Loading...
Logo TinLit
Read Story - [END] Ketika Bom Menyulut Cinta (Sudah Terbit)
MENU
About Us  

Aku tidak benar-benar bisa tidur semalam. Bukan karena pikiran-pikiranku yang berantakan seperti puzzle tak selesai, tapi karena perutku terus berbunyi, berisik hingga mengganggu. Aku sempat mengira Detektif Rifqi akan mengajakku makan malam terlebih dulu sebelum mengurungku di kamar ini, tetapi nyatanya, aku salah besar.  

Semalam terasa seperti siksaan.  

Kini, sinar matahari pagi masuk lewat jendela, mengusir bayang-bayang malam. Aku terduduk di ranjang, menatap sekeliling kamar yang pernah dihuni oleh Fahmi. Perlahan, aku mengusap bantal dan kasur, mencoba merasakan keberadaannya yang mungkin sudah lama dia tinggalkan.  

“Aku rindu Fahmi.”  

Astaga, apa-apaan yang kupikirkan ini? Aku tersentak. Kenapa aku merindukannya? Aku baru bertemu dia sekali, dan itu pun singkat. Apa yang sebenarnya membuatku merasa begini? Dengan panik, aku menampar-nampar pipiku sendiri, seolah ingin menyingkirkan pikiran bodoh itu.  

Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.  

"Mbak Maya, sudah bangun kah? Mari sarapan," suara Detektif Rifqi terdengar dari balik pintu.  

Ah, akhirnya. Aku sangat kelaparan sampai rasanya seperti tidak makan berhari-hari. "Iya" jawabku, singkat namun penuh harapan.  

Aku menatap diriku di cermin panjang di pojokan kamar. Rambut sebahuku terlihat kusut tak karuan, riasan di wajahku pudar berantakan. Aku menggumam pelan, "Ini pasti penampilan terburukku." Dengan usaha seadanya, aku merapikan diri, lalu keluar menuju ruang makan.  

Tak sulit menemukan ruang makan di rumah besar ini. Begitu keluar kamar, aku hanya perlu menyusuri lorong di sebelah kiri, hingga sampai di ruangan luas dengan meja makan besar, dihiasi ornamen klasik yang memukau.  

Namun kekagumanku buyar begitu melihat Ayah Fahmi duduk di sana bersama Detektif Rifqi. Wajah ayah Fahmi serius, bibirnya tampak tertarik ke bawah, seolah sengaja memadamkan pagiku. "Hari ini pasti buruk," batinku.  

Aku melangkah ke meja makan dengan kepala tertunduk, tak berani menatap mereka.  

"Selamat pagi, Mbak Maya," sapa Detektif Rifqi ramah. Dia mempersilahkanku duduk.  

"Silakan makan" kata Ayah Fahmi, singkat, namun kali ini suaranya terdengar lebih netral.  

Aku mengambil nasi dan beberapa lauk, kemudian makan dengan lahap tanpa peduli tatapan mereka. Aku hanya ingin perutku kenyang, setidaknya sebelum drama baru menghampiri.  

Tiba-tiba, telepon Ayah Fahmi berdering. Ia mengangkat panggilan itu, awalnya dengan nada tenang, tetapi mendadak berubah tajam.  

"APA?!" suaranya membentak, membuatku terkesiap.  

Raut wajahnya menjadi serius. Tak lama dia mematikan telepon tergesa. "Celaka. Fahmi hilang dari rumah sakit. Istriku bilang semalam dia pergi ke toilet dan tidak kembali."  

"itu gawat?!" Ucap detektif Rifqi, wajahnya penuh keterkejutan. "Kita harus ke sana segera!"  

Seketika aku teringat jurnal Fahmi di kamarnya. “Apakah dia benar-benar hilang kali ini, atau kabur? Atau penculik itu berhasil menemukannya lagi?” Pertanyaan-pertanyaan itu mulai berputar di kepalaku, membuat dadaku sesak.  

Aku meminta izin untuk ikut, tetapi Ayah Fahmi dengan tegas menolak. "Kau tidak boleh meninggalkan rumah ini. Kau tahanan rumah, dan itu perintahku."  

Aku menggigit bibir, menahan rasa kesal. Setelah mereka pergi, aku kembali ke kamar. Tak ada yang bisa kulakukan selain merenungi semuanya.  

Di kamar, aku melihat sebuah ponsel tergeletak di meja. Ketika aku mendekat, ponsel itu berdering. Aku terpaku. Siapa yang menelepon? Ketika panggilan itu berakhir, ponsel itu kembali berdering. Beberapa kali, seolah meminta untuk diangkat.  

Akhirnya, aku mengangkatnya.  

"Halo?" tanyaku gugup.  

"Siapa kau?" suara di ujung telepon terdengar mengintimidasi, seharusnya itu pertanyaan yang aku ajukan.  

Aku mengenali suara itu. "Aku Maya, Ini Fahmi, kah?". Balik bertanya  

"Iya, ini mbak yang menolongku waktu itu kah?" tanyanya.  

"Iya."  

"Bagus. Aku butuh bantuan. Tolong bawa HP itu ke Bundaran Besar Palangka. Aku membutuhkannya segera. Aku tak punya banyak waktu. aku menghubungi dari HP orang asing"  

“Tapi…”. Aku mencoba menjawab, tetapi panggilan itu sudah diputus sebelum aku sempat bicara.  Dasar menyebalkan dengusku.

