Aku meronta-ronta dalam gelap, mulut dan mataku tertutup kain kasar berbau tengik. Kaki dan tanganku ditarik paksa, tubuhku diseret menyusuri lorong. Aku menendang ke segala arah, tapi sia-sia. Mereka terlalu kuat.
Karena mulutku disumpal, suaraku hanya berakhir sebagai dengusan tertahan. Aku yakin ini masih dini hari. Sepi. Tak ada siapa pun di lorong apartemenku. Mustahil ada yang mendengar.
“Masuk!” Suara berat membentak, lalu tubuhku didorong kasar ke dalam mobil. Aku mendarat di jok keras dengan tubuh gemetar. Tapi satu hal yang membuatku tersentak—di sebelahku ada suara erangan lain. Bukan aku satu-satunya yang disekap.
“Ehhhm… eehhhm…”
Suara itu terdengar berat, seperti milik seseorang yang juga disumpal dan dilumpuhkan.
Dalam hati aku ketakutan.
Mobil melaju kencang. Aku tidak tahu kemana, hanya suara mesin dan desiran roda melindas aspal yang menemani ketakutanku. Ini kali kedua aku diculik. Dan kali ini, firasatku lebih buruk.
Butuh waktu lama hingga akhirnya mobil berhenti. Aku digiring turun, tubuhku kembali dihempaskan ke tanah keras berpasir. Bau tanah bercampur debu menusuk hidungku. Ketika penutup kain ditarik paksa, mataku menyipit menyesuaikan diri dengan gelapnya langit dan samar-samar cahaya lampu mobil.
Aku berada di lahan terbuka, dikelilingi perkebunan sawit. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain pria-pria bersenjata yang mengelilingiku. Napasku memburu. Jantungku berdetak tak karuan.
Tak jauh dariku, seseorang diseret keluar dari mobil yang sama. Jalannya tertatih, wajahnya babak belur. Aku membelalak ketika kain penutup wajahnya dilepas.
“Detektif Rifqi!”
Aku ingin berteriak, tapi mulutku masih disumpal. Detektif menatapku lemah ketika penutup matanya dibuka, wajahnya lebam. Tubuhnya terlihat lunglai. Kami saling berpandangan, seolah saling bertanya—kenapa kami di sini? Kenapa kami bersama?
Aku merasa heran kapan detektif ditangkap? apakah dia disergap oleh orang-orang kasar saat kepulangannya dari apartemenku. Jika iya, berarti apartemenku sudah diincar oleh mereka. Tapi sejak kapan?
“Diam!”
Bentakan keras membuat lamunanku membuncah, kami berdua merunduk ketakutan. Ujung pistol teracung ke arah kami, dingin dan tak ragu.
Lalu tak lama kemudian sebuah mobil BMW melaju mendekati kami. Cahaya lampunya menyilaukan. Aku menyipitkan mata, mencoba mengintip sosok yang melangkah keluar.
Seorang pria dengan jas rapi dan kacamata hitam. Rokok terselip di sudut bibirnya, asap mengepul tipis di udara.
“Mr. James. Semua sudah sesuai perintah.” Sapa seorang pria bersenjata.
Ternyata dialah Mr.James. Baru kali ini aku melihat wajah aslinya, sosok yang namanya menghantui kami selama ini. Dia terlihat berwibawa dan tegas, dengan aura berbahaya yang menusuk. Aku bergidik.
Mr. James melangkah mendekati detektif Rifqi. Tanpa peringatan, dia menekan puntung rokok menyala ke dahi detektif.
“Aaarrgh!!”
Jeritan detektif memecah malam, membuat tubuhku bergetar hebat.
“Aku dengar kau menyiksa anak buahku, Rey, benar?” suara Mr. James berat, dingin, seperti maut yang berbisik.
“Asal kau tahu saja, anjing seperti mu tidak pantas menyentuh satu helai pun rambut anak buahku.”
Detektif menatapnya tajam meski tubuhnya gemetar kesakitan.
“Lucu juga, kau bahkan hampir merusak semua rencanaku untuk menghabisi Yahya. Sekarang aku pastikan kau tidak akan pernah menggangguku lagi.”
Mr.James melirik kearahku dengan tatapan dingin, lalu melangkah mendekat. Dia beralih ke arahku. Jemarinya mencengkeram daguku, memaksa wajahku menatap matanya yang hitam dingin.
