"Coba kau duduk, diam, lalu merenung. Karena sesungguhnya, kau sudah tahu jawabannya, namun kau terlalu lelah untuk berpikir."
"Bagaimana kau tahu aku sudah memiliki jawabannya?" Molly mendengus.
"Instingku mengatakan begitu," Sang Penjaga Agung menjawab sambil mengusap janggutnya.
Sempat terjadi keheningan di antara mereka berdua, menyisakan nyanyian alam yang penuh harmoni dan menenangkan. Sejenak, Molly melupakan tujuan utamanya, membiarkan tubuhnya menikmati momen ini, melepaskan segala penat dan beban, membiarkan angin membawa pergi kecemasannya.
Luar biasa, Molly merasakan tubuhnya jauh lebih ringan. Sejak memutuskan melakukan perjalanan ke hutan, Molly merasa pikirannya selalu keruh, ramai, dan mengganggu. Namun sekarang, setelah duduk sejenak, dia mendapatkan kembali ketenangannya. Rasa-rasanya, sang Penjaga Agung memang sengaja menciptakan keheningan untuknya agar dapat beristirahat.
"Hhm. Gaya bicaramu terlalu ambigu, aku tak mengerti—" Molly memotong ucapannya sendiri. Dia menegakkan tubuh, menarik napas tajam, seolah mendapatkan ide.
Sang Penjaga Agung tersenyum. "Kan, apa kubilang?"
"Pak Tua," panggil Molly. "Apakah mungkin Agatha menggunakan anugerah dalam patung itu untuk berpindah tempat?"
"Bisa saja begitu." Sang Penjaga Agung lantas berdiri.
Molly membuka mulutnya, terkejut dengan informasi yang dijelaskan oleh Sang Penjaga Agung Hutan. "Dan apakah berteleportasi memerlukan izin dari alam yang dituju?"
"Ya, semua hal yang berkaitan dengan portal, dibutuhkan izin dari alam," jawab sang Penjaga Agung, yang sepertinya puas dengan pemikiran Molly.
"Oke, oke, oke. Jadi, Agatha menggunakan essentia dari patung itu untuk berteleportasi ke dunia tempat Keajaiban Bilena disimpan." Molly mengetuk-ngetuk dagu dengan jarinya. "Ke Labirin Hijau!" Semangatnya kembali muncul. "Astaga, aku cerdas sekali!"
Sang Penjaga Agung tertawa terbahak-bahak. Kali ini membuat bunga liar di dekat kakinya tumbuh mekar. "Kau mengingatkanku akan masa-masa mudaku! Sama persis!"
"Jadi sekarang, aku hanya perlu membuat patung, lalu kau mendoakan patung itu dan aku—" Molly memotong ucapannya. Hampir saja dia mengatakan akan menggunakan anugerah dari patung itu untuk berteleportasi. "Oh, tidak. Tidak mungkin."
"Pembisik Daun," kata Sang Penjaga Agung lembut. "Kau tidak perlu menggunakan essentia-ku, sebab kau adalah Pembisik Daun. Kau hanya perlu beresonansi dengan alam. Berbicaralah dengan alam, dan alam akan membantumu."
"Kau benar, aku hanya perlu berbicara dengan alam dan memohon izin untuk berteleportasi."
"Nah, sekarang saatnya membuat patung." Suara Sang Penjaga Agung terdengar ceria seraya berjalan mendekat ke bagian bawah batang pohon banyan, mengambil sebuah tas kecil, dan memberikannya kepada Molly. Tasnya berisikan peralatan untuk membuat patung, ada alat pahat dan palu.
"Tunggu, jadi aku benar-benar harus membuat patungnya sendiri?" Molly membelalak tak percaya. Ia tertegun saat pria tua itu telah lebih dulu berjalan melintasi rumput gajah, menuju ke sungai Berlian.
Molly memutar mata, mengerang kesal, kemudian menyusul dari belakang.
"Kau tidak serius menyuruhku membuatnya, kan?" Molly memprotes.
"Aku sudah terlalu tua, bahuku mudah lelah kalau harus memahat patung," sahut Sang Penjaga Agung sambil menggerakkan kedua bahunya yang gemetaran, mendesah kesakitan seolah dibuat-buat.
Molly memprotes, "Aku sudah katakan kalau aku tak bisa membuat patung."
"Tapi kau punya alam yang membantumu." Senyum Sang Penjaga Agung. Dia kemudian menunjuk sebuah batu yang ada di dekat sungai Berlian. "Pakai batu itu, aku rasa batu itu tidak terlalu berat untuk dibawa pulang."
Molly berjalan malas mendekat ke bagian batu. "Bagaimana caranya membuat patungnya?"
"Tinggal kau pahat saja, kan. Sebelum itu, coba bersihkan dulu," jawab Sang Penjaga Agung.
Molly mengerang frustrasi, namun tetap ia lakukan. Sambil duduk berjongkok, Molly mulai membersihkan batu yang dipilihkan oleh sang Penjaga Agung. Setelah itu mengelapnya dengan rok, memastikan sampai benar-benar bersih dan mengilap.
Sang Penjaga Agung berkata, "Ingat, kau punya alam untuk membantumu."
"Aku tahu." Molly berdecak jengkel melihat Sang Penjaga Agung meninggalkannya sendiri sambil tertawa.
Dia lantas menarik napas dalam-dalam, memusatkan pikiran, sambil mengamati batu yang ada di hadapannya sekarang.
Molly memulai pengerjaannya.