“Bundaran Besar?” Bagaimana aku bisa kesana? aku kan tahanan rumah. Tapi aku ingin bertemu dengan Fahmi–lagi–dan menanyakan banyak hal padanya. Aku menatap keluar jendela. Sebuah sepeda terparkir di garasi, seperti menawarkan solusi atas dilema yang kini menguasaiku.  

Aku mengendap-endap keluar rumah dan mengambil sepeda. Semuanya berjalan mulus. Seluruh penghuni sedang pergi ke rumah sakit jadi keadaan di rumah menjadi sepi.

Dengan susah payah, aku mengayuh sepeda di bawah panasnya terik matahari kota Palangka. Dua barang di sakuku—ponsel Fahmi dan jurnalnya—adalah tiket untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.  

Sesampainya di sana, aku melihat sosok Fahmi melambai di sebrang bundaran besar. Terduduk menunggu di samping patung orangutan. Pakaian rumah sakit yang ia kenakan tampak kusut, tetapi wajahnya yang kukenal membuat dadaku berdegup keras.  

"Fahmi," panggilku ketika mendekatinya.  

Ia menatapku tajam, lalu mengulurkan tangan, “Mana!”. Dia meminta ponsel. Aku menahannya sejenak.  

"Tunggu, kenapa kau kabur?" tanyaku, mencoba membaca wajahnya.  

Fahmi tampak terkejut. "Apa maksudmu?"  

"Waktu itu kamu kabur dari rumah kah? lalu sekarang kamu kabur lagi dari rumah sakit kah?"  

Fahmi menghela napas berat, lalu menatapku. “Bukan urusanmu, cepat berikan HP nya!”.
“Tentu saja ini urusanku”. Aku merogoh saku celanaku dan menunjukan jurnal miliknya di hadapannya.
“Itu jurnalku, jangan bilang kau sudah membacanya?”.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Huuf dasar tidak sopan. baiklah, aku akan cerita. Tapi ini hanya antara kita, janji?"  
“Oke”. Anggukku.

“Aku memang melarikan diri dari rumah karena kesal. Kemudian aku diculik, namun aku menduga kalau para penculik itu adalah suruhan keluargaku," katanya, suaranya rendah namun penuh keyakinan.  

Jantungku terasa berhenti. "Mana mungkin?"  

"Semalam tanpa sengaja, aku mendengar percakapan ibu di telepon. Ibuku sedang bertengkar dengan seseorang. Suaranya cukup keras sampai aku bisa menangkap kata penculikan dan pengeboman. Sepertinya pertengkaran itu soal imbalan yang tidak sesuai. Aku coba bertanya, tapi tidak ada jawaban berarti.”

Fahmi terdiam sejenak, dan menatap ke tanah seolah memikirkan sesuatu.

“Lanjutkan!”. Pintaku penasaran.

“Hmm, Aku merasa kalau ibu berbohong dan kami bertengkar. Hingga akhirnya aku mengancam akan kabur. Tapi ibuku tetap bersikeras tidak ingin memberitahu kebenarannya. Sehingga aku bersungguh-sungguh kabur ketika ada kesempatan”. 

Mendengar semua itu, aku terkejut. Segala sesuatu yang terjadi pada Fahmi dan padaku seolah ada sangkut pautnya—pengeboman, penangkapan, dan pembebasan tak wajar oleh keluarga Fahmi—yang semua nya terasa mendadak dan tidak masuk akal.  

Fahmi memberikan tawaran padaku untuk bekerja sama dalam membongkar kasus orang tuanya. Karena dia menduga kalau aku juga menjadi korban permainan mereka.

Akan tetapi dia memperingatkan kalau semua ini akan berbahaya, aku tahu hal itu tapi aku harus mencari kebenaran dan membersihkan namaku, maka aku pun setuju. Kami berjabat tangan, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada harapan dibalik semua tragedi ini.  

“Kenapa kau tersenyum?”. Tanya Fahmi menusuk. “gak ada”. jawabku singkat.

Sebenarnya aku senang kalau aku bisa bersama dengan Fahmi lagi, walaupun mungkin langkah berikutnya akan membawa kami ke dalam bahaya. Tapi jika bersama dia, semuanya pasti akan menyenangkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Viva La Diva
612      397     0     
Short Story
Bayang mega dalam hujan
Search My Couple
547      312     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
Infatuated
845      552     0     
Romance
Bagi Ritsuka, cinta pertamanya adalah Hajime Shirokami. Bagi Hajime, jatuh cinta adalah fase yang mati-matian dia hindari. Karena cinta adalah pintu pertama menuju kedewasaan. "Salah ya, kalau aku mau semuanya tetap sama?"
Ada Apa Esok Hari
199      154     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Back To Mantan
597      396     0     
Romance
"kenapa lagi.."tanya seorang wanita berambut pendek ikal yang dari tadi sedang sibuk dengan gadgetnya. "kasih saran.."ujar wanita disebelahnya lalu kemudian duduk disamping wanita tadi. lalu wanita sebelahnya mengoleh kesebelah wanita yang duduk tadi dan mematikan gadgetnya. "mantan loe itu hanya masa lalu loe. jangan diingat ingat lagi.loe harus lupain. ngerti?&...
Can You Hear My Heart?
427      252     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Gebetan Krisan
497      354     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Kepak Sayap yang Hilang
111      104     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Love Rain
20518      2761     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...