Molly mengamati sekitarnya yang kini diselimuti oleh kegelapan. Begitu membalikkan badan, dia mendapati para druid yang menunggunya di luar. Tak menunggu lama, ia kemudian bergegas menuju mulut gua.
Begitu berhasil keluar gua, hari di luar telah berganti. Cahaya matahari telah berubah warna menjadi oranye, dan arah sinarnya berasal dari barat. Padahal menurut Molly, ia hanya sebentar di dalam suaka. Pembuatan patungnya juga mudah dan terbilang cepat. Namun entah mengapa, hari berlalu sangat cepat.
"Sial, dia betul kembali!" Vulen terperanjat, mendapati Molly keluar menggendong patung baru. Suaranya yang lantang membuat seluruh druid menoleh bersamaan. Mereka menarik napas tajam, memandang takjub sekaligus lega.
Donna berjalan mendekat, menunjuk patung yang dipeluk oleh Molly. "Apakah itu patung barunya?"
Para druid menatap penuh kekaguman dan ketidakpercayaan. Patung emas berkilauan, berbeda dengan patung yang selama ini mereka miliki. Mereka kemudian memegangi dada masing-masing, seolah merasakan energi hebat dalam patung itu.
"Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Molly kebingungan.
Vulen mengusap dagunya. "Energinya sangat menyegarkan."
"Kau benar," balas Donna sambil tersenyum lembut.
"Terima kasih telah kembali bersama patung itu tepat waktu, Molly." Druid Agung berjalan mendekat, wajahnya yang sempat diliputi oleh kekhawatiran digantikan oleh kelegaan—serta sesuatu yang lembut. "Kita kembali ke Sarang Dalam sebelum hari beranjak petang."
Druid Agung lantas mengubah dirinya menjadi beruang hutan besar. Dia menggeram memberikan pesan tersirat agar Molly menungganginya. Sementara Vulen dan Donna berubah menjadi macan kumbang, diikuti oleh prajurit lainnya. Kini mereka berbondong-bondong kembali pulang.
Begitu mereka tiba di desa, Molly dipersilakan untuk memasang patung kembali ke altar Aula Pemujaan. Begitu patung itu menyentuh permukaan altar, cahaya emasnya berpendar ke seluruh ruangan. Tanpa diduga, gelombang besar meledak hingga membuat tubuh Molly terhuyung mundur, terus meluas sebesar aula, lanjut ke seluruh bagian Sarang Dalam, hingga menyebar ke seluruh penjuru desa. Membuat dedaunan bergesek dan tanah bergemuruh. Tak hanya para druid di aula yang merasakannya, namun para penduduk lain juga. Kemudian, suhu yang awalnya panas, digantikan oleh kesejukan dalam sekejap mata.
"Ah, suhunya kembali menjadi sejuk," Donna berkata sambil mengamati sekelilingnya.
Tanpa diduga, deru air deras berasal dari sungai terdengar hingga ke Sarang Dalam. Daun-daun bergesekan seolah menyanyikan pujian rasa syukur kepada sang Penjaga Agung Hutan. Dua rusa di dekat aula juga terlihat sehat dan tenang. Pohon Javarash menghela napas lega. Hewan-hewan ternak terdengar tenang. Desa Druid kini resmi pulih kembali.
"Terima kasih telah membantu kami untuk memulihkan tempat tinggal kami, Molly si Pembisik Daun." Druid Agung membungkukkan tubuhnya, memberikan hormat, diikuti oleh Vulen dan Donna yang juga sangat berterima kasih, lalu para prajurit yang lain.
Molly menjengit, tak tahu harus membalas apa. Ini adalah kali pertamanya mendapatkan penghargaan tinggi hingga dihormati sebegitu dalamnya. Setelah sempat kebingungan, Molly memilih untuk membalas dengan memberikan hormat.
"Aku merasa terhormat dapat membantu," kata Molly dengan penuh rendah hati.
