Aku benar-benar tidak bisa tidur semalam. Bukan karena pikiran-pikiranku yang berantakan seperti puzzle tak selesai, tapi karena perutku terus berbunyi, berisik hingga mengganggu. Aku sempat mengira Detektif Rifqi akan mengajakku makan malam terlebih dulu sebelum mengurungku di kamar ini, tetapi nyatanya, aku salah besar.
Semalam terasa seperti siksaan.
Kini, sinar matahari pagi masuk lewat jendela, mengusir bayang-bayang malam. Aku terduduk di ranjang, menatap sekeliling kamar yang pernah dihuni oleh Fahmi. Perlahan, aku mengusap bantal dan kasur, mencoba merasakan keberadaannya yang mungkin sudah lama dia tinggalkan.
"Aku rindu Fahmi."
Astaga, apa-apaan yang kupikirkan ini? Aku tersentak. Kenapa aku merindukannya? Aku baru bertemu dia sekali, dan itu pun singkat. Apa yang sebenarnya membuatku merasa begini? Dengan panik, aku menampar-nampar pipiku sendiri, seolah ingin menyingkirkan pikiran bodoh itu.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.
"Mbak Maya, sudah bangun kah? Mari sarapan," suara Detektif Rifqi terdengar dari balik pintu.
Ah, akhirnya. Aku sangat kelaparan sampai rasanya seperti tidak makan berhari-hari. "Iya, Mas," jawabku, singkat namun penuh harapan.
Aku menatap diriku di cermin panjang di pojokan kamar. Rambut sebahuku terlihat kusut tak karuan, riasan di wajahku pudar berantakan. Aku menggumam pelan, "Ini pasti penampilan terburukku." Dengan usaha seadanya, aku merapikan diri, lalu keluar menuju ruang makan.
Tak sulit menemukan ruang makan di rumah besar ini. Begitu keluar kamar, aku hanya perlu menyusuri lorong di sebelah kiri, hingga sampai di ruangan luas dengan meja makan besar, dihiasi ornamen klasik yang memukau.
Namun kekagumanku buyar begitu melihat Ayah Fahmi duduk di sana bersama Detektif Rifqi. Wajah ayah Fahmi serius, bibirnya tampak tertarik ke bawah, seolah sengaja memadamkan pagiku. "Hari ini pasti buruk," batinku.
Aku melangkah ke meja makan dengan kepala tertunduk, tak berani menatap mereka.
"Selamat pagi, Mbak Maya," sapa Detektif Rifqi ramah. Dia mempersilahkanku duduk.
"Silakan makan" kata Ayah Fahmi, singkat, namun kali ini suaranya terdengar lebih netral.
Aku mengambil nasi dan beberapa lauk, kemudian makan dengan lahap tanpa peduli tatapan mereka. Aku hanya ingin perutku kenyang, setidaknya sebelum drama baru menghampiri.
Tiba-tiba, telepon Ayah Fahmi berdering. Ia mengangkat panggilan itu, awalnya dengan nada tenang, tetapi mendadak berubah tajam.
"APA?!" suaranya membentak, membuatku terkesiap.
Raut wajahnya menjadi serius. Tak lama dia mematikan telepon tergesa. "Celaka. Fahmi hilang dari rumah sakit. Istriku bilang semalam dia pergi ke toilet dan tidak kembali."
"itu gawat?!" Ucap detektif Rifqi, wajahnya penuh keterkejutan. "Kita harus ke sana segera!"
Seketika aku teringat jurnal Fahmi di kamarnya. "Apakah dia benar-benar hilang kali ini, atau kabur? Atau penculik itu berhasil menemukannya lagi?" Pertanyaan-pertanyaan itu mulai berputar di kepalaku, membuat dadaku sesak.
Aku meminta izin untuk ikut, tetapi Ayah Fahmi dengan tegas menolak. "Kau tidak boleh meninggalkan rumah ini. Kau tahanan rumah, dan itu perintahku."
Aku menggigit bibir, menahan rasa kesal. Setelah mereka pergi, aku kembali ke kamar. Tak ada yang bisa kulakukan selain merenungi semuanya.
Di kamar, aku melihat sebuah ponsel tergeletak di meja rias. Ketika aku mendekat, ponsel itu berdering. Aku terpaku. Siapa yang menelepon? Ketika panggilan itu berakhir, ponsel itu kembali berdering. Beberapa kali, seolah meminta untuk diangkat.
Akhirnya, aku mengangkatnya.
"Halo?" tanyaku gugup.
"Siapa kau?" suara di ujung telepon terdengar mengintimidasi, seharusnya itu pertanyaan yang aku ajukan.
