Loading...
Logo TinLit
Read Story - [END] Ketika Bom Menyulut Cinta (Sudah Terbit)
MENU
About Us  

Kadang, aku bertanya-tanya, apa sebenarnya arti dari kehidupan ini? Setiap hari, aku berjuang sekuat tenaga, tapi rasanya hidup terus menghukumku tanpa alasan.
Pagi itu, aku terbangun dengan kepala berat. Alarm di ponselku sudah berdering berkali-kali. Aku mengusap wajahku yang kusut, mencoba menyadarkan diri, tapi tubuhku enggan bergerak. Seolah tahu bahwa hari ini tidak akan berjalan baik.
Ketika akhirnya aku berhasil bangun, aku sadar aku terlambat, karena jam di ponselku menunjukkan pukul 7. Perutku keroncongan, tapi tak ada waktu untuk sarapan. Dengan panik, aku mandi, berpakaian dan berlari keluar apartemen, meninggalkan segalanya berantakan.
Aku bergegas menuju halte bus, berharap masih bisa mengejar waktu. Tapi tentu saja, bus datang diwaktu yang pasti akan membuatku telat ke kantor. Keringat dingin mengalir di pelipisku, bukan hanya karena terburu-buru, tapi karena rasa takut. Aku ingat akan sosok direksi. Dia bukan tipe orang yang toleran pada karyawan sepertiku—karyawan telat yang keberadaannya nyaris tak dianggap.
Sesampainya di gedung kantor, ada pemandangan yang tak biasa. Ada banyak polisi berjaga. Aku dihadang di pintu masuk dan ditanya siapa dan ada urusan apa. Tapi sebelum aku sempat menjawab, mereka tanpa sengaja melihat kartu tanda pengenal kantorku dan segera mempersilahkan aku masuk. Aku sedikit heran, namun aku coba mengabaikan karena aku sudah telat.
Saat hendak menaiki lift, semuanya terasa salah. Lift nya rusak, membuatku harus naik tangga ke lantai tiga. Nafasku tersengal ketika akhirnya tiba di depan pintu kaca kantor. Namun, langkahku tertahan. Ada hal lain yang berbeda hari ini.
Di dalam, semua karyawan yang kurang lebih berjumlah 30-40 orang berkumpul. Direksi berdiri di depan, wajahnya serius. Aku mencoba menyelinap masuk tanpa menarik perhatian, tapi itu percuma.
“HEI, KAU!” suara Direksi menghentikan langkahku. Semua mata langsung tertuju padaku.
Aku menelan ludah. Tubuhku gemetar.
“KEMARI, BERDIRI DI SINI!” perintahnya dengan suara tajam.
Dengan langkah berat, aku maju ke depan. Aku bisa merasakan setiap tatapan menghakimi dari rekan-rekan kerjaku. Mereka semua tahu siapa aku—si karyawan bermasalah yang hanya menjadi beban.
“Kalian lihat dia?” tanya Direksi dengan nada menghina. “Inilah contoh nyata karyawan pemalas yang bisa membawa perusahaan ke dalam kerugian!”
Kata-katanya menusuk. Aku mencoba bertahan, sampai-sampai air mata hendak menggenang.
Direksi melirik jam yang ada di tangannya.
“Telat satu jam! Apa ini yang kau sebut komitmen?”
“Maaf, Pak…” suaraku hampir tak terdengar.
“Tentu saja kau minta maaf. Itu hal paling mudah yang bisa kau lakukan. Tapi maafmu tidak akan menyelamatkan perusahaan ini!”
Aku merasa kecil, lebih kecil dari debu. Seandainya lantai ini bisa membelah, aku ingin jatuh dan menghilang.
Setelah puas mempermalukanku, Direksi akhirnya memerintahkan aku duduk. Namun, hukuman itu tidak berhenti di situ.
Direksi melanjutkan ocehannya di depan sana, membuatku benar-benar tidak berselera untuk terus berada di kantor ini, lebih parahnya di perusahaan ini.
“Saya kumpulkan kalian di sini bukan tanpa alasan,” lanjutnya. “Baru saja saya mendapatkan laporan polisi bahwa salah satu dari kalian terlibat tindak kriminal serius.”
Ruangan itu menjadi hening. Hanya suara napas yang terdengar.
“Seseorang di antara kita telah dicurigai menjadi pelaku dalam aksi terorisme. Dia akan meletakan bom di gedung ini dan mengancam akan meledakannya ”
Kata-katanya membuat gaduh seisi ruangan, aku dan semua orang menjadi panik dan meminta untuk segera dievakuasi ke luar. Namun kalimat direksi selanjutnya membuat kami terpaksa untuk diam ditempat.
"Harap tenang semuanya, aku tahu ancaman bom ini mengerikan, tapi polisi meminta kita untuk tetap tinggal ditempat karena mereka akan melakukan investigasi terhadap pelaku sehingga kita 'di kurung’ di tempat ini untuk sementara. Tapi polisi menjamin keselamatan kita karena ancaman peledakan bom baru akan dilakukan oleh si pelaku beberapa hari kedepan, bukan hari ini. Jadi kita aman, terlebih informasi ini rahasia dan hanya tersebar di antara kita".
Tetap saja kata-kata direksi menghantam seperti pukulan bertubi-tubi. Jantungku berdebar, bukan karena merasa bersalah, tapi karena ketakutan. Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi di sini?
Tiba-tiba, perutku mulas. Entah karena stres atau karena tidak sarapan. Aku mengangkat tangan, mencoba meminta izin.
“Pak, maaf. Saya merasa kurang enak badan. Boleh saya ke toilet sebentar?”
Direksi memandangku dengan curiga, menilai-nilai tapi akhirnya mengangguk. “Lakukan dengan cepat. Diana, temani dia!”
Aku bergegas menuju toilet, diikuti Bu Diana. Dia adalah salah seorang atasanku yang paling galak di antara para Direksi. Sampai di sana, aku langsung masuk ke salah satu bilik, memuntahkan segala isi perutku. Kepalaku berdenyut, rasanya dunia berputar.
Bu Diana menunggu di balik bilik toilet namun, suara dari luar bilik menghentikan segalanya.
“Tidak! Jangan! Tolong!”
BUUG
Suara Bu Diana disusul suara pukulan keras. Hatiku mencelos.
Aku buru-buru keluar dari bilik, tapi terlambat. Bu Diana sudah tergeletak di lantai, darah mengalir dari kepalanya. Matanya terbuka, kosong, tanpa kehidupan.
“Bu… Diana?” bisikku pelan. Lutut ku lemas. Aku jatuh terduduk, menatap pemandangan mengerikan itu.
“Bagaimana ini”.

