"Untuk apa kau kembali?"
Molly menerjang masuk dari pintu depan aula depan. Raut wajahnya datar tanpa emosi, namun langkah kakinya cepat, suara sepatunya membentur lantai keras, dan gesekan roknya terdengar kasar—mirip bom yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Molly mengeluarkan beberapa lembar kertas dari saku baju dan menunjukkannya ke wajah Hugo. "Agatha pergi mencari Keajaiban Bilena dan kau tahu tentang rencananya."
Hugo tertegun, mulutnya menganga hendak membela diri. Sayangnya tuduhan yang dilayangkan Molly telah memiliki bukti nyata. "Kalau iya memangnya kenapa?"
"Dan kau tidak memberitahuku." Molly menyipitkan matanya, rasa kecewanya naik menjadi kejengkelan. "Kau tahu kalau Agatha adalah orang yang nekat, Hugo."
Hugo kali ini membela diri. Suaranya yang awalnya lancang kini berubah menjadi dipenuhi rasa bersalah. "Aku melakukannya, karena Agatha mengancamku untuk tidak memberitahukan tentang hal ini padamu. Dia tahu kau akan melarangnya."
Molly berdecak, tangannya bergerak kasar saat menyugar poni panjangnya. Dia berkacak pinggang. "Jabarkan sekarang."
Hugo mengangkat kedua tangannya, sebuah kode bahwa dia telah menyerah. "Dia tahu aku memiliki banyak teman di kedai tempatku biasa berkunjung."
Kali ini Molly yang melipat lengannya di dada. Matanya mungkin menatap tajam Hugo, namun seluruh pandangannya menelaah setiap inci raut wajah sepupunya. Dimulai dari bagaimana mata biru itu bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu bibir yang berkedut saat menjelaskan, serta ayunan tangannya yang memberikan penekanan setiap ucapannya.
"Aku mengantarnya untuk membeli informasi mengenai sebuah artefak." Hugo masih menjelaskan, suaranya terdengar santai dan tidak panik seperti sebelumnya. "Sayangnya waktu itu, dia tidak mendapatkan petunjuk apa pun dan berakhir marah besar. Tapi, seseorang mendatangi meja kami berdua."
Molly mengernyit, semakin penasaran akan cerita Hugo. "Siapa orang itu?"
"Ya, dia—" Suara Hugo perlahan-lahan merendah dan akhirnya menghilang. Alisnya bertautan, matanya mengerjap bingung. Hugo menggaruk keningnya dengan jari telunjuk seolah tengah berpikir keras. "Aku yakin aku ingat namanya. Aneh."
"Siapa namanya, Hugo?" Molly menuntut tidak sabar.
Hugo terus terdiam sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Lupakan namanya, apakah dia sering berkunjung ke kedai minuman langgananmu?" Molly kembali bertanya.
Hugo menggelengkan kepalanya, masih tidak ingat.
Molly memijat ujung hidungnya, lalu menanyakan kembali, "Bagaimana ciri-cirinya?" Suaranya naik satu oktaf, hal yang jarang dilakukannya. "Apakah seorang laki-laki? Perempuan?"
"Aku rasa laki-laki—" Hugo mengatupkan mulutnya dan wajahnya kental akan keraguan. "Mungkinkah seorang perempuan? Entahlah, semakin aku mengingatnya semakin aku tidak tahu."
Tangan Molly meremas kertas-kertas itu kuat-kuat demi menahan rasa jengkelnya. "Apa nama kedainya?"
"Jangan bilang kau mau ke sana. Kedai itu hanya buka saat malam hari," Hugo berkata, kali ini diwarnai oleh kekhawatiran. "Dengar, hubungan kita memang tidak pernah berjalan baik, tapi aku tidak mau kau membuat gosip di desa, Mol."
Dan dengan ketenangan yang luar biasa, Molly mengangkat tangannya untuk menurunkan jari Hugo dari wajahnya.
"Apa nama kedainya, Hugo?" tanya Molly yang berhasil membuat Hugo merinding. "Nama. Kedainya. Sekarang."
"Kedai Anyelir Merah—" Hugo memotong kalimatnya, karena sebelum dia benar-benar menyelesaikan ucapannya, Molly telah lebih dulu berjalan pergi. "Molly, kenapa kau sampai ingin mencari Agatha? Bukankah dia memang mendambakan kebebasan sejak dulu?"
Pertanyaan itu menghantam keras bagian dada dan berhasil membuat Molly sempat menghentikan langkah kakinya.
Lalu Molly menjawab, "Seseorang harus menghentikan tindakan egois Agatha."[]