"Mbak Maya, sepertinya kita beda generasi, ya? Apa aku benar?" tanya Fahmi dengan sedikit ragu, tetapi masih terdengar langsung.
"Apa aku perlu menjawabnya? Wanita itu tidak suka ditanya umur, tahu," dengusku, tidak suka dengan arah pembicaraannya.
"Aah, maaf. Aku cuma canggung kalau bicara sama cewek yang lebih tua," ujarnya, datar tanpa ekspresi.
"Panggil saja aku Maya. Omong-omong, kamu itu orangnya kasar juga, ya. Seenaknya mematikan telepon waktu itu, padahal aku sedang jadi tahanan rumah gara-gara ayahmu," balasku, nada suara tajam.
Fahmi menoleh, terkejut dengan ucapanku yang menyebut ayahnya. Namun, dia tetap tidak mengatakan apa-apa, bahkan tidak berusaha mengubah ekspresi dinginnya yang terasa menusuk.
Kami duduk di bangku taman di sekitar Bundaran Besar Palangka. Fahmi sibuk mengeluarkan SIM card untuk menggantinya dengan yang baru. Setelah selesai, dia berkata kami harus segera menemui temannya untuk mencari petunjuk. Temannya tinggal di bawah jembatan Kahayan, tidak jauh dari bundaran, meski butuh usaha untuk mencapainya.
Fahmi memutuskan untuk menuntun sepeda di tangan kanannya karena aku menolak berboncengan. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Saat melihat punggungnya, untuk pertama kalinya, aku merasa terpesona oleh seorang cowok. Postur tubuhnya, potongan rambutnya, dan cara dia melangkah begitu memikat. Meski aku lebih tua darinya, perasaan yang muncul ini tidak bisa begitu saja kutepis.
"Kota ini selalu panas," keluh Fahmi memecah lamunanku.
"Tapi bukankah ini bagus? Tidak banyak orang berkeliaran di jalanan, ditambah lagi kasus pengeboman di gedung sebelah sana menyita perhatian semua warga," jawabku mencoba menimpali.
Namun, Fahmi hanya diam, kembali mengacuhkanku. Menyebalkan. Apa semua cowok ganteng selalu bersikap seperti ini?
Setibanya di bawah jembatan Kahayan, kami melihat beberapa kios yang menjajakan makanan ringan dan minuman. Aku memperhatikan kios-kios itu, sementara Fahmi sibuk bermain dengan HPnya. Di ujung jalan, dia bertemu seorang pemuda yang terlihat sebaya dengannya. Mereka berbicara menggunakan bahasa Dayak, aku tidak mengerti. Ekspresi temannya terlihat terkejut, sesekali meringis, seolah Fahmi sedang menceritakan sesuatu yang sulit.
Tak lama, Fahmi memanggilku untuk mendekat. Dia memperkenalkan temannya, David, seorang pemuda berkulit putih, tinggi, dengan mata sipit dan rambut sedikit keriting. Kami berjabat tangan.
"Oh, pacar Fahmi ternyata cantik juga, ya," kata David sambil tersenyum tipis.
"Hah? Bukan, bukan. Aku bukan pacarnya. Lagian, aku baru saja kenal dia," jawabku gugup, menepis tuduhan itu.
"Haha, santai. Aku cuma bercanda. Soalnya, Fahmi hampir nggak pernah bawa cewek ke sini. Mungkin kamu yang pertama, seingatku."
Aku tertegun. Cowok semanis Fahmi tidak pernah membawa teman wanita sebelumnya? Tanpa sadar, aku melirik Fahmi, mencari validasi.
"Apa?" bentaknya, membuatku salah tingkah.
"Hahaha, kalian memang cocok," David menimpali dengan candaan yang lagi-lagi tidak lucu.
"Huss, kamu ni kenapa? Kami ke sini bukan untuk digoda, cepat bantu kami!" ujar Fahmi, kesal.
"Oke, santai. Masuk dulu, kita bicara di dalam."
Kami masuk ke rumah kayu di pinggiran sungai milik David. Setelah menenangkan diri, David mulai bercerita.
"Belakangan ini, ada rumor di sini tentang tumpukan kotak-kotak aneh yang dibuang ke sungai Kahayan pada tengah malam."
"Lalu, apa hubungannya dengan kasusku?" sela Fahmi, tak sabar.