***
Malam itu, masih di hari yang sama, para petinggi druid melakukan pesta bersama di Sarang Dalam. Molly mendapatkan kehormatan untuk bermalam di salah satu kamar di Sarang Dalam. Dia juga mendapatkan gaun baru.
Hanya gaun sederhana berwarna hijau tua, lengkap dengan korset yang terbuat dari kulit keras. Molly suka model rok sepanjang separuh betis yang dipakainya sekarang. Para druid wanita memberikannya sepatu boot baru yang lebih kuat setinggi lutut. Kemudian, Molly memilih untuk mengepang dua rambut emasnya.
Anehnya, pesta malam itu terasa kurang menyenangkan bagi Molly. Dia telah menjadi pahlawan di desa ini, menjadi tamu terhormat, bintang pesta, dan disegani. Makanan yang dihadirkan enak, kaya akan rasa, dan air minumnya terasa segar. Tetap saja, Molly masih memikirkan kondisi Agatha. Terhitung satu hari sejak terakhir kali dia melihat kakaknya berteleportasi. Dia harus segera bertindak.
Pandangan matanya melesat kepada Druid Agung, yang berpamitan kembali ke dalam ruangan pribadinya. Molly menenggak minumannya hingga kering, lantas mengikuti pria itu. Namun baru sampai di tengah-tengah terowongan, Molly melihat dua penjaga yang ditugaskan untuk menjaga pintu batu ruangan pribadi Druid Agung.
Aku butuh Rolan, hanya dia yang bisa membantuku membengkokkan keinginan mereka. Molly memutuskan untuk berjalan mundur. Roknya berkibar dan bergesekan ketika berlari kecil melintasi terowongan gua menuju ke Aula Utama. Dengan susah payah, ia melintasi para druid yang sedang berpesta. Sampai akhirnya, Molly berhasil masuk ke penjara bawah tanah.
"Berhenti!" Dua druid penjaga mencegat Molly.
"Aku kemari untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal," kata Molly mencari alasan.
"Kami bisa mengambilkannya—"
"Itu barang milik perempuan," Molly menyela, nada suaranya tinggi hampir berteriak. Apalagi ketika salah satu druid penjaga membalikkan badan untuk membuka pintu. "Kalian tahu ... barang milik perempuan yang..." Dia berakting malu-malu.
Keduanya saling beradu pandang dalam diam. Kemudian, salah satunya membukakan pintu. "Cepat ambil barangmu dan segera kembali ke atas. Pesta akan terasa sepi tanpa bintang utamanya."
"Terima kasih, kalian sangat baik." Molly berjalan pelan. Ketika pintu utama terdengar ditutup, Molly bergegas menuju ke sel milik Rolan.
"Rolan," panggil Molly setengah berbisik.
Rolan, yang masih dalam posisi yang sama sejak terakhir kali Molly melihatnya siang ini, menolehkan kepalanya dan bangun duduk. Alisnya naik bersamaan, dan mata seindah zamrud itu memindai penampilan Molly dari ujung rambut hingga ujung kaki, mengapresiasi sosok perempuan muda itu.
"Aku lihat-lihat kau telah berhasil, Mawar Merah. Sampai-sampai mendapatkan baju baru." Rolan memiringkan kepalanya, pandangannya masih entah berada di bagian tubuh Molly yang mana.
"Aku memang berhasil melakukannya," balas Molly sedikit sombong. "Dengar, aku akan menyampaikan dengan singkat dan cepat."
"Tentang apa?" Rolan kini terdengar penasaran.
"Agatha tidak mati, dia hanya berteleportasi menggunakan anugerah yang ditanamkan pada patung," Molly menjelaskan. "Dugaan pertamaku, Agatha berteleportasi menuju tempat Keajaiban Bilena di simpan, di Labirin Hijau. Karena aku adalah seorang Pembisik Daun, aku bisa meminta izin pada alam untuk membawa kita ke tempat Agatha berada. Jadi kita tinggal bertanya kepada Druid Agung agar bisa masuk ke gua rahasia tempat Agatha melakukan teleportasi dan—"
"Kau kedengarannya memang memiliki rencana, Mawar Merah, tapi kau harus tahu kalau rencanamu tidak didasari pondasi yang kuat." Rolan menyela sambil melipat tangannya di dada.
