Bibirnya terbuka, matanya membulat penuh, tangannya yang dikepalkan mengendur dalam hitungan detik. Molly tak menyangka Rolan dapat menebak tepat sasaran.
"Bu-bukan begitu!" Molly mendorong Rolan mundur memastikan jarak mereka cukup jauh. Akan tetapi, lelaki berambut merah itu tidak goyah. "Kau salah! Tuduhan itu tidak mendasar!"
"Matamu mengatakan hal yang berbeda, Mawar Merah, kau adalah pembohong yang buruk," balas Rolan dengan nada serak dan dalam. Seringaiannya melebar, membuat Molly merinding sekujur tubuh. "Lalu, jika seandainya kau yang dipilih untuk menggantikan Agatha, apakah kau akan melangkah maju dengan tekad yang sama seperti ini?" Jeda. "Ataukah jangan-jangan, perjalanan ini hanyalah pelarian dari beban yang tak ingin kau pikul?"
Molly membeku seketika. Tudingan Rolan sukses memojokkan nyali Molly, membuat perempuan itu semakin kerdil di hadapannya.
"Maksudmu, aku tidak ada bedanya dengan Agatha, begitu?" Molly membalas seraya memiringkan kepala ke kiri.
Rolan tak membalas, namun seringaiannya semakin lebar hingga menunjukkan gigi taringnya. Senyuman itu cukup membalas pertanyaan Molly, membuatnya tersinggung, menggertakkan giginya jengkel.
"Aku tak mengerti apa maksudmu, Rolan. Tapi, ada hal yang lain yang tidak kau pahami. Aku punya alasanku sendiri," Molly membela diri.
"Apakah ini terkait tanggung jawabmu sebagai seorang saudara kandung? Kau berniat melakukan apa pun untuk kakak dan adikmu. Ah, bukankah itu menggemaskan?" Rolan membalas lancang.
Molly mengulum bibirnya, tak mengerti harus berkata apa lagi.
"Katakan Keajaiban Bilena memang ada, lalu bagaimana jika artefak itu meminta pengorbanan dan ternyata Agatha mengorbankan dirimu, apakah kau rela melakukannya dengan sepenuh hati?" Rolan bertanya kembali. Pandangannya masih terkunci pada mata Molly. Napasnya membelai panas wajah perempuan muda itu. "Atau sebenarnya, kau tahu bahwa semua ini bisa selesai dengan mudah jika kau memilih untuk bersikap lebih rasional?"
"Kau keliru—"
"Aku belum selesai," sela Rolan cepat. Napasnya membelai kasar di telinga Molly. "Kau menyusul Agatha karena takut nanti giliranmu yang dipaksa menikah, kan? Pandia pasti merengek minta kau gantikan posisinya, dan kau terlalu pengecut untuk bilang tidak."
Gejolak emosi dalam diri Molly membuat tubuhnya gemetaran, namun tak berencana untuk menyingkir dari pandangan Rolan. Ia mencondongkan tubuhnya menjauh. Harus diakui, apa yang dikatakan oleh Rolan memang benar, Molly tak akan bersikap munafik—ia memang sedang tertekan atas perjodohan ini.
Awalnya Molly berpikir, Powell memiliki tiga calon pengantin pria untuk tiga keponakannya. Dia juga percaya jika Agatha yang akan dinikahkan lebih dulu. Kepercayaan dirinya semakin kuat ketika Vince memang menyukai kakaknya. Dia berpikir, jika seandainya Agatha berhasil mengangkat roda perekonomian keluarganya, sudah pasti Powell dan Joyce tidak akan terburu-buru menikahkan Molly dengan orang lain.
Akan tetapi, Agatha pergi dari rumah di hari itu, dan Molly ketakutan ketika Joyce hendak mengusulkan untuk mengganti calon pengantin wanitanya. Dia bersaksi, hatinya melolong penuh penolakan. Lalu, ketika Vince menatap ke arahnya, Molly pikir dia yang dipilih. Namun, keberuntungan masih menyertainya.
Tidak, bukan begitu. Aku melakukannya demi Pandia, karena dia masih terlalu muda untuk menikah! Molly membatin panik, berusaha mencari pembenaran.
"Kau keterlaluan, Rolan," Molly berkata seraya menatap penuh kebencian. "Kau tak memberiku ruang untuk menyanggah argumenmu. Itu semua—"
"Benar." Rolan menjawab datar namun mengandung ketegangan. "Kau itu sangat mudah dibaca. Seperti sebuah buku, sekali memandangmu, mendengar caramu berbicara, aku langsung tahu—kau sangat mencintai keluargamu dan kau cukup egois untuk menggunakan alasan keluarga agar dapat lari dari masalah."
Mata zamrud Rolan terpaku pada Molly, tajam dan penuh perhitungan, serta ada sesuatu yang tidak normal dalam kilatan matanya. Tatapannya perlahan turun menuju ke bibir Molly, meluncur ke bagian tulang selangka, dan terjun ke bagian gundukan itu, mengamati bagaimana dadanya naik turun cepat.
Keheningan mencekam menyelimuti mereka berdua. Tegang dan menggantung di udara membuat gerah, menunggu untuk meledak. Bibir Rolan bergetar hendak melontarkan tuduhan yang lain, namun dia memilih untuk menelan kembali kata-katanya. Ia seolah terpaksa ketika memilih untuk menegakkan tubuhnya, menjauh beberapa langkah dengan santai yang dibuat-buat, dan kedua tangannya terangkat di udara.
"Aku tidak mengerti mengapa orang-orang sangat menyayangi keluarganya sampai-sampai bertindak ceroboh seperti kau dan Agatha," Rolan berkata sinis. "Untuk apa melakukan perjalanan ini, kalau pada akhirnya kau juga akan menikah dengan orang pilihan pamanmu, Mawar Merah? Hanya ingin mengulur waktu?" Dia menyeringai seraya menggelengkan kepalanya. "Kau rela melakukan apa pun demi adikmu. Lain kali, kalau Pandia memintamu untuk lompat dari tebing, kau akan melakukannya juga, begitu?"
Molly tersenyum kecut dan menjawab, "Kau boleh menyebutku begitu, terserah. Tapi, aku tidak bisa membiarkan Agatha bertindak egois dengan membuat Pandia sebagai tumbal kebebasannya." Ia meremas roknya, dan menyambung, "Aku akan melakukan apa pun untuk kakak adikku, sebab hanya mereka yang aku miliki. Ibuku pernah bilang, kalau keluarga adalah segalanya dan aku memegang teguh pendapatnya."
"Tidak bisa dipercaya." Rolan tertawa singkat yang terdengar bergemuruh dari dalam dadanya sambil menggeleng kepala seolah tak habis pikir.
Namun, Rolan terdiam begitu menangkap keseriusan yang terlukis di wajah Molly.
Rolan mengangkat tangannya di udara dan mengatakan, "Apa kau pikir mereka akan melakukan hal yang sama kepadamu?" Dia kemudian melipat tangannya di dada dan melanjutkan, "Percayalah, keluarga itu bukan melulu soal pelangi indah di musim semi dan cinta tanpa syarat. Akan ada masanya mereka menggunakan kelemahanmu untuk menyerangmu tanpa ragu dari belakang."
"Tapi tidak dengan keluargaku," sahut Molly tegas dan serius.
Rolan menaikkan kedua bahunya acuh tak acuh dan mengatakan, "Kita memang berbeda pandangan tentang keluarga, abaikan itu. Yang jelas sekarang, kita tidak memiliki petunjuk apa pun, dan terjebak di jalan buntu. Jadi, ayo kita berhenti dan pulang ke Nevervale."
"Aku tidak mau—"
"Kau berjanji untuk mengikuti apa yang aku perintahkan, bukan?" Rolan kembali mendekat dengan pelan, penuh kendali selayaknya predator. "Selama kita bersama, kau akan menuruti setiap kata yang keluar dari mulutku. Mengerti, Mawar Merah?"
Mata Molly berkilat penuh kebencian dan tekad yang kuat. Ia membusungkan dada hendak melawan dan menolak, namun nyalinya semakin menciut saat bertemu pandang dengan mata hijau Rolan.
"Baiklah," kata Molly pada akhirnya, menuai senyuman kelegaan dari Rolan.
***
Hari menjelang tengah malam saat Molly berhasil terlelap, masih dalam kondisi setengah sadar. Sesuatu berbisik di telinganya, sayup-sayup memanggil namanya. Angin di luar berhembus membuka pintu jendela perlahan dan mengirimkan sebuah pesan yang disampaikan dalam mimpi.
Molly, dengarkan kami dalam tidurmu. Saudarimu tidak jauh dari menara. Dia dan Adamus berada di Desa Druid, tidak jauh dari Sungai Berlian. Namun berhati-hatilah, Druid Agung yang murka tengah mengurung mereka sebagai akibat dari keonaran yang mereka buat. Pergilah, sebelum Agatha berhasil membuka portal ke dunia lain.
Kalimat terakhir disampaikan dengan penuh desakan, membuat Molly terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar mendengarkan pesan itu. Ketika dia menolehkan kepala, dilihatnya sebuah pohon besar yang melengkung mengintip dari balik jendela.
Tanpa Molly sadari, hari telah beranjak pagi. Ia tidak memiliki banyak waktu. Cepat-cepat, Molly turun dari ranjang dan menyambar tasnya yang ada di dekat kursi. Tangannya merogoh tas kasar.
Tatapan liar terlihat jelas di mata Molly begitu mengamati benda yang baru dipegangnya.
Tangannya yang kecil memegang benda itu penuh kehati-hatian, seolah benda itu suci. Dia terdiam memandang benda yang dipegangnya, membayangkan semua cara yang mungkin bisa dilakukannya untuk membebaskan kakaknya dan membawanya pulang.
"Aku akan mengikatnya," bisiknya.
Molly memang tak menyiapkan rencana selama perjalanan ke menara Hyams. Namun untuk kali ini dia bersumpah telah memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Setiap bayangan kejadiannya telah menari di antara batas keberanian dan kegilaan.
Satu hal yang pasti: hari ini Molly akan pulang bersama Agatha.[]