Aku bergumam. Air mataku mengucur perlahan tanpa kusadari. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Kalau aku berlari menuju ruang kantor dengan melangkah seolah semuanya baik-baik saja, pasti itu tidak mungkin.

Atau aku berlari panik dan bilang kalau bu Diana terbunuh di toilet, itu jelas ide yang bodoh karena pasti aku akan dicurigai sebagai pembunuhnya. 

“Astaga”

Kepalaku tambah sakit dan pusing. Aku terdiam dan binggung. Entah menunggu apa. Bu Diana tergeletak di sampingku tidak bernyawa. 

Tiba-tiba aku teringat sesuatu kalau masih ada CCTV. Itu bisa menjadi bukti bagiku kalau aku tidak bersalah.

Tapi di toilet tidak ada CCTV, siapa juga yang memasang CCTV di toilet.

Aku menghela napas kesal, sekarang benar-benar jalan buntu.

Tunggu, setidaknya di koridor menuju toilet ada CCTV, pasti akan nampak si pelaku. Pikirku lagi.

Aku beranjak berdiri dari duduk ku, aku bergegas menuju pintu toilet hendak membukanya, namun sebelum sempat aku buka, aku mendapati bu Sri masuk ke dalam toilet.

Kami tidak saling bicara, terpaku termenung dalam pikiran masing-masing.

“Anu, ini tidak seperti apa yang ibu bayangkan”.

Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, namun…

“AAAAAAAARRRRRRGH”

Bu Sri berteriak.

Suaranya kencang sekali. Semua orang mendengarnya.

Semua orang segera berlarian menuju toilet. mereka memaksa masuk untuk melihat apa yang terjadi.

Ketika mereka melihat mayat bu Diana, mereka semua terkejut. Sesaat tidak ada yang berkata sepatah katapun. Begitupun diriku. Aku hanya bisa memberikan tatapan mengiba kepada mereka berharap hal itu bisa menjelaskan bahwa aku bukan pembunuhnya.

“Kau”.

Direksi memelototi aku dengan mata merah menahan amarah, aku pasrah, pintu toilet segera di tutup begitu keras setelah bu Sri ditarik keluar oleh pak Direksi.

Beberapa lama kemudian, pintu dibuka dengan paksa memperlihatkan seorang polisi masuk kedalam toilet. Awalnya dia terkejut dengan apa yang dia temukan. Terdiam beberapa detik, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan untuk melakukan pengecekan atau apalah itu aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya.

“Kau, keluar dari sini”.

Dengan tergesa dan sedikit terhunyung-hunyung aku keluar dari toilet melewati pak polisi di belakangku, kemudian aku disambut oleh polisi lainnya di balik sana. Segera memegang tanganku dan memasangkan borgol.

Rasanya begitu dingin ketika besi itu menyentuh kulitku, kepala ku menggeleng-geleng ke arah kerumunan rekan-rekanku di depan sana. Mengisyaratkan bahwa aku bukan pembunuhnya.

Aku menangis tanpa suara, memohon rasa iba dari semua orang dan memohon pengampunan agar mereka semua percara. Akan tetapi itu percuma. Tidak ada yang mempercayai aku.

Aku digiring oleh polisi menuju pintu keluar, tak kuduga ternyata sudah banyak orang yang berkumpul. Aku hanya menangis ketika mereka menyeretku. Dunia ini terasa terlalu kejam. Apa yang sebenarnya aku lakukan hingga pantas menerima semua ini?
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ANSWER
703      431     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
Black Envelope
366      252     1     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Behind the Camera
1852      709     3     
Romance
Aritha Ravenza, siswi baru yang tertarik dunia fotografi. Di sekolah barunya, ia ingin sekali bergabung dengan FORSA, namun ternyata ekskul tersebut menyimpan sejumlah fakta yang tak terduga. Ia ingin menghindar, namun ternyata orang yang ia kagumi secara diam-diam menjadi bagian dari mereka.
That Devil, I Love
3704      1465     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Luka dalam Asmara
1491      761     0     
Romance
Penyihir wanita yang dikhianati oleh sang kekasih memicu sebuah penyakit yang menjangkit umat manusia dari masa ke masa. Wabah darah merebak, manusia berubah menjadi monster haus darah. Namun semua berubah ketika gadis bernama Eva yang merupakan reinkarnasi jiwa penyihir jatuh cinta dengan monster yang dia ciptakan.
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
6961      1603     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
Kutu Beku
365      241     1     
Short Story
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang berusaha dengan segala daya upayanya untuk bertemu dengan pujaan hatinya, melepas rindu sekaligus resah, dan dilputi dengan humor yang tak biasa ... Selamat membaca !
The Eternal Love
21210      3191     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Ketos pilihan
757      524     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Sebuah Musim Panas di Istanbul
404      291     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?