Mirip korban tumbal, setidaknya itu yang dipikirkan oleh Molly ketika para druid memaksanya masuk. Setelah melihat mereka berdiri tenang di luar, gagasannya sebagai tumbal malah semakin menjadi-jadi.
"Kalian keterlaluan," kata Molly serak, matanya berkaca-kaca. "Paling tidak, suruh elang itu ikut bersamaku—"
Ucapan Molly terhenti saat angin berhembus kencang yang muncul dari luar gua menerpa tubuhnya hingga membuatnya terhuyung mundur. Begitu Molly berhasil mendapatkan keseimbangan, ia mencoba mendekati kembali, namun usahanya sia-sia.
"Apa-apaan?" Molly kembali melangkah maju. Namun angin aneh itu mendorongnya hingga beberapa langkah ke dalam, seolah tak mengizinkannya pergi.
Molly berteriak dari dalam gua, memaki, menghardik, meniru kata-kata yang sering diucapkan Agatha saat berada di rumah. Namun, para druid terlihat santai tak terpengaruh, atau mungkin tak menggubris teriakan Molly, atau jangan-jangan ... gua ini meredam suaranya.
Demi para leluhur!
"Kalian bahkan tak memberiku petunjuk apa pun!" teriak Molly hingga dadanya terasa panas. "Bajingan!"
Seolah menyahut umpatan Molly, terdengar sayup-sayup suara aneh dari bagian terdalam gua. Serupa nyanyian yang saling bersahut-sahutan, menggema dalam dinding batu, bersatu padu dengan tetesan air dari atas gua. Nyanyian itu mengirimkan sinyal waspada dan membuat bulu halus pada tubuh Molly berdiri.
"Demi para leluhur," keluhnya seraya mengentakkan kaki sebal. "Mereka tidak membekaliku obor. Sangat tidak bertanggung jawab."
Walau begitu, Molly tak memiliki pilihan lain selain melangkah masuk lebih dalam. Ia menepis jauh-jauh gagasan tentang tumbal, menggantikannya dengan tekad kuat yang didasarkan oleh amarah.
"Jika aku bertemu dengan Agatha, akan aku jambak rambutnya," gerutu Molly melangkah setengah mengentak. Berharap amarahnya dapat meredam rasa takut. "Aku tampar wajahnya yang sok cantik itu. Aku ... aku akan mencakarnya bila perlu."
Semakin Molly melangkah masuk, semakin gelap suasana, dan jarak pandangnya semakin menyusut. Suara nyanyian itu pun terdengar jelas, seperti paduan suara, seolah berada tepat di belakang telinga.
Tempat ini sempit, langit-langitnya rendah, menekan dada, membangkitkan keresahan dan kecemasan. Tanahnya yang becek dan licin, nyaris membuatnya terpeleset. Anehnya, semakin melangkah ke dalam, ruangan dalam gua ini semakin mengembang luas.
Langkahnya terhenti begitu Molly mendapati sebuah cahaya terang yang berasal dari ujung gua. Ia menarik senyum lebar-lebar, berharap berhasil keluar dari sisi gua yang lain. Namun, saat berhasil mencapai cahaya itu, Molly malah menarik napas tajam. Alih-alih mendapatkan jalan keluar, dia menemukan daratan luas di bawah kakinya.
Suaka Kelopak Emas, nama itu menggema dalam kepala Molly. Sebuah daratan luas, penuh tumbuhan hijau dan bunga liar, dikelilingi oleh dinding batu gua, dengan langit-langit yang menjulang tinggi. Di tengah-tengahnya, tepat di bawah langit-langit yang berlubang, terdapat sebuah pohon besar yang menjadi titik fokus dalam kegelapan.
"Pohon banyan," gumam Molly terkagum-kagum.
Matahari menyinari langsung dari lubang raksasa di langit-langit gua, menerangi daun-daun pohon banyan dan menciptakan cahaya keemasan yang berkilauan. Cahayanya berpendar luas, membuat seluruh daratan tampak dilapisi emas. Kemudian, suara-suara yang didengarnya barusan semakin terdengar semakin jelas dan penuh harmoni, tak mencekam seperti semula.
Molly menuruni tangga batu yang tangganya sedikit licin, mengingat betapa sejuk dan lembapnya tempat ini. Ketika Molly menapaki tanah daratan, dia mendapati lumut-lumut di dekat sepatunya juga berkilauan dalam warna emas dan kuning.
"Ini bukan nyanyian," gumam Molly ketika menyadari suara-suara yang didengarnya. Melangkah perlahan melintasi tangga batu tua berlumut di tengah-tengan rerumputan, ia mulai mengerti apa yang sedang dilakukan oleh seluruh tumbuhan di tempat ini. Senyumannya merekah saat mengatakan, "Mereka tengah memuji sang Penjaga Agung Hutan."
Kami menyerap cahaya dan air, berterima kasih atas kehidupan yang kau jaga. Dalam keheningan, kami merasakan kehadiranmu, membisikkan arti kehidupan. Bagai embun pagi yang bermandikan matahari, kami tumbuh dalam kasihmu, menjadi saksi dalam kelembutanmu.
Nyanyian itu membuat hati Molly dilapisi kehangatan dan kenyamanan. Seluruh makhluk hidup dan benda mati dalam daratan ini bernyanyi. Angin berhembus membisikan rasa syukur dalam kebahagiaan. Air yang mengalir juga berbisik lembut, menyebut sebagai salah satu saksi. Seluruh batu dan bagian dinding gua bersenandung mengagungkan nama Sang Penjaga. Seluruh daun bergoyang merayakan suka cita. Bagai puisi yang selalu diulang-ulang, penuh pemujaan dan harmoni.
"Ah, ah, ah, seorang Pembisik Daun muda rupanya." Suara itu muncul, memecah lamunan Molly.
Tepat di antara akar-akar pohon banyan yang menggantung, muncul pria tua bertubuh tegap atletis. Matanya sipit berwarna hijau menyala tajam, menguatkan kesan tegas dan berwibawa. Janggutnya yang panjang dikepang rapi. Rambut putihnya menjuntai hingga ke perut, yang sebagian rambutnya dikepang dan diikat menggunakan serabut akar berwarna hitam. Telinganya runcing mencuat dari rambutnya yang kusut. Pria itu memiliki tanduk, yang satu tumpul, satunya lagi terlihat runcing, dan tiap-tiap bagian tanduknya terdapat simbol khusus. Bajunya berwarna hijau lusuh, dengan kulit hewan berbulu melingkar pada bahu juga pinggang. Sepatunya terbuat dari kain keras berlambangkan kelopak bunga. Dia membawa sebuah tongkat, berhiaskan batu ajaib di bagian ujung atasnya.
Pria tua itu memiringkan kepala, wajahnya yang semula tegas dan ramah menjadi heran ketika melihat Molly, yang tampak bingung melihat kehadirannya.
Sebelum Molly memulai berbicara, baru saja membuka mulutnya, pria tua itu berkata, "Aku bukanlah hantu."
Lalu dia tertawa, suaranya menggema bagai lonceng yang bergetar, membuat seluruh bagian seisi gua ini menyala menjadi lebih hidup.
"Kau si Penjaga Agung Hutan." Molly menunjuk muka pria tua itu.
"Benar sekali, itulah aku." Penjaga Agung Hutan terkekeh. Kepribadiannya kontras dengan kesan pertamanya. Pria tua ini mirip kakek-kakek tua yang humoris dan ramah.
"Aku tidak tahu jika Penjaga Agung Hutan adalah seseorang," gumam Molly, "aku pikir adalah entitas yang tidak terlihat—"
"Pft, yang benar saja, aku tidak mungkin muncul dalam wujud pohon raksasa yang bisa berjalan," balas sang Penjaga Agung dengan mengayunkan tangannya santai. "Kau bisa berdiri takut hingga terkencing-kencing nanti, hahaha."
Mulutnya terbuka lebar dan menengadah seraya tertawa terbahak-bahak, suaranya bergemuruh dari dalam dadanya. Tawanya kali ini mengundang angin sepoi-sepoi yang membelai rambut Molly.
Molly tertawa canggung mendengar humor si pria tua ini.
"Jadi, Pembisik Daun," kata Penjaga Agung seraya memegangi tongkat dengan kedua tangannya, menunduk meneliti Molly melalui matanya yang sipit dan menyala lembut. Dia bergumam sambil mengusap janggutnya yang panjang. "Ini hanya instingku saja ... ataukah aku pernah melihatmu sebelumnya? Aku merasakan koneksi khusus yang akrab."
Molly mengangkat bahunya. "Aku baru datang di sini. Mungkin karena aku adalah Pembisik Daun, makanya kau dan aku sangat akrab bagai kawan lama. Atau ... yah, kau yang terlalu lama menghabiskan hidupmu berbicara dengan para daun."
Mendengar gaya bicara Molly yang ceria, Penjaga Agung Hutan kembali tertawa terbahak-bahak. Membuat daun-daun pohon banyan bergesekan penuh perasaan bahagia dan menebarkan serbuk berkilauan yang beraroma segar khas musim semi.
"Aku suka humormu," Penjaga Agung Hutan berkata, menepuk-nepuk bahu kiri Molly. "Kau sangat tahu diriku."
