Selain cantik, tentu Hazel memiliki kepercayaan diri yang bisa dikatakan tinggi.
Apa itu insecure?
Satu kata yang mati-matian berhasil Hazel hapus dari dalam dirinya.
Sialan, karena terlalu percaya diri kadang Hazel merasa seperti seorang antagonis. Tapi tak apa, mungkin kali ini Hazel akan sedikit serakah.
Sesekali menjadi antagonis tidak masalah bukan?
Wait..
Bukan menjadi antagonis seperti cerita-cerita dan beberapa film yang Hazel pernah lihat. Dia hanya akan meniru seperti bunglon.
Dimana ia akan menjadi hitam jika bertemu hitam, dan akan menjadi putih jika bertemu putih.
Yes, that's right! Hazel Hanya akan menjadi antagonis untuk manusia-manusia yang seharusnya ditelan oleh bumi.
Pagi ini, Hazel berdiri di depan gerbang megah universitas yang akan menjadi tempatnya belajar. Gedung-gedung tinggi dengan arsitektur modern tampak menjulang, memancarkan kesan kemewahan dan prestise.
Sesaat, Hazel merasa kecil di tengah kemegahan itu, tapi ia segera mengingat tujuan utamanya. Dengan tekad yang kuat, ia melangkah masuk, menyusuri jalan setapak menuju gedung utama.
Sebelum sampai ke sini, Hazel telah memutuskan untuk tinggal sementara di kediaman Paman Jack dan Bibi Fabby. Meskipun rumah mereka besar dan nyaman, Hazel merasa tak ingin terlalu bergantung.
Dengan sisa uang yang ia miliki, ia berencana mencari tempat tinggal sederhana di sekitar kampus. Ia tahu, meskipun Jack dan Fabby hidup berkecukupan, ia harus tahu diri.
Masa-masa hidup sederhana di London bersama Sabina dan kakek-nenek dari pihak ibu telah mengajarinya banyak hal tentang perjuangan dan pengorbanan.
Di London, Sabina adalah inspirasinya. Kakaknya itu selalu bekerja keras, berjuang mengimbangi pendidikan dan karier. Berkat usaha Sabina, ia berhasil mendapatkan beasiswa di salah satu universitas terbaik di Jepang.
Hazel masih ingat betapa bangganya ia saat Sabina menerima kabar itu. Kakaknya kini akan tinggal bersama saudara mereka di Jepang, memulai babak baru yang penuh peluang.
Hazel ingin menjadi seperti Sabina—kuat, mandiri, dan pantang menyerah. Ia tahu jalan itu tidak mudah, tapi ia bertekad untuk mencoba.
"Excuse me, are you a new student?" suara ramah seorang wanita menyapanya. Hazel mendongak, melihat seorang mahasiswi berdiri dengan senyuman lebar.
"Yes, I am," jawab Hazel dengan sopan.
Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Rein, salah satu mahasiswa baru seperti Hazel. "If you need any help or a tour around the campus, just let me know. Aku sedikit tau banyak tentang kampus ini."
Hazel mengangguk, berterima kasih.
"Ngomong-ngomong kamu seperti bukan berasal dari sini." Tanya Hazel.
"Aku dari jepang," jawab Rein.
Jepang? Ah, Hazel jadi rindu Sabina. Semalam Hazel sempat berbincang sejenak melalui ponsel dengan kakak tersayang nya. Pasti sekarang perempuan itu sudah sampai di negeri sakura.
"Kamu darimana?" Rein bertanya sembari mengimbangi langkah Hazel.
"Aku dari London."
Mata Rein berbinar ketika mendengar kata 'London' gadis itu banyak menanyakan pertanyaan-pertanyaan dengan rasa ingin tahu yang besar tentang kota itu.
Obrolan-obrolan kecil membuat mereka sedikit-sedikit menjadi lebih dekat meskipun baru bertemu.
"Apa kau tinggal disekitar sini Hazel?"
"Aku tinggal dirumah pamanku, tapi aku berencana untuk tinggal disekitar kampus dalam waktu dekat ini."
Rein mengangguk sembari berpikir sejenak, "aku punya rekomendasi apartemen, cukup dekