lelaki berambut merah itu sempat menyebut santai nama Cardos, seolah kawan sendiri. Semakin mereka berpetualang bersama, lingkaran pertemanan Rolan semakin tidak terduga.
Kini mereka berjalan beriringan menembus kabut tebal. Meskipun dalam jarak pandang terbatas, dan beberapa kali Molly mengusap air hujan dari wajahnya, namun Cardos terus berjalan dalam kepercayaan diri yang tinggi—tak terpengaruh oleh badai, angin, dan petir. Benar-benar berjalan lurus seakan tak takut bahaya.
Tidak heran, sebab Cardos-lah yang menjaga lembah ini, dia sendirilah yang mungkin menciptakan hujan badai untuk menghalangi makhluk yang masih hidup melintas.
"Kita akan sampai!" Cardos berseru memperingatkan.
Kemudian, entah bagaimana kejadiannya, begitu kabut itu menghilang dalam sekejap, Molly telah berada di tengah-tengah hutan pinus. Cardos tidak berbicara apa pun, ia terus memimpin perjalanan dalam diam, sampai akhirnya mereka tiba di pinggiran tebing.
Begitu mendekati bagian pinggiran tebing, Molly mendapati sebuah menara tua setinggi tebing-tebing yang mengapitnya, seakan tengah menantang langit muram. Di kedua sisi tebing terdapat air terjun curam menderu turun, menghujani bagian bawah menara hingga menimbulkan suara gema. Di bagian bawah menara, terdapat sungai yang mengalir liar tak terbendung dan diselimuti oleh kabut tebal yang menggulung-gulung penuh misteri.
Menara itu ditumbuhi oleh lumut dan tanaman rambat. Pohon-pohon, anehnya, juga ikut tumbuh dari sisi bangunan menara. Akar-akar hijau mencengkram erat bagian batu bata bangunan itu. Secara sekilas, menara itu seolah tengah memakai mantel ketat berwarna hijau tua.
"Selamat datang di gubuk kecilku," Cardos berkata penuh rendah hati. Bibirnya berkedut membentuk seringaian tipis.
Molly menyipitkan mata, sedikit menggaris bawahi ucapan Cardos di kepalanya.
Menilai dari penampakan tempat yang sebesar dan semegah itu, Molly rasa menara itu jauh lebih mirip permata zamrud yang tersembunyi. Yang artinya, jauh dari kata gubuk kecil.
"Bagaimana caranya kita ke sana?" tanya Molly menelan ludahnya. Tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya terjun bebas ke bawah.
Seolah membaca pikiran impulsif Molly, Cardos berbicara dengan santai, "Terjun."
Molly menarik napas tajam. "Kau tidak serius, kan?"
"Tidak, aku tidak serius." Seringaian itu digantikan oleh senyuman tipis. Entah apa yang dipikirkannya, namun tampaknya lelucon itu berhasil membuat Molly dan Moko terperangah. "Kita lewat sini." Ia memutar tubuhnya penuh keluwesan, lantas berjalan menyusuri pinggir tebing di antara pohon pinus yang menjulang.
Molly dan Cardos berhenti tepat di sebuah semak-semak tebal di antara pohon pinus. Seakan memang ada jalan yang tersembunyi, Cardos melangkah masuk menembus semak-semak dan menghilang dari pandangan. Molly, yang tidak ingin tertinggal lantas menyusul sambil berlari kecil.
Yap, benar. Di balik semak-semak memang ada jalan setapak yang sempit dan tersembunyi. Jalannya berkelok-kelok dan licin, memaksa Molly agar berjalan berhati-hati, supaya tak menyebabkan kejadian konyol: jatuh tergelincir dan menabrak Cardos, misalnya.
Jauh melangkah menyusuri jalan setapak, akhirnya mereka tiba di sebuah persimpangan jalan dalam sebuah gua dangkal. Keduanya berbelok ke kiri menuju bibir gua. Begitu keluar, Molly seakan disambut oleh suara deru air terjun dan aliran sungai di bawah menara.
Kini, mereka menapakkan kaki pada jembatan batu penghubung mulut gua dan pintu masuk menara—tunggu!
Lagi dan lagi, Molly dibuat tercengang oleh penampakan menara Cardos.
Sejak kapan jembatanya ada? Padahal, ketika mengamati dari atas tebing, Molly tak mendapati adanya jembatan pada sisi menara, seakan muncul begitu saja.
