Aku diantar pulang oleh salah satu pengawal Fahmi menuju apartemenku. Sepanjang jalan, pikiranku melayang-layang, dipenuhi pertanyaan yang terus menghantui. Tentang masa depan, tentang cinta yang dipertaruhkan, dan tentang kenyataan pahit bahwa mungkin aku dan Fahmi memang tak ditakdirkan bersama.
Begitu sampai di depan gerbang apartemen, ponselku bergetar. Pesan dari Fahmi.
"Sudah sampai?"
"Sudah," balasku cepat.
"Maaf ya, aku gak bisa nganterin langsung. Nanti aku telpon, kita bahas soal rencana kita. Kamu keberatan?"
"Nggak kok."
"Makasih Maya sayang ๐. Doain aku biar bisa ngadepin ayahku yang galak โน๏ธ"
Sayang? hatiku meleleh ketika mendapatkan pesan Fahmi yang menyebut namaku dengan tambahan sayang. Ini pertama kalinya. Aku bahagia. Tapi sesaat sebelum membalas, aku kembali teringat tentang cinta kami yang terhalang oleh keadaan. Jadi aku membalas seadanya.
"Semoga semuanya lancar ya ๐"
Sebenarnya ada perih yang menusuk dada saat membalas pesannya. Di balik rasa cinta Fahmi yang mulai tumbuh terhadapku dan kelucuannya, tersimpan ketegangan yang nyata. Hubungan kami benar-benar seperti berjalan di atas tali tipis, diapit tebing curam di kedua sisi. Aku hanya berharap aku dan Fahmi cukup kuat menghadapi semua cobaan ini.
Di lorong apartemen, mataku menangkap siluet seseorang berdiri di depan pintu kamarku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali wajahnya. Semakin dekat, semakin jelas siapa dia.
“Detektif Rifqi?” gumamku.
“Halo Maya, lama tak jumpa,” sapanya ramah.
Aku mengangguk kecil dan membuka pintu. “Ada urusan apa, Detektif? Bukannya semua sudah selesai?”
“Ada sesuatu yang sangat penting dan harus kusampaikan langsung. Ini menyangkut keselamatanmu.”
Nada suaranya serius. Meskipun enggan, aku mempersilahkan dia masuk.
Kami duduk berhadapan di ruang tamu. Aku menyuguhkan segelas air mineral, tapi detektif Rifqi tak langsung meminumnya. Ia menatapku sejenak sebelum mulai bicara.
“Sebelum aku jelaskan, aku ingin kau tahu, kedatanganku kesini bukan atas perintah Pak Yahya. Aku datang atas inisiatifku sendiri.”
Aku hanya mengangguk, menunggu.
“Rey dan Imam akan divonis hukuman mati. Elsa akan dihukum penjara bertahun-tahun karena keterlibatannya menutupi aksi mereka, penculikan, dan pengeboman” ucap Rifqi tenang.
Aku terhenyak. Ini belum pernah diberitakan di media. “Lalu?”
“Aku berhasil menarik informasi lebih dalam tentang organisasi Mr. James. Dari sana aku menemukan fakta kalau semua ini, masih berkaitan erat dengan dirimu.”
Aku mengerutkan kening, jantungku berdegup lebih kencang. “Maksud detektif?”
“Rey, Elsa, dan Imam mengungkapkan bahwa kau bukan sekadar saksi kunci penculikan Fahmi. Mereka mengaku selama ini mencurigaimu terlibat dalam satu insiden lama... pembunuhan Diana.”
Aku tersentak. “Pembunuhan Bu Diana? Itu kan sudah lama sekali! Bukannya sudah aku tegaskan kalau aku tidak terlibat di dalamnya apalagi menjadi pelakunya. Lagian semua penghuni gedung ikut tewas saat ledakan bukan? Seharusnya tidak ada untungnya lagi membahas kasus itu”
“Benar, tapi ada hal yang tidak pernah kau tahu,” ucap Rifqi, tatapannya tajam. “Diana bukan orang biasa. Dia adalah wanita simpanan Mr. James.”
Aku membeku. Duniaku seakan berhenti berputar. Sosok atasan yang selama ini terlihat berwibawa dan mandiri, ternyata punya rahasia kelam.