“Jadi, kau gadis pembunuh Diana?”
Aku menggeleng sekuat tenaga, mengerang panik. Aku ingin berteriak—aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak membunuh siapa pun!
“Oh, tidak mengaku ya. Tapi sayang sekali. Bagaimanapun, kau tetap ancaman bagiku.”
Mr.James tersenyum dingin, lalu memesan pistol dari anak buahnya. “Buka tutup mulutnya” Perintah Mr.James sambil menunjuk ke arah detektif Rifqi dengan pistolnya. Orang yang berdiri itu membuka penutup mulut yang membuat detektif Rifqi seketika mengaduh.
“Bajingan bangsat, apa yang kau rencananakan, lepaskan kami”
DOR!
Detektif terlonjak, pegitupun dengan diriku ketika mendengar suara tembakan. Wajah kami mendadak pucat. Suara tembakan dilepaskan ke udara oleh Mr.James, membuat kami terdiam mematung. Seolah waktu terhenti.
“Hus hus hus, Aku membuka ikatan mulutmu bukan untuk mengoceh, tapi untuk menjawab pertanyaanku”. Ucapnya dengan tenang.
Detektif terdiam tidak bersuara. Aku yakin sekarang dia mengerti posisinya tidaklah bagus. Kami menatap Mr.James dalam kekhawatiran dan ketakutan, menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
“Baiklah, sepertinya anjing Yahya yang satu ini sudah mengerti. Pertanyaanku cukup sederhana, kenapa kau selalu menggagalkan rencanaku menghabisi Yahya?”
“Sudah keharusan bagiku menghentikan orang rakus dan brengsek sepertimu”
DOR!
Detektif terdiam membeku. Suara tembakan kedua menggaung di udara, membuat seluruh tubuhku gemetar.
“Aku lupa memberitahumu, kalau kau terus-terusan mengoceh tidak jelas seperti itu dan tidak menjawab serius pertanyaanku, maka pistol ini akan menembus kepalamu”
Peluh keringat mengucur di dahi detektif, dia terlihat sangat ketakutan dengan intimidasi Mr.James. Akupun yang tidak sedang diintimidasi oleh dia merasakan rasa takut yang sama.
“Aku tanya sekali lagi, kenapa kau selalu menggagalkan rencanaku menghabisi Yahya?” Kini pertanyaannya lebih menekan, seolah menegaskan bahwa dia tidak sedang bercanda.
Detektif tidak langsung menjawabnya, dia masih menatap mata Mr.James cukup lama.
“Jawab!” Salah seorang anak buah Mr.James menghardik membentak detektif. Dia terkejut dan membuat detektif terpaksa menjawab.
“Aku punya ambisi untuk membebaskan pulau Kalimantan dari para oligarki rakus dan sadis seperti kalian. Oleh karena itu, aku berani mempertaruhkan segala yang aku punya untuk membela kebenaran. Dalam kasus ini aku yakin pak Yahya adalah orang yang tidak memiliki daya rusak sepertimu. Itulah mengapa aku membelanya dan melindunginya semampuku”
Aku terkesan dengan jawaban detektif. Sungguh mulia, namun di sambut tawa oleh Mr.James.
“Hahaha lucu sekali. Berlagak sok jadi pahlawan rupanya. Asal kau tahu saja, aku tidak segan-segan menghabisimu kalau kau tidak berhenti mencampuri urusanku dengan idealisme bodohmu. Jadi kalau kau masih sayang dengan nyawamu, aku sarankan kau untuk berhenti dan mulailah menjadi petani sawit.”
“Tidak akan, selama tanah ini masih dikuasai oleh orang-orang jahat penindas seperti kalian, maka kehidupan kami sebagai masyarakat biasa tidak akan pernah damai”
Aku terdiam, sedangkan Mr.James membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari detektif Rifqi, kemudian tanpa aba-aba dia segera membalik badan.
DOR
Suara tembakan pistol terdengar kembali membahana di tengah hutan sawit. Kali ini aku terkesiap karena sasaran tembakan Mr.James bukankah langit kosong melainkan kaki detektif Rifqi. Membuat detektif menjerit kesakitan dan mengucurkan darah segar.
“Kan sudah kuperingatkan. Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya.”
