"Polisi telah berjaga di sekitar gedung berlantai lima. Area dengan radius tiga kilometer telah disterilkan dari massa. Tidak ada yang diizinkan mendekat karena laporan adanya bom di lokasi. Tapi tunggu, ada seorang wanita yang dibawa keluar oleh polisi menuju mobil. Tangannya diborgol! Apakah dia pelakunya? Pemirsa, kami akan terus melaporkan situasi terkini mengenai kasus penculikan yang disusul dengan aksi terorisme ini. Saya Ninda, melaporkan langsung untuk Anda."
---
Aku dibawa keluar gedung dengan tangan terborgol, diapit dua polisi. Perasaan gugup menyerangku ketika aku menyadari banyak wartawan memperhatikan dari kejauhan. Lampu kilat kamera sesekali menyilaukan mataku.
Bukan aku! Aku bukan pelakunya!
Di dalam hati aku berteriak, tetapi mulutku tetap terkunci. Apa gunanya berteriak? Siapa yang akan percaya?
Aku dipaksa masuk ke dalam mobil polisi. Ini pengalaman pertamaku berada di kendaraan seperti ini. Rasanya... aneh. Suasananya begitu menekan, berbeda dengan mobil-mobil lain yang pernah kutumpangi.
Seorang polisi di sampingku mencoba bertanya—nama, pekerjaan, tempat tinggal. Aku tetap bungkam. Rasanya percuma menjelaskan apa pun.
Tak lama kemudian, mobil melaju meninggalkan gedung. Aku melamun, hingga tiba-tiba suara ledakan menggelegar membelah udara.
BUM!
BUM!
BUM!
Serangkaian ledakan mengguncang mobil yang kutumpangi. Aku terhempas ke depan. Kepalaku membentur kursi hingga terasa pusing dan perih. Samar-samar kulihat darah mengalir dari pelipisku.
Dengan susah payah, aku menoleh ke belakang. Mataku membelalak. Gedung itu—tempat aku baru saja keluar—telah runtuh menjadi puing-puing. Asap membubung, bercampur jeritan-jeritan yang memekakkan telinga.
Polisi di sekitarku panik. Terdengar teriakan-teriakan. Beberapa orang berpakaian serba hitam dengan senjata lengkap berlarian ke arah ledakan. Mereka meneriakkan sesuatu yang samar kudengar.
"Bohong! Si pelaku berbohong!"
Apa maksudnya?
Aku melirik ke samping. Polisi yang duduk di sebelahku mengeluh kesakitan, tangannya memegang kepala yang berdarah akibat benturan.
"Kau baik-baik saja, Pak?" tanyaku pelan.
Dia hanya mengerang tanpa menjawab.
Dalam kekacauan itu, ide nekat melintas di kepalaku. Dengan tangan yang masih terborgol, aku mendorong pintu mobil sekuat tenaga, lalu berlari sekencang-kencangnya menjauh dari lokasi.
Astaga. Aku melarikan diri.
Sekilas aku mendengar beberapa wartawan memberitakan bahwa si pelaku bom telah berbohong untuk memberikan waktu pada polisi sampai satu hari agar mereka bisa menyiapkan tebusan atas penculikan yang dia lakukan. Namun ternyata si pelaku berbohong dan meledakan gedung itu saat ini juga.
---
Kakiku terus melangkah tanpa arah di kota bernama Palangka. Aku tidak tahu ke mana harus pergi. Kota ini menjadi mencekam. Pulang ke apartemen jelas bukan pilihan. Polisi pasti akan mencariku di sana lebih dulu.
Setelah berlari melewati beberapa jalan, mataku menangkap sebuah bangunan terbengkalai di ujung jalan. Aku memutuskan masuk, berharap bisa bersembunyi untuk sementara waktu.
Bangunan itu gelap dan penuh debu. Aku terus berjalan, menyusuri ruangan-ruangan yang tampak kosong. Hingga tiba-tiba, aku mendengar suara.
Erangan pelan.
"Siapa di sana?" seruku, mencoba menenangkan diri.
Tidak ada jawaban, hanya suara erangan yang semakin jelas. Aku mendekati sumber suara, meraba-raba dalam kegelapan. Kakiku menyentuh sesuatu. Benda itu bergerak.
"Astaga!"
Aku meraba lebih jauh dan menyadari bahwa itu adalah kaki seseorang—terikat. Di dalam kegelapan, aku berusaha membuka ikatan itu. Tanganku yang terborgol membuat semuanya terasa lebih sulit. Ketika aku raba hingga menyentuh wajahnya, aku menemukan lakban menutupi mulutnya.
Kupaksa melepas lakban itu.
"Aduh! Pelan-pelan!" dia mengeluh.
"Siapa kamu?" tanyaku bingung.
"Aku Fahmi. Fahmi Al Yahya," jawabnya dengan suara parau. "Aku diculik dan disekap di sini."
Aku tersentak. Nama itu sangat familiar.
"Fahmi? Anak direktur bank terkenal itu?" tanyaku memastikan.
Dia mengangguk pelan. "Yup, tapi bisa gak sih bank terkenalnya gak usah disebut, nyebelin."
Ketus banget pikirku si Fahmi ini. Aku terdiam sejenak, mencerna situasi. Dengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan tali yang membelit tubuhnya.
"Makasih," katanya singkat.
Kami berdua terdiam. Di antara debu dan kegelapan, aku tidak tahu harus berkata apa. Hingga akhirnya Fahmi memecah keheningan.
"Hei, sedang apa kau disini?".
Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku bingung apa yang harus aku jawab. Tidak mungkin kalau aku bilang aku sedang melarikan diri karena dikira pembunuh.
"Aku sedang dikejar orang jahat". Jawabku asal.
"Oh".
"Sudah berapa lama kau disini?". Tanyaku pada Fahmi dengan suara sedikit terbatuk akibat debu yang cukup pekat di ruangan.
"Dua hari".
"Serius".
"Betul. Kau punya sesuatu untuk ku minum atau makan? aku haus dan lapar sekali".
"Gak punya".
Percakapan singkat kembali buntu. Tidak ada yang saling bertanya setelahnya. Bagiku banyak bertanya dan menjawab akan menyibak tujuanku bersembunyi di tempat ini. Jadi aku memilih diam.
"Ayo keluar dari sini," ajak Fahmi tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk pelan. Kami berjalan menuju cahaya redup dengan kepayahan meraba-raba dinding. Saat kami keluar ke area yang sedikit lebih terang, aku akhirnya bisa melihatnya lebih jelas.
Dia masih sangat muda, mungkin sekitar awal dua puluhan. Dan... astaga, wajahnya luar biasa tampan.
Dug.
Ada sesuatu yang kurasakan. Perasaan asing yang aneh. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku hanya tahu, saat itu hatiku berdetak lebih cepat.