Tidak boleh ragu, tidak boleh menyangkal, percaya pada essentia sendiri, fokus, dan resonansi energi. Molly terus mengulang lima hal yang diajarkan oleh Rolan. Laki-laki itu memang menyebalkan, namun di saat begini, ilmu yang diberikannya cukup berguna.
Ah, berbicara mengenai Rolan, kira-kira apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki itu di penjara? Tidak mungkin dia sedang bermain kecapi, senarnya kan putus satu. Kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana caranya Rolan dapat mendapatkan kecapi dalam kondisi di penjara begitu?
Sambil terus mengayunkan palunya, Molly terus memikirkan Rolan. Ia masih menyesal telah menjebak Rolan dalam kutukan Rantai Ikat. Meski telah meminta maaf, melihat ekspresi kecewa dan marah Rolan tetap membuat hatinya sakit.
Rolan pasti akan kecewa dan marah saat tahu Molly berencana menggunakan essentia untuk melanjutkan perjalanan, meski dia sudah meminta mereka pulang, dan pasti akan merasa rencana itu terlalu berisiko serta bertentangan dengan perintahnya.
"Aduh!" Molly mendesis kesakitan. Bukan karena jari-jarinya yang terkena palu, melainkan tanda kutukan pada telapak tangannya yang mulai menyebar hingga separuh ruas jari-jarinya. "Benar juga, sudah berganti hari. Waktu kita terbatas, aku dan Rolan tak mungkin pulang sekarang."
Molly lantas mempercepat pukulannya, tiap denting palu dan pahatnya beradu dengan ritme napasnya. Dia tenggelam dalam pekerjaannya, dan tanpa sadar, batu itu terpecah dengan sendirinya.
Krak!
Batu itu membelah diri tepat di bagian tengah, serpihannya berhamburan menciptakan serbuk keemasan. Molly terhuyung jatuh terduduk, terpana. Di bagian tengah belahan batu yang terbuka, berdirilah sebuah patung.
Ya, sebuah patung yang dipahat rapi dan dipoles sangat halus.
Bentuknya menyerupai batang pohon yang meliuk anggun membentuk dua orang yang tengah berpelukan. Satu tangan yang terkunci dalam kehangatan dan kenyaman, sementara tangan yang lain membentuk dahan, ranting, juga daun-daun. Patung itu setinggi lutut Molly. Begitu romantis, begitu hidup, jauh dari kata harmoni alam.
"Hahahaha!" Suara tawa Sang Penjaga Agung mengagetkan Molly. "Kau membuat patung yang unik. Dua orang yang saling berpelukan, menyatu hingga menjadi pohon dan memberikan kehidupan. Pembisik Daun yang satu ini sangat romantis." Dia masih tertawa. "Bagus sekali, aku akan mendoakannya."
"Ta-tapi, patung ini terlalu vulgar." Molly memprotes, malu karena dia sempat memikirkan Rolan. Dia ingin mencegah sang Penjaga Hutan untuk mengambil patung itu. Namun pria tua itu telah beranjak lebih dulu.
"Siapa yang tahu tangan halusmu bisa mengungkap rahasia alam lainnya! Kau hebat!" Pria tua itu masih tertawa. "Kau tidak hanya menggali bentuk, tapi mengukir jiwa, memunculkan keindahan yang tidak terduga."
Molly berlari mengekori Sang Penjaga Agung, tepat ketika mereka tiba di depan pohon banyan, pria tua itu meletakkannya di atas tanah.
"Patung ini menjadi simbol, bahwa makhluk hidup memiliki ikatan kuat dan mereka saling membutuhkan satu sama lain, serta bukanlah entitas yang terpisah dari alam, melainkan sebagian dari alam," kata sang Penjaga Agung seraya mengayunkan tongkatnya.
Kemudian, batu pada tongkatnya berkilauan dan seluruh tanaman di dekat kakinya berayun menyambut cahaya keemasan yang semakin terang dan menyilaukan.
"Bahwa cinta dan kehangatan adalah bagian dari siklus alami yang tak hanya mengikat makhluk hidup, tapi juga alam. Bahwa bentuk nyata dari kesatuan adalah karena cinta dan hubungan yang mendalam."
Sang Penjaga Agung mengangkat tangannya ke udara, membuat cahaya emas itu berputar-putar. Dengan begitu, cahaya emas terserap ke dalam patung, mengubahnya menjadi warna emas dari yang sebelumnya berwarna abu kelam.
Molly lagi-lagi terpana, dadanya berdebar penuh rasa kekaguman. Dia tak menyangka telah membuat sebuah patung baru, dengan makna baru, dan kekuatan baru yang memancarkan cinta.
"Patungnya sudah jadi, kau bisa pulang sekarang." Sang Penjaga Agung memberikannya kepada Molly.
"Te-terima kasih." Molly menengadah sambil berkaca-kaca.
"Sama-sama. Oh ya, aku belum tahu namamu, Pembisik Daun."
"Namaku Molly."
"Molly. Nama yang manis untuk setangkai mawar merah," kata pria tua itu.
Kalimat itu mengingatkan Molly pada Rolan.
"Sekarang, aku akan membawamu pulang." Sang Penjaga Agung mundur beberapa langkah. Ia mengangkat satu tangannya yang bebas untuk mengusap kepala Molly perlahan dan mengatakan, "Selamat menempuh perjalanan mencari Agatha, Mol. Hati-hati."
Sang Penjaga Agung mengusapkan telapak tangannya ke wajah Molly, dan seketika itu semuanya berubah menjadi gelap.[]