Keringat mengucur deras dari pelipis detektif, sedangkan aku yang berada di sampingnya tercekat ngeri menyaksikan apa yang terjadi pada kaki detektif. Aku sempat mengerang agar Mr.James berhenti menyiksa detektif Rifqi, namun sepertinya dia tidak peduli.
“Aku tanya sekali lagi apa kau mau berhenti mencampuri urusanku dengan Yahya?”
Detektif terdiam tidak menjawab. Namun pandangannya jelas kesakitan memandang lurus ke arah Mr.James.
“Jawab, atau sekarang kepalamu yang akan aku tembak” Lagi-lagi Mr.James mengancam.
Sambil menahan rasa sakit, detektif Rifqi mengangguk pelan dan berusaha dengan susah payah menjawab “Iya”.
“Bagus, sekarang beritahu aku, dimana kau menyembunyikan Yahya”
Detektif ragu sesaat, lalu dengan suara gemetar menjawab, “Di bunker rumahnya.”
Mr. James tergelak. “Akhirnya. Kehancuran Yahya akan segera tiba.”
Kemudian Mr.James berjalan ke salah seorang anak buahnya dan membisikkan sesuatu, aku tidak tahu apa itu tapi yang jelas, orang itu mendekat ke arah detektif dan melepaskan ikatan yang melilit di tangan dan kakinya. Kini detektif bebas, lalu dia diberdirikan dengan kondisi kakinya yang pincang terluka oleh tembakan.
Mr.James melangkah mendekat ke arah detektif dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Sekarang aku akan membebaskanmu, kau bisa lari ke hutan atau ke jalan. Terserah. Namun yang pasti aku akan menembakmu dari belakang, jika kau bisa menghindari peluru ku, maka kau beruntung, tapi jika tidak, maka kau akan menyusul si bos sawit ke akhirat. Sekarang lari lah”
Detektif terlihat cemas. Keringat deras mengucur di pelipisnya, dia harus lari. Tapi karena luka yang dialaminya, dia tidak bisa bergerak. hanya berdiri di tempatnya.
DOR
kemudian lagi-lagi suara tembakan terdengar, sekarang Mr.James menembak tanah di samping detektif, membuatnya ketakutan dan terpaksa membuatnya berjalan. Sempat sesaat detektif melihat mataku namun tidak saling ucap, dia kemudian berlari dengan susah payah menjauhi Mr.James.
Aku bisa mendengar Mr. James berhitung, entah apa yang dia lakukan, sesekali dia tersenyum seolah bahagia mempermainkan detektif Rifqi.
“Ini akan menyenangkan”. Ucapnya sumringah.
DOR
Lagi-lagi suara tembakan dilakukan, kali ini sasarannya detektif Rifqi yang sudah berjalan agak jauh dari posisi kami. Sekarang aku mengerti, dari awal memang Mr. James tidak punya niatan untuk membiarkan detektif hidup.
“Lari. Larilah demi hidupmu yang menyedihkan itu dasar anjing peliharaan Yahya hahaha”
DOR
DOR
DOR
Suara tembakan beruntun terdengar, aku bisa melihat ada beberapa peluru yang berhasil mengenai tubuhnya. Sempat dia tersungkur ke tanah akibat tertembak, namun semangat hidup detektif begitu kuat, dia kembali bangkit dan lanjut berjalan menyusuri hutan, berharap bisa lepas dari tembakan Mr.James. Bahkan dia sempat bersembunyi di balik pohon sawit, namun Mr.James terus menembaki pohon itu, hingga akhirnya Mr. James terpaksa berjalan menyusul detektif menuju pohon dan melakukan tembakan terakhir.
DOR
Setelahnya tidak ada lagi suara apapun, bahkan detektif Rifqi tidak berusaha untuk lari lagi dari balik pohon. Dari titik ini aku yakin kalau Mr.James berhasil membunuh detektif Rifqi. Dia kembali ke tempat ku dengan wajah sumringah puas.
“Akhirnya satu anjing berhasil dilumpuhkan.”
Aku bergidik ngeri, dia begitu sadis. Sekarang aku benar-benar ketakutan, tidak ada lagi yang bisa melindungiku.
Mr.James memegang kepalaku, dia menjambak rambutku.
“Arrrgh”
Hanya geraman yang keluar dari mulutku yang masih tersumpel, kemudian dengan kasar Mr.James menarik sumpelan dari mulutku dan membebaskan ku darinya.