“Diana hamil anak Mr. James. Tapi hubungan mereka memburuk setelah Mr. James menolak bertanggung jawab. Diana mengancam akan membongkar semuanya. Sejak itulah nyawanya terancam.”
Aku menggigit bibir. “Lalu kenapa aku?”
“Inilah yang menjadi pangkal masalahnya. Mr. James percaya ada satu orang di sekitar Diana yang tahu rahasia mereka. Dia takut rahasia itu bocor. Dan orang yang paling dicurigai... adalah kau.”
Aku menggeleng keras. “Hah? Aku nggak tahu apa-apa! Aku cuma staf biasa.”
“Tapi ketakutan Mr. James membutakan logikanya,” lanjut Rifqi. “Rey dan Imam awalnya diperintahkan untuk membunuh Diana diam-diam. Namun rencana berubah saat mereka tahu Diana bekerja di anak perusahaan yang dimiliki Pak Yahya—kantor lamamu. Mr. James ingin sekalian melenyapkan Pak Yahya juga, karena mereka punya konflik bisnis lama.”
“Makanya gedung kantorku diledakkan?”
“Benar. Tapi rencana mereka gagal karena saat itu Pak Yahya tiba-tiba merubah jadwalnya dan pergi dinas keluar kota. Namun bom terlanjur terpasang di gedung dan akhirnya meledak. Sementara Diana tewas sebelum bom meledak. Rey dan Imam menduga, kau-lah pelaku pembunuhan Diana. Karena dia ditemukan bersama dirimu saat itu.”
Aku terperanjat. “Aku? Itu fitnah! Aku bahkan nggak tahu siapa yang membunuhnya.”
“Persis. Masalahnya, Rey dan Imam saling menyalahkan setelah misi gagal. Rey yakin Imam teledor, sedangkan Imam menuduh Rey yang sengaja tidak mengetahui pergantian jadwal pak Yahya. Perseteruan mereka yang berujung saling curiga, dimulai sejak hari itu. Melahirkan pengkhianatan dan usaha saling bunuh.”
Aku meremas jemariku yang mulai gemetar. Semua terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir.
“Dan sekarang,” Rifqi melanjutkan, “Mr. James masih menganggapmu ancaman. Karena dia menganggap kamu mengetahui sesuatu. Selama dia belum tahu kebenarannya, kamu tetap target.”
Aku menggeleng putus asa. “Astaga, apa aku harus menemuinya dan menjelaskan kalau aku nggak tahu apa-apa?”
“Itu pilihan berbahaya. Cara lain, temukan pembunuh Diana yang sebenarnya. Itu satu-satunya bukti yang bisa menyelamatkanmu.”
Aku terdiam lama. Pikiran itu terlalu absurd. Aku hanyalah gadis biasa yang mendadak terseret dalam lingkaran penuh darah ini. Mana mungkin aku bisa mengungkap kebenaran sendirian?
“Kalau aku minta perlindungan polisi, bagaimana?” tanyaku penuh harap.
“Maaf, Maya. Polisi baru bisa turun tangan kalau ada ancaman nyata. Saat ini kamu belum diancam langsung. Jadi... kami hanya bisa memperingatkan.”
Peringatan macam apa ini? Ini sama saja membiarkanku hidup dalam bayang-bayang kematian.
“Apa kau sudah memberitahu Fahmi tentang hasil penyelidikan ini, detektif?”. Aku mencoba mengalihkan topik.
“Tidak. Pak Yahya melarangnya. Katanya itu bisa membuat Fahmi ketakutan”.
Aku mengangguk lemah kemudian teringat ajakan Fahmi untuk kabur ke Bandung. Itu terasa seperti satu-satunya jalan keluar. Aku membicarakannya dengan detektif, namun dia tidak memberikan tanggapan baik.
“Rencana itu mungkin bisa berhasil untuk menyelamatkanmu semantara waktu, namun bisa membahayakan Fahmi, mengingat Mr.James adalah musuh pak Yahya, kemungkinan jika dia tahu kamu menjalin hubungan istimewa dengan Fahmi maka itu berarti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui bagi Mr.James.”
Aku terdiam, memikirkan perkataan detektif. Dia ada benarnya, membawa Fahmi kabur bersamaku bukanlah ide yang bagus. Itu sama saja menyeret Fahmi ke dalam bahaya.
