Angin malam itu berhembus lembut memadamkan hampir separuh lampu jalanan. Gemerisik dedaunan menciptakan nyanyian merdu yang menenangkan hati. Langkah kaki sepatu kulit menggema pada lantai batu yang becek, bunyi gesekan roknya juga ikut menemani perjalanannya.
Langkah kakinya terhenti ketika lonceng pada menara jam berdentang, menandakan hari telah masuk tengah malam. Molly menoleh ke belakang, mengecek apabila ada seseorang yang membuntutinya. Karena khusus malam ini, Molly mulai bertindak rebel, diam-diam ia menyelinap keluar dari rumah untuk bertemu informan misterius di kedai.
Lentera ditangannya menciptakan cahaya remang-remang yang cukup membantunya melintasi jalan tembusan yang gelap dan sepi.
Petunjuknya tidak banyak, tapi aku harap hanya ada satu informan di sana.
Molly merapatkan tudungnya, mengusahakan agar wajahnya tak terekspos. Ia tahu apa yang dilakukannya sekarang bisa menjadi bahan gosip yang tersebar ke penjuru desa. Seorang wanita berjalan sendirian tengah malam menuju ke kedai minum akan dianggap aib bagi setiap keluarga di Nevervale.
Kedai Anyelir Merah, serupa tempat minum-minum lainnya yang ada di sebelah timur desa. Sorak-sorai para pengunjung yang ikut bernyanyi terdengar hingga di luar bangunan, bahkan sebelum Molly mendorong pintu masuk.
Seluruh meja di kedai itu penuh, hanya tersisa beberapa kursi kosong, pun harus berbagi bersama pengunjung yang lain. Mata Molly mengedar ke seluruh bagian kedai, mengamati dan memindai cepat. Seorang prajurit terlihat menari dan bernyanyi di dekat panggung.
Sementara beberapa pengunjung lain duduk sambil menikmati minuman serta pertunjukan yang dihadirkan. Di sudut lain kedai, tergeletak beberapa pria yang telah mabuk. Sampai akhirnya, Molly berhasil menemukan sosok pria tua yang berdiri di balik meja bar, si pemilik kedai.
Molly melepaskan tudungnya, menjinjing rok agar dia mudah berjalan dan melangkahi tubuh seorang pria yang teler di bawah lantai. Langkah kakinya teredam dalam deru nyanyian seorang penyair di atas panggung. Molly berjalan tegap, sedikit mengangkat dagu menunjukkan kepercayaan dirinya.
"Halo, selamat malam—" Si pemilik kedai mengernyit meneliti perawakan Molly dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia mengelap tangannya memakai kain tua, mengatakan, "Kau tidak terlihat seperti pengunjung kedaiku yang lain. Ingin memesan apa, Nona? Tapi aku sarankan kau tidak lama-lama di sini, karena ini bukanlah tempat yang cocok untuk nona terhormat sepertimu."
"Aku tidak akan lama-lama di sini, janji." Molly berbicara lugas. "Adakah cara untukku bertemu dengan seorang informan terpercaya di kedai ini?"
"Informan?" Kerutan pada dahi si pemilik kedai bertambah satu. Dia mengayunkan tangannya yang berbulu, lantas menggaruk dagunya sambil berpikir sejenak. "Maksudmu, salah satu anggota perkumpulan rahasia?"
Molly menggeleng. "Seseorang yang lain," jelasnya, "seorang perempuan muda sempat datang ke sini bersama seorang pemuda seumuranku. Mereka berdua adalah prajurit desa. Apakah kau ingat?"
Dia menjabarkan ciri-ciri Agatha dan Hugo, berharap apa yang dijelaskannya mampu membantu pria itu mengingat mereka berdua. Si pemilik kedai melipat tangannya di dada, berpikir keras seraya memiringkan bibirnya ke kanan kiri. Banyak prajurit yang menjadi pengunjung kedai datang silih berganti. Ada banyak jenis pengunjung yang memiliki ciri-ciri sama, dan berdasarkan kemampuannya mengenali Molly sebagai pengunjung baru, pasti pria ini ingat sosok Agatha. Sebab kakaknya adalah wanita yang memiliki aura yang mencolok, semua orang pasti mengingat dan mengenalinya.
"Aku memang melihat seorang prajurit wanita berambut merah," ujar si pemilik kedai. "Dia hanya datang sekali, tapi dia sudah lama tidak datang kembali. Ada apa? Apakah dia keluargamu?"
Anak rambutnya terurai jatuh menutupi bagian pipi ketika Molly menganggukkan kepala. "Dia adalah kakakku yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Aku mendengar kalau dia sempat kemari menemui seorang informan."