"Apa maksudmu?" Molly mengernyit.
Rolan berjalan mendekat. Tangannya yang menurut Molly seksi, memegang pagar besi kuat-kuat. Lelaki itu mendekatkan tubuhnya, membuat napas Molly berhenti sejenak.
"Berteleportasi memang ide yang bagus. Tapi, apakah kau tahu di mana Keajaiban Bilena?" tanya Rolan. "Ah tidak. Apakah kau tahu persis bagaimana Labirin Hijau itu? Di mana tempatnya? Apa rute yang harus kau ambil?"
Apa yang dikatakan Rolan ada benarnya. Melakukan teleportasi berarti harus tahu penampakan tujuannya secara spesifik. Molly terlalu ceroboh hingga tidak memikirkan detailnya. Padahal, baru saja sekitar sejam yang lalu dia diliputi oleh harapan, sekarang semangatnya dipatahkan lagi.
"Kau tak memikirkannya sampai sana. Impulsif tanpa perencanaan atau perlindungan," kata Rolan dingin nyaris berbisik. Kini wajah mereka saling berdekatan, hanya dipisahkan oleh teralis besi sel. "Sangat mudah ditebak, menyedihkan."
Molly mengulum bibirnya, berpikir. Menuai pandangan cepat dari Rolan. Mata hijaunya mengamati kegiatan Molly dengan raut wajah datar yang tidak bisa ditebak. Detik berikutnya, dia menegakkan tubuh dan mengambil jarak.
"Apa pun rencanamu itu, kita tetap akan pulang besok pagi." Rolan mengamati tangan kanannya, memandang kutukan. "Sampai pagi tiba, jangan berbuat hal yang macam-macam. Nikmati saja pestanya, lalu tidur. Besok pagi, tunggu aku di kamarmu, kita pulang ke Nevervale bersama."
"Tidak." Molly mengepalkan tangannya, menolak dengan tegas, menuai lirikan tajam dari Rolan. "Agatha harus pulang bersamaku. Aku mengenal seseorang yang mungkin tahu letak Labirin Hijau." Tekadnya telah bulat. "Tujuanku adalah berbicara dengan Druid Agung. Beliau ada di dalam ruangan pribadinya, tapi di sana dijaga dengan sangat ketat gara-gara insiden kemarin," jelas Molly, "aku membutuhkanmu untuk membengkokkan keinginan mereka."
Rolan melipat tangan pada dadanya. "Aku menolak," sahutnya tegas. Dia berdiri menjulang di hadapan Molly. "Menyerah saja, Mawar Merah. Kalau kau melanjutkan perjalanan ini, bisa-bisa kau terjerat masalah lagi."
Molly memiringkan kepalanya, mengangkat dagu seolah menantang. "Aku sudah pernah masuk penjara dan aku berhasil keluar baik-baik. Itu bukan masalah bagiku."
"Persoalannya tidak hanya tentang masuk penjara dan keluar baik-baik, Mawar Merah." Suara Rolan terdengar dingin, lebih menggigit dari musim dingin. "Bagaimana jika nanti bertemu orang jahat? Bertemu monster? Ingat, kau itu bukan Agatha. Kau tidak punya kemampuan membela diri. Pikir itu."
Molly mengatupkan mulutnya rapat-rapat, matanya menatap Rolan tajam. Dia telah jauh-jauh datang ke desa ini, berharap dapat membawa kakaknya pulang namun malah berpisah lagi. Lalu dihina oleh laki-laki yang baru saja dia kenal, ini tidak bisa diterima.
"Kau tidak percaya padaku, ya?" Molly akhirnya bertanya.
Rolan menunjukkan kutukan pada tangan kanannya. "Setelah apa yang terjadi padaku? Harusnya kau mengerti mengapa aku bersikap begini."
"Setelah terkena kutukan itu, kau harusnya juga sudah tahu kalau tidak ada cara lain untuk menghapusnya selain membantuku," Molly membalas tak kalah tajamnya. "Tapi di sinilah kau, meremehkan rencanaku."
"Seperti kataku, kau terlalu impulsif, dan aku tidak bisa mempercayai orang impulsif sepertimu." Rolan menggertakkan giginya, mengepalkan tangannya erat. "Dan aku ingatkan lagi, kau setuju untuk berhenti saat aku mengatakan berhenti dan kembali pulang. Lebih baik jangan langgar janjimu, Mawar Merah. Percayalah, apa yang kau lakukan sekarang hanya akan mengundang penyesalan. Jadi, sebelum itu terjadi, kita pulang ke Nevervale besok pagi."
"Tidak." Molly masih tetap pada pendiriannya. "Aku tidak bisa memercayai orang yang tidak percaya padaku."
Mata seindah batu zamrud itu menyala penuh amarah. "Mawar Merah!"
Bentakan itu membuat Moko tersentak dari ranjang.
"Cukup, Rolan!" Molly ikut membentak. "Barangkali aku keliru memercayai seseorang yang katanya bisa membantuku." Matanya menyipit saat melanjutkan, "Karena kau tidak ingin membantuku, aku akan lakukan sendiri. Tapi, aku tidak akan memberikan imbalan. Biarkan kutukan pada tanganku semakin menyebar, asalkan aku bisa menemukan Agatha dan menyelamatkan Pandia dari pernikahan yang bukan kewajibannya."
Rolan menyambar mendekat, mendekatkan wajahnya kembali. Kali ini menunjukkan betapa dirinya ingin merobek-robek Molly. "Ketika aku mengatakan kita pulang, kita harus pulang. Kau janji untuk menuruti apa kataku."
"Kau mungkin sang Manipulator, Rolan. Tapi, sihir kata-katamu tidak akan mempan padaku." Molly menatap tajam, bergeming tanpa takut.
"Kau terlalu naif sampai-sampai percaya pada Agatha, padahal dia hampir membuatmu dieksekusi oleh para druid. Kita pulang besok pagi, Mawar Merah. Diskusi kita berakhir sampai di sini."
Molly memandang Rolan, wajahnya keras dan dingin, seolah tidak meninggalkan ruang agar Molly bisa menyanggah keputusan sepihak itu. Seperti Paman Powell.
"Kau benar, aku terlalu naif percaya padamu. Kau bisa tinggal di sini sesuka hatimu, Rolan. Aku akan pergi seorang diri." Molly berkata setengah berbisik. Dengan tekad masih tersimpan erat dalam dirinya. Ia berjalan mundur menjauh dari sel penjara.
"Kau tidak punya pilihan, kau tidak memiliki banyak kesiapan," Rolan bersikeras.
"Aku punya pilihan," jawab Molly dingin. "Dan pilihanku adalah memercayai Agatha, meski dia adalah orang jahat sekalipun. Setidaknya dia tidak bermain-main dengan harapanku."
Begitu mulutnya terkatup, Molly terhuyung pergi dari penjara. Ia berlari meninggalkan Rolan yang berdiri memandangnya dari balik jeruji besi.
Molly, dalam kesadaran penuh, telah menitipkan harapan pada Rolan, namun lelaki itu membuatnya layu dan gugur, hanya karena tak pernah benar-benar mempercayainya. Pikirannya berputar, mencoba untuk menutupi rasa kecewanya terhadap Rolan.
Dia tidak ingin jatuh sekarang, tidak sebelum Agatha pulang dan Pandia terbebas dari tugas yang bukan kewajibannya. Molly akan berkorban bila perlu.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali masuk ke aula utama. Ada sesuatu yang harus dilakukannya malam ini dan itu lebih penting daripada memikirkan pendapat Rolan.
"Persetan dengan omongan Rolan."[]