Aku mengenali suara itu. "Aku Maya, Ini Fahmi, kah?". Balik bertanya
"Iya, ini mbak yang menolongku waktu itu kah?" tanyanya.
"Iya."
"Bagus. Aku butuh bantuan. Tolong bawa HP itu ke Bundaran Besar Palangka. Aku membutuhkannya segera. Aku tak punya banyak waktu. aku menghubungi dari HP orang asing"
"Tapi...". Aku mencoba menjawab, tetapi panggilan itu sudah diputus sebelum aku sempat bicara. Dasar menyebalkan dengusku.
"Bundaran Besar?" Bagaimana aku bisa kesana? aku kan tahanan rumah. Tapi aku ingin bertemu dengan Fahmi-lagi-dan menanyakan banyak hal padanya. Aku menatap keluar jendela. Sebuah sepeda terparkir di garasi, seperti menawarkan solusi atas dilema yang kini menguasaiku.
Aku mengendap-endap keluar rumah dan mengambil sepeda. Semuanya berjalan mulus. Seluruh penghuni sedang pergi ke rumah sakit jadi keadaan di rumah menjadi sepi.
Dengan susah payah, aku mengayuh sepeda di bawah panasnya terik matahari kota Palangka. Dua barang di sakuku-ponsel Fahmi dan jurnalnya-adalah tiket untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Sesampainya di sana, aku melihat sosok Fahmi melambai di sebrang bundaran besar. Terduduk menunggu di samping patung orangutan. Pakaian rumah sakit yang ia kenakan tampak kusut, tetapi wajahnya yang kukenal membuat dadaku berdegup keras.
"Fahmi," panggilku ketika mendekatinya.
Ia menatapku tajam, lalu mengulurkan tangan, "Mana!". Dia meminta ponsel. Aku menahannya sejenak.
"Tunggu, kenapa kau kabur?" tanyaku, mencoba membaca wajahnya.
Fahmi tampak terkejut. "Apa maksudmu?"
"Waktu itu kamu kabur dari rumah kah? lalu sekarang kamu kabur lagi dari rumah sakit kah?"
Fahmi menghela napas berat, lalu menatapku. "Bukan urusanmu, cepat berikan HP nya!".
"Tentu saja ini urusanku". Aku merogoh saku celanaku dan menunjukan jurnal miliknya di hadapannya.
"Itu jurnalku, jangan bilang kau sudah membacanya?".
Aku mengangguk mengiyakan.
"Huuf dasar tidak sopan. baiklah, aku akan cerita. Tapi ini hanya antara kita, janji?"
"Oke". Anggukku.
"Aku memang melarikan diri dari rumah karena kesal. Kemudian aku diculik, namun aku menduga kalau para penculik itu adalah suruhan keluargaku," katanya, suaranya rendah namun penuh keyakinan.
Jantungku terasa berhenti. "Mana mungkin?"
"Semalam tanpa sengaja, aku mendengar percakapan ibu di telepon. Ibuku sedang bertengkar dengan seseorang. Suaranya cukup keras sampai aku bisa menangkap kata penculikan dan pengeboman. Sepertinya pertengkaran itu soal imbalan yang tidak sesuai. Aku coba bertanya, tapi tidak ada jawaban berarti."
Fahmi terdiam sejenak, dan menatap ke tanah seolah memikirkan sesuatu.
"Lanjutkan!". Pintaku penasaran.
"Hmm, Aku merasa kalau ibu berbohong dan kami bertengkar. Hingga akhirnya aku mengancam akan kabur. Tapi ibuku tetap bersikeras tidak ingin memberitahu kebenarannya. Sehingga aku bersungguh-sungguh kabur ketika ada kesempatan".
Mendengar semua itu, aku terkejut. Segala sesuatu yang terjadi pada Fahmi dan padaku seolah ada sangkut pautnya-pengeboman, penangkapan, dan pembebasan tak wajar oleh keluarga Fahmi-yang semua nya terasa mendadak dan tidak masuk akal.
Fahmi mengajakku bekerja sama untuk membongkar kasus ini. Karena dia menduga kalau aku juga menjadi korban permainan keluarganya. Dia bilang kalau ini semua akan berbahaya, tapi aku harus mencari kebenaran dan membersihkan namaku, jadi aku pun setuju. Kami berjabat tangan, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada harapan dibalik semua tragedi ini.
"Kenapa kau tersenyum?". Tanya Fahmi menusuk. "gak ada". jawabku singkat.
Sebenarnya aku senang kalau aku bisa bersama dengan Fahmi lagi, walaupun mungkin langkah berikutnya akan membawa kami ke dalam bahaya. Tapi jika bersama dia, semuanya pasti akan menyenangkan.