“Halo anjing betina, aku sudah dengar kalau kau sempat bekerja sama dengan Yahya. Apa kau membocorkan rahasiaku tentang Diana kepadanya?”
Aku tidak menjawab untuk sesaat, karena rambutku di jambaknya cukup kuat. Lalu Mr.James menodongkan pistolnya ke arahku, membuatku ketakutan setengah mati.
“Sungguh aku tidak tahu apapun mengenai hubunganmu dengan bu Diana, bahkan aku tidak terlibat dalam pembunuhannya. Kumohon lepaskan aku”
Sambil mengernyit kesakitan aku memelas kepada Mr.James kalau aku bukan orang yang dia maksudkan. Aku tidak mengetahui apapun. Mr.James melepaskan jambakan rambutku, kemudian menghempaskanku kembali ke tanah.
“Aduh”
“Lalu, apa hubunganmu dengan Diana?”
“Aku hanya anak buahnya di kantor, bahkan kami hampir tidak pernah mengobrol satu sama lain. Aku tidak tahu apapun mengenai kehidupan pribadinya, kami saling mengenal hanya urusan pekerjaan, jika tidak. Kami seperti orang asing yang tak saling sapa”
Mr.James terlihat berpikir, tidak menanggapi apa yang aku ucapkan. Hingga dia memastikan.
“Kau berkata jujur?”
Aku menganggukkan kepala kuat-kuat, menandakan kalau aku tidak berbohong. Namun wajahku masih cemas menebak-nebak apa yang akan dilakukan Mr.James selanjutnya.
“Kalau begitu, aku percaya padamu, tapi rasa percayaku tidaklah gratis.” Dia sejenak menghembuskan nafas. Lalu melanjutkan. “Aku dengar kau menjalin hubungan dengan anak Yahya, kalau tidak salah namanya Fahmi. Benar?”
Aku terkesiap, bagaimana dia bisa tahu hubunganku dengan Fahmi. Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena apapun yang kulakukan, aku takut salah.
“Kalau begitu, aku ingin kau menjadi ‘anjing’ peliharaanku. Laporkanlah segala gerak-gerik Yahya dari dalam, gunakanlah anaknya. Dengan kata lain jadilah anjing mata-mataku.” Mr.James terkekeh. “Kalau aku tidak mau”. Aku ketus menanggapi. “Maka kau akan menjadi babi buruan anak-anak buahku”.
Dia menunjuk ke arah anak buahnya. Aku melihat satu persatu wajah mereka yang sangar dan mengerikan. Aku bergidik ngeri.
“Mungkin sebelum membunuhmu, mereka akan memperkosamu. Kau terlihat manis bagi mereka. Haha”
Aku menjauhkan wajah dari Mr.James, tawaran yang dia lakukan benar-benar merugikan diriku. Aku tidak ingin menjadi mata-mata keluarga Yahya. Apalagi jika melibatkan Fahmi. Tapi jika aku tidak mengikuti keinginan Mr.James, maka aku akan dibunuh sama seperti detektif Rifqi. Ngeri.
Aku tidak punya pilihan, akhirnya aku mengiyakan dengan terpaksa.
Mr.James lagi-lagi tersenyum lebar. “Mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku dan melaporkan segala nya”
Aku sungguh tidak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Ada perasaan bersalah di dalam diriku karena akan memanfaatkan Fahmi untuk mendapatkan informasi pak Yahya. Memang benar apa yang dikatakan oleh semua orang kalau sebaiknya aku tidak pernah menjalin hubungan dengan Fahmi.
Akhirnya dini hari itu juga aku kembali ke apartemenku, dengan diantar dan dijaga oleh seorang anak buah Mr. James. Tanganku dingin, tubuhku masih gemetar mengingat bagaimana detektif Rifqi mati dengan tradis dan sadis. Dia meninggalkan aku sendiri, terjebak di tengah permainan mematikan antara keluarga Fahmi dan Mr. James.
“Ambil barang yang perlu-perlu saja. Sisanya kamu bisa dapat di tempat Mr. James. Dan jangan coba-coba menelpon polisi, kalau tidak, peluru ini yang bicara,” ucap anak buahnya, menunjuk pinggangnya yang menggembung oleh gagang pistol.
Aku hanya mengangguk, masuk ke kamar dengan langkah gontai. Nafasku berat. Aku tahu, ini bukan sekadar mengambil barang, tapi juga mengambil keputusan besar dalam hidupku. Entah kenapa aku malah meraih ponsel dulu, bukan pakaian atau barang berharga lainnya.