Kemudian percakapan kami selesai dan saat itulah detektif Rifqi berpamitan, dia berpesan padaku untuk berhati-hati dan waspada. Aku ditinggalkan sendiri dengan ketakutan yang membuncah.
Setelah kepergian detektif, aku meraih ponsel. Ada pesan-pesan “sampah” dari Fahmi yang entah kenapa masih berhasil membuatku tersenyum.
"Maaf baru balas, tadi ada tamu tak diundang."
"Siapa?"
"Bukan siapa-siapa. Besok kita jadi ketemu kah?"
"Iya. Siapin mental, kita akan mulai rencana kabur kita."
“Tunggu dulu, itu terlalu mendadak. Kita bicarakan dulu, setidaknya lewat telepon.”
“Tidak bisa, sekarang aku sedang diawasi oleh orang tuaku, bisa gawat kalau mereka tahu aku berhubungan denganmu.”
Aku terdiam kesal mengetahui jawabannya, setidaknya dia harus berusaha untuk mementingkan diriku, walaupun itu sulit. Akhirnya aku membalas seadanya. Tapi malam ini, pikiranku tak bisa tenang. Antara cinta yang ingin kubela, dan nyawa yang terancam di ujung tanduk.
Akhirnya aku merebahkan diriku di kasur, berharap segera tidur dan menyambut hari baru esok hari.
Akan tetapi, rasanya baru sebentar aku memejamkan mata, aku terusik dengan bunyi bel apartemen yang berbunyi nyaring, awalnya satu kali. Namun ketika tidak ada tanggapan dari diriku, akhirnya ditekan berulang-ulang. “Aduh, siapa lagi sih, mengganggu saja”. Keluhku kesal. Aku melangkah malas membuka pintu, tanpa mengintip.
Di depan pintu, berdiri dua pria tegap, berwajah dingin dan sangar.
“Ikut kami.”
“Siapa kalian?”
“Mr. James ingin bicara denganmu.”
Darahku membeku. Baru saja tadi sore aku diperingatkan oleh detektif Rifqi untuk berhati-hati, dan kini orang-orang suruhan Mr.James datang menghampiriku. Aku mencoba menutup pintu, tapi tangan mereka dengan mudah menahannya.
Aku berlari ke dapur, menggenggam pisau dengan gemetar. “Jangan mendekat!”
Mereka tertawa mengejek. “Ikut baik-baik, atau kami paksa.”
Pisau itu seolah cuma mainan di mata mereka. Tak ada gunanya.
“Aku tidak mau, Mr.James pasti akan membunuhku”.
Kedua orang itu saling pandang dan menatapku serius. “Kalau begitu, kami harus memaksamu”
Mereka berlari mengejarku, aku sesekali mengacungkan pisau kearah mereka, namun mereka selalu berhasil menghindar. Aku panik, dan terus meraih sesuatu yang bisa melindungiku. Hingga salah satu dari mereka berhasil mencengkram tangan yang memegang pisau. Tanganku di pelintir sangat kuat, sehingga aku kesakitan dan melepas pegangan pisau.
“Lepaskan!” Aku mengaduh.
Mereka tidak menggubris dan memutar tanganku kebelakang. Sehingga aku terkunci tidak dapat melakukan apapun lagi.
“Sudah kami bilang, jangan melawan. Sekarang ikut kami“
Salah satu dari mereka mengambil dua kain dari saku celananya, kemudian salah satu digunakan untuk menyumpal mulutku dan menutup mataku, hingga aku tidak bisa berteriak atau melihat kondisi sekitar.
Aku masih memberontak mencoba melepaskan diri, namun semakin keras aku berusaha, semakin keras pula cengkraman mereka di tanganku. Akhirnya aku menyerah pasrah. Dalam kepalaku aku berpikir…Mungkin ini kesempatan bagiku untuk mengatakan kebenaran kepada Mr.James. Walaupun diriku amat sangat ketakutan. Dalam hatiku aku berharap…
Fahmi, tolong aku, aku ingin kamu datang menyelamatkanku. Seperti aku menyelamatkanmu dulu.
Aku dibawa keluar apartemen hampir tengah malam oleh orang-orang besar ini. Aku tidak sempat membawa ponsel, jadi tidak akan ada yang tahu kemana aku pergi. Ini benar-benar gawat. Malangnya nasibku.