"Jadi, Pak Tua." Panggilan yang diberikan oleh Molly membuat mata sang Penjaga Agung terbelalak kaget. Dengan menggunakan nada santai dan bersahabat, Molly lantas memulai, "Aku kemari sebagai perwakilan dari Desa Druid."
"Hmm." Penjaga Agung menganggukkan kepala, mendengarkan saksama.
"Aku telah membuat kesalahan dengan merusak patung—" Molly memotong ucapannya sendiri dan cepat-cepat meralat, "Maksudku, kakakku yang merusak patung pemujaan milik para druid. Tapi malah aku yang dituduh. Akibatnya suhu di Desa Druid menjadi sangat panas, pohon Javarash mengeluh karena dehidrasi, membuat debit sungai berkurang dalam waktu satu malam. Hewan-hewan ternak terkena penyakit aneh, burung dan rusa juga berteriak resah." Nada bicaranya mulai serius. "Para druid menyuarakan agar aku dihukum terjun dari atas tebing hutan. Tapi, setelah mereka tahu kalau aku adalah Pembisik Daun, mereka memintaku untuk membuatkan patung baru."
"Hmm." Si Penjaga Agung menganggukkan kepalanya, mengerti maksud Molly.
"Jadi, adakah cara untukku agar bisa membuat patung itu?" Molly bertanya, setengah memohon. "Sejujurnya, aku hanyalah seorang karyawan toko biasa di tempatku tinggal, aku tak punya keahlian khusus untuk membuat patung."
Sang Penjaga Agung lantas bertanya, "Memangnya apa yang terjadi sampai membuat patung itu rusak?"
"Itu adalah kebodohan kakakku, namanya Agatha. Dia bersikeras untuk mencari Keajaiban Bilena, aku tidak tahu apa hubungan antara patung milik para druid dengan artefak itu," Molly menjelaskan. Kini mereka berdua duduk di salah satu batu besar di bawah rimbunnya daun pohon banyan. "Setelah mencuri patung itu, kakakku tiba-tiba terbakar oleh api dan menghilang. Sekarang, aku tak tahu bagaimana nasibnya."
Sang Penjaga Agung Hutan kemudian berkata, "Energi yang kutanamkan dalam patung itu tak akan melukai orang lain."
Wajah Molly yang awalnya muram, tiba-tiba kembali cerah, menuai keheranan dari Sang Penjaga Hutan. "Jadi memang benar dia masih hidup. Tadinya aku berpikir kakakku telah meninggal karena dia jatuh dari ketinggian."
"Kau kedengarannya sangat sayang terhadap Agatha," kata Sang Penjaga Agung Hutan tersenyum lembut.
"Tentu aku sangat sayang pada kakakku!" Jeda. "Tapi, sekarang aku kecewa dan marah padanya." Molly tertunduk lesu. "Aku bahkan telah memaki dan bersumpah akan mencakar wajahnya kalau bertemu. Sekarang aku menyesal telah berkata begitu."
"Hahaha, ya. Yang satu itu aku juga mendengarnya," tawa sang Penjaga Agung. "Di mana kau tinggal?"
"Nevervale."
"Jauh sekali." Sang Penjaga Agung membelalakan matanya. "Kau jauh-jauh datang untuk menyusul kakakmu?"
Molly mengangguk, seolah berbicara dengan mendiang ayahnya sewaktu masih kecil. Dia lantas menceritakan apa yang terjadi dan Sang Penjaga Agung memahaminya. Tangannya yang besar terulur, mengusap punggung Molly. Dan seketika ... seluruh rasa lelah, sakit, dan kantuk mendadak menghilang dalam sekejap.
"Keajaiban Bilena," Molly bergumam, "sejujurnya, aku tidak memiliki banyak petunjuk tentangnya. Hanya mendengar dari beberapa teman, tapi rasanya belum cukup jelas."
"Mungkin maksudmu," Sang Penjaga Agung berbicara lembut, seolah berbicara dengan cucunya sendiri, "kau tak tahu ke mana dia pergi, dan rute apa yang harus dilalui untuk menyusulnya."
"Ya, memang itu yang terjadi padaku." Molly menundukkan kepala. "Sekarang, aku malah menyesal telah ... kau tahu, memaki."
Sang Penjaga Agung Hutan menghela napas panjang. "Kau tahu, aku selalu memandang keheningan sebagai hal yang sakral."
"Hah?"
"Maksudku, tak semua jawaban berasal dari kata-kata, namun bisa juga dari ketenangan hati dan pikiran. Seperti hutan dan alam yang sering mengajarkan sesuatu tanpa harus berbicara, dan dengan mendengarkan nyanyian alam, kau dapat menemukan jawaban."
Mulut Molly terbuka hingga membentuk huruf O, kemudian menggeleng. "Aku tidak mengerti."