"Jangan potong dulu," balas David dengan nada kesal. "Belakangan ini, warga sekitar mulai membicarakan sesuatu yang aneh. Ada yang menyebutkan soal kotak-kotak besar yang rumornya berisi mayat yang dimutilasi," ujar David dengan nada serius. "Dan saksi mata bahkan mengaku melihat orang tuamu membuang kotak-kotak itu. Tapi karena malam itu gelap dan hujan, kesaksiannya kurang jelas."
Aku tercekat mendengar penjelasannya. Fahmi terlihat menahan marah, tetapi dia tetap mendengarkan.
"Kami nggak berani menyelidiki lebih jauh," lanjut David. "Orang tuamu itu paling berpengaruh di kota ini."
"Aku rasa mereka memang pelakunya," gumam Fahmi pelan.
"Huss jangan asal tuduh," potongku cepat, mencoba menenangkan suasana.
"Aku nggak sembarangan. Malam sebelum aku kabur, aku sempat melihat orang tuaku menggotong kotak-kotak ke dalam mobil. Tapi saat itu, aku tidak peduli," kata Fahmi dengan suara lirih.
Aku dan David saling tatap sulit untuk mengatakan keprihatinan yang dialami Fahmi.
Akhirnya David menyarankan Fahmi menemui saksi mata. "Mungkin kamu akan menemukan petunjuk," katanya yakin.
Setelah itu, kami meminjam motor David untuk menuju rumah saksi, seorang pria tua bernama Pak Fajar. Rumahnya berada di seberang sungai, jadi kami harus memutar menaiki jembatan. Setibanya di sana, kami menemukan Pak Fajar sedang mengaduk tepian sungai.
Kami pun beranjak lebih dekat ke tepian sungai. Suasana di sekitarnya sunyi, hanya terdengar derik serangga dan gemericik air yang mengalir perlahan. Aku mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.
"Permisi, Pak. Benar bapak pak Fajar? Kami ingin bertanya sesuatu," ujarku sopan, berusaha terdengar tidak mengintimidasi. "Betul, ada apa?".
"Kami ingin bertanya soal rumor orang-orang yang membuang kotak-kotak pada tengah malam beberapa hari lalu, apa bapak ingat?"
Pak Fajar termenung sebelum akhirnya menjawab, "Ah, tentu aku ingat. Wajah pria itu mirip sekali dengan anak ini," katanya sambil menunjuk Fahmi.
Aku dan Fahmi saling pandang, bingung. "Apa Bapak yakin?" tanyaku.
"Hmm, bagaimana ya," jawabnya ragu.
Pak Fajar menjelaskan lebih detail. "Kalau tidak salah malam itu, saat mereka sudah membuang kotak-kotaknya. Salah satu dari mereka menghampiriku dan memberiku uang agar aku tutup mulut. Rasanya tidak salah lagi wajah pria itu mirip anak ini."
Fahmi tertunduk. Aku bisa merasakan amarah dan rasa sakitnya.
"Fahmi, kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Sudah jelas orang tuaku terlibat," jawabnya dengan suara bergetar, matanya tertunduk dalam-dalam. Jari-jarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak. "Aku tidak bisa mengabaikannya lagi," tambahnya, suaranya semakin serak, mencerminkan pergulatan batinnya yang terasa begitu menyakitkan.
"Belum tentu. Kita belum menemukan bukti," kataku, mencoba menenangkan. "Ayo, kita cari kotak-kotak itu. Kita harus pastikan isi di dalamnya."
Aku kembali bertanya pada pak Fajar. Pak Fajar memberi petunjuk bahwa mungkin salah satu kotak sempat tersangkut di semak di ujung sungai. Kami pun bergegas ke sana. Namun, sebelum sempat beranjak, telepon Fahmi berdering. Itu dari David.
"Fahmi, orang suruhan orang tuamu datang ke rumahku. Mereka mencari kamu. Aku bilang tidak tahu, tapi mereka memaksa. Pergilah jauh sebelum mereka menemukanmu. Kau dan Mbak Maya dalam bahaya," kata David panik.
Aku dan Fahmi saling pandang. Wajah kami pucat. Jejak kami semakin terendus.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku khawatir.
"Kita tetap cari kotaknya. Kalau isinya hal yang buruk, ini bisa jadi bukti nyata kalau orang tuaku terlibat," ujar Fahmi dengan nada berat, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Aku harus melakukannya, apapun resikonya."
Aku ingin membantah, tapi tak sanggup. Drama ini semakin membebaniku. Ternyata, keluarga Fahmi yang terlihat sempurna, menyimpan luka yang begitu dalam.
BERSAMBUNG