Layar ponselku menyala, ada puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Fahmi.
Tanganku gemetar saat menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar, lalu suara panik itu langsung menyapaku.
“Kamu kemana, Maya? Aku udah khawatir setengah mati!”
“Maaf… Aku…” Suaraku serak, tak sanggup menyembunyikan ketakutan. “Semalam aku diculik, Fahmi. Sama orang-orangnya Mr. James.”
“Apa?! Kamu gak apa-apa kan?”
Aku tak kuasa menahan air mata yang menggantung. “Mereka paksa aku jadi mata-mata buat ngawasin keluargamu. Aku gak punya pilihan…”
“Brengsek!” Aku dengar suara Fahmi menghantam sesuatu di seberang sana. “Aku bakal ke sana jemput kamu sekarang juga!”
“Jangan!” Aku buru-buru menghentikannya. “Kalau kamu ke sini sekarang, kita bakalan mati dua-duanya.”
“Lalu gimana?”
“Kita bertemu di bandara Tjilik Riwut, kita jadi kabur ke Bandung. Kau siapkan saja semua kebutuhan kita, termasuk tiket. Aku akan menyusulmu disana, pesan tiket untuk pesawat dengan keberangkatan pertama”
“Kamu yakin? bagaimana caramu kesana?”
“Serahkan itu padaku, pastikan saja kau bisa di bandara saat aku tiba. Kau bisa melakukannya kan?”
Aku mendengar helaan napas panjang dari seberang sana, lalu suara beratnya menyahut, “Oke. Aku percaya sama kamu. Kita ketemu di sana.”
Tiba-tiba suara keras memanggil namaku dari luar kamar. Aku tahu anak buah Mr. James sedang gelisah menunggu.
“Aku tutup dulu ya, aku bakal sampai di sana. Janji.”
Klik. Aku menutup telepon dan membenahi beberapa barang seadanya—beberapa baju, laptop, sisanya aku tinggalkan begitu saja. Aku tahu aku tak punya banyak waktu.
Begitu keluar, anak buah itu menatapku tajam. “Cepat pergi!”
Aku mengangguk pelan.
Di dalam lift, kepalaku penuh rencana. Aku tahu aku harus kabur, tapi bagaimana? Di lantai dasar, begitu pintu lift terbuka, aku mengambil langkah nekat. Aku berteriak sekencang-kencangnya.
“Tolooong! Orang ini mau menculik ku, tolong!”
Semua orang yang sedang duduk-duduk di lobi sontak menoleh. Beberapa dari mereka mendekat, menatap curiga ke arahku dan pria berbadan besar di sebelahku. Wajahnya yang kaku langsung berubah panik.
“Diam kau!” bentaknya, tapi aku terus berteriak.
Kesempatan sekecil apapun harus kumanfaatkan. Aku hantamkan ransel berisi laptopku ke wajahnya.
BUG!
Suara pukulan keras terdengar.
“Dia mau menculikku, tolong” Teriakku lagi.
Teriakan dan suaraku mengundang lebih banyak orang mendekat. Mereka mulai menahan pria itu, sementara aku berlari ke luar gedung mencari bantuan.
“Mas, tolong saya! Tolong antar saya ke Bandara Tjilik Riwut! Cepat mas!” Aku menarik tangan seorang pria berjaket hitam yang kebetulan sedang duduk di motor.
Pria itu terlihat keheranan.
“Ada apa ini mbak?”.
“Aku dikejar penjahat. Tolong mas!”
Akhirnya orang itu mengangguk, mungkin karena kasihan melihat wajahku yang penuh ketakutan. “Ayo naik!”
Aku melompat ke jok motor, dan kami langsung melesat keluar dari area apartemen. Di belakang, anak buah Mr. James meraung-raung marah, mencoba melepaskan diri dari kerumunan yang menahannya.
“Mbak kenapa?” Orang di depanku bertanya panik.
“Aku mau diculik mas, sekarang aku mau kabur ke bandara, ada temanku menunggu disana”
Sepanjang jalan, aku menceritakan sebagian kecil kejadian semalam. Pria bernama Adit itu hanya mengangguk-angguk, wajahnya kaget bercampur kasihan.
“Kamu kena masalah besar ya Mbak?” tanyanya lagi.