"Simpan sesi terkagum-kagumnya, kita harus segera masuk, dan beristirahat. Hujannya akan bertambah deras setelah ini," tegur Cardos yang telah lebih dulu di tengah-tengah jembatan.
Molly berlari kecil menyusul. Benar apa kata Cardos, belum juga mereka tiba di pintu masuk menara, angin lebih dulu berhembus.
Begitu tiba di depan pintu, Cardos mendorongnya menggunakan kaki kanannya. Kemudian, melangkah masuk dan membaringkan Rolan perlahan pada sofa panjang dekat perapian.
"Astaga, kawanku. Kondisimu lebih buruk dari yang aku duga," komentar Cardos saat mengecek luka di punggung Rolan.
"Katanya, kau bisa menyembuhkannya," Molly berkata seraya mengintip luka Rolan dari kejauhan. "Itu berasal dari panah beracun milik para druid. Kami dikejar sewaktu hendak berteleportasi."
"Aku tahu. Hanya prajurit Iefyr yang memiliki racun ini. Efeknya bekerja dalam jangka waktu sehari setelah melakukan kontak dengan racun." Cardos cepat-cepat melepas mantel dan menggulung lengan bajunya. "Kau lihat bunga kuning yang tumbuh? Ini sedang menghisap essentia milik Rolan. Beruntung aku menyusul kalian, kalau terlambat, Rolan sudah pasti meregang nyawa menjadi makanan lumut dan bunga kuning ini."
Cardos bangkit lalu bergegas menuju ke salah satu ruangan tidak jauh dari ruang tamu. Suara gaduh dan dentingan botol kaca terdengar menggema, ditambah oleh suara erangan dan gumaman seolah tengah membaca sesuatu. Dia kembali membawa semangkuk besar yang berisikan obat-obat juga sebilah belati berkilat.
Dada Molly berdebar-debar, tubuhnya menegang sewaktu mendengar rintihan Rolan. Dia ingin membantu, seperti Rolan yang membantunya kala dirinya hampir tenggelam.
"Apakah ada yang bisa kulakukan?" Molly berkata lembut, berharap penuh.
Cardos menoleh, memandang sosok Molly, yang berdiri di dekat pintu, masih dalam kondisi basah kuyup. Wajah cantiknya terlihat pucat, bibir dan tangannya menggigil gemetaran, namun sorot matanya memancarkan keinginan kuat untuk membantu Cardos. Dia juga menyadari Moko, yang juga menggigil kedinginan, tengah bersembunyi di dada Molly mencari kehangatan.
"Tentu ada," Cardos menjawab lembut, suaranya terdengar tenang di tengah ketegangan. "Pergi ke lantai atas. Di ujung koridor kau akan menemukan sebuah pintu besar dengan obor yang menyala terang di sebelahnya." Ia menunjuk tangga megah di dekat perapian. "Pergilah ke sana, basuh tubuhmu dengan air hangat, pakai baju baru. Jangan lupa rawat monyet itu agar tidak kelaparan."
"Kau menyuruhku untuk mengurus diriku sendiri, bukannya menyuruhku membantu untuk menangani luka Rolan?" protes Molly mengambil langkah maju. Nada suaranya mencerminkan kebingungan dan frustrasi.
"Benar. Karena aku punya dua tamu, dan hanya satu yang menjadi prioritasku sekarang. Dengan kau yang bisa mengurus dirimu sendiri, itu sudah sangat membantuku." Cardos menyampaikannya dengan datar, seolah tengah menyampaikan berita ramalan cuaca.
Molly membuka mulutnya, hendak memprotes kembali. Begitu melihat bagaimana Cardos mengikis lumut itu perlahan-lahan dan penuh konsentrasi, sudah pasti Molly tidak dibutuhkan untuk sekarang ini.
Sang Penjaga Agung dapat menangani luka Rolan seorang diri, sesuai pesan Rolan sebelumnya. Mungkin, dengan memberikan Cardos waktu lebih banyak, juga tidak menyebabkan drama, Rolan dapat ditangani lebih cepat.
Tanpa banyak berkata, Molly memutuskan untuk pergi menuju ke ruangan yang dimaksud oleh Cardos. Walaupun kekhawatiran masih menggeliat liar, tetap saja tidak ada yang bisa dilakukan Molly sekarang. Ia hanya bisa berharap hari berganti cerah dan Rolan dapat segera pulih.[]