"Ah, begitu. Tapi, aku tidak tahu apakah dia berhasil bertemu dengan perkumpulan rahasia itu." Si pemilik kedai berkata.
"Dia menemui orang lain, tapi bukan anggota perkumpulan itu," Molly kembali berucap. Ia menyugar rambutnya sebagai bentuk frustrasi.
Masih dalam kesabaran yang kuat, Molly kembali menjelaskan kejadian yang sesungguhnya—sesuai cerita Hugo.
"Mungkinkah kau melihatnya? Selain lelaki jangkung berambut cokelat yang datang bersamanya." Suara Molly terdengar hampir memohon, berharap si pemilik setidaknya melihat Agatha bersama si informan misterius itu.
"Aku tidak ingat dia bersama orang lain selain lelaki muda yang datang bersamanya," gumam si pemilik. Keningnya bertautan kuat.
Sial. "Apakah kau tahu apa yang dibicarakannya?" tanya Molly sebagai bentuk konfirmasi, meski dia sendiri telah mengetahui apa yang dicari oleh kakaknya.
Baru saja Molly mengatupkan mulut, seorang lelaki datang menghampiri meja bartender dari arah kanan. Lelaki itu mengacak-acak rambut ikalnya dan memesan segelas ale. Kemudian, si pemilik kedai meminta waktu untuk mengambilkan pesanan, yang artinya meninggalkan pertanyaan Molly tergantung di udara.
Lelaki asing yang mendatanginya berdiri menyandarkan tubuh pada meja bar dengan malas, seakan bosan dengan segala yang ada di sekitarnya. Perasaan kesal merambat hingga bagian leher Molly begitu melirik sosoknya, padahal barusan ia sedang melakukan perbincangan serius dan lelaki asing ini datang menginterupsi pembicaraannya.
Awalnya, Molly ingin menegur lelaki asing itu. Namun, secara tak sengaja, mereka menoleh serempak membuat pernik mata mereka terkunci satu sama lain. Saling memandang dalam diam.
Satu. Dua. Tiga
Dalam sekejap mata, dunia berhenti. Suara keramaian kedai perlahan-lahan menjauh. Menyisakan melodi tak lazim yang berasal dari dalam dada Molly.
Bagai insan kaya raya yang muak dengan dunia. Ia memakai kemeja berwarna putih tulang yang hanya setengah dimasukan ke dalam celana. Rambut merahnya yang acak-acakan menjuntai jatuh hingga ke wajah. Sekilas terlihat acuh tak acuh dan tanpa empati, lelaki itu masih tertolong oleh wajahnya yang kelewat tampan—meskipun ada garis-garis kelelahan yang membayang di bawah matanya. Sorot matanya tajam dan tak bersahabat, sejenak dia lebih mirip predator daripada malaikat. Ketika dia menyeringai, Molly bersumpah sampai menggertakkan giginya, menahan diri agar tak menganga akibat ketampanannya.
"Kau tahu, jika kau menatap seseorang lebih dari tiga detik, kau akan jatuh hati padanya." Seringaiannya semakin melebar, memamerkan giginya yang rapi. Perwujudan sempurna dari ketampanan yang dibalut kenakalan. Matanya berkilat bagai pemangsa di hutan. Yah, predator adalah julukan yang pas untuknya.
Kalau diingat-ingat, Molly bertemu si lelaki di alun-alun desa saat akhir musim dingin. Sekarang, tanpa di duga, dia bertemu lagi dengan si lelaki bermata zamrud di kedai ini.
Dia adalah si penyair yang berutang dua koin emas pada Molly. Lalu, ketika berbicara barusan, suaranya terdengar menggoda secara halus—lebih mirip penyair sesungguhnya. Berbeda ketika dia meminta koin untuk senar kecapinya yang putus.
"Kau menatapku lama sekali, Nona," gumam lelaki itu, suaranya terdengar setingkat lebih rendah, mengirimkan sengatan ganjil di bagian perut Molly. "Ada yang kau inginkan dariku?"
Molly berani bersumpah, dia tengah berusaha keras untuk memalingkan pandangannya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikan sosok lelaki ini—sebuah sihir kuat dan mengerikan sengaja ditanamkan dalam tubuhnya hingga membuat waktu berhenti berputar.
Si lelaki kini membalas tatapan Molly dengan lebih berani. Seringaiannya tak pudar sedikit pun. Ia lantas berdiri tegak, selanjutnya berputar-putar pelan, memamerkan bentuk tubuhnya yang ramping dan berkelas.
"Ada hal khusus yang menarik perhatianmu?" Sangat lancang, vulgar pula.
"Matamu..." Molly tidak sadar berbisik.
Ya, ada apa di matanya?[]