“Iya mas. Makanya tolong cepat!” Pintaku panik.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan Bandara Tjilik Riwut. Aku buru-buru turun, mengucapkan terima kasih, lalu berlari ke dalam. Napasku memburu, keringat mengalir deras, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Fahmi.
Ponselku bergetar, pesan dari Fahmi.
“Aku sudah di area check-in. Aku tunggu kamu.”
Aku menarik napas panjang, melangkah masuk. Mataku segera menemukan sosoknya—berdiri di dekat konter check-in, wajahnya cemas, tapi langsung berubah lega saat melihatku.
“Maya!”
“Fahmi!”
Kami berlari kecil saling mendekat. Sejenak aku ingin memeluknya, tapi aku tahan. Kami tidak punya waktu.
“Syukurlah kamu selamat.”
“Ini belum selesai. Kita harus cepat.”
“Benar, setuju! Ini juga aku sedang dikejar-kejar pengawalku”
Aku menatap Fahmi lirih tanpa berucap menanggapi kalimat terakhirnya. Merasa prihatin. Akhirnya kami tergesa-gesa check-in dan boarding. Tapi baru beberapa langkah, suara teriakan menyusul kami.
“Maya!”
“Fahmi!”
Aku menoleh, melihat para pengawal Fahmi dan anak buah Mr. James. Mereka berteriak memanggil kami dari balik pagar pembatas. Mereka tertahan disana. Kami mempercepat langkah, tak peduli.
Namun tak lama kemudian, para pengawal Fahmi berhasil menerobos pembatas, sedangkan pengejarku ditahan petugas.
Aku dan Fahmi saling berpandangan. Wajahnya memucat.
“Brengsek, Ayahku. Pasti dia yang membiarkan mereka lolos” desis Fahmi.
Ketika kami sampai di gate dan hendak naik ke pesawat. Pengumuman dari petugas bandara mengejutkan kami.
“Dimohon kepada penumpang atas nama Fahmi Al Yahya untuk tidak masuk ke pesawat dan tetap di boarding gate.”
Para calon penumpang mulai berbisik-bisik, mencari tahu siapa Fahmi. Tapi kami terus melangkah masuk ke kabin pesawat. Tak lama usaha kami berhasil, kami masuk ke kabin, tapi di tengah kepanikan, beberapa pengawal Fahmi tiba-tiba muncul di pintu pesawat.
“Sembunyi May”. Perintah Fahmi berteriak.
Kami bersembunyi di kolong kursi, tapi percuma. Karena bentuk pesawat yang sempit, membuat kami tidak bisa melarikan diri.
Dengan kasar, para pengawal itu menemukan kami. Mereka berhasil menyeret Fahmi keluar dengan mencengkram kakinya. Fahmi meronta-ronta, demikian juga denganku, mencoba menolongnya agar tidak dibawa.
Tapi apa daya, pengawal-pengawal itu cukup kuat, lagi-lagi mereka berhasil membawa Fahmi pergi. Kejadian ini seperti dejavu buatku.
“Maya, aku pasti nyusul kamu! Janji” teriaknya.
Air mataku tumpah, hatiku retak melihat tubuhnya diseret menjauh. Aku menjerit memanggil namanya, hendak menyusul Fahmi tapi aku ditahan oleh seorang pramugara dan dipaksa untuk duduk di kursi karena pesawat akan lepas landas.
Suara mesin pesawat perlahan menelan semua teriakanku. Fahmi diseret turun dari pesawat. Ketika aku terus meronta dan memaksa berlari keluar, pengawal Fahmi lagi-lagi datang ke dalam pesawat dan menahanku.
Aku tidak bisa berkutik. Akhirnya aku terpaksa duduk di dekat jendela. Dari baliknya, aku melihat Fahmi mengucapkan sesuatu. Aku tahu dia berusaha mengatakan sebuah kalimat.
Walau aku tak bisa mendengarnya, namun aku tahu apa yang dia ucapkan.
“Maya aku sayang kamu, Aku cinta kamu.”
Tangisku pecah saat pesawat lepas landas, meninggalkan Palangka Raya—dan meninggalkan Fahmi, sekali lagi.
“Aku juga sayang dan cinta kamu Fahmi,” bisikku lirih.
-TAMAT-
Nantikan buku kedua: Ketika Bom Menyulut Cinta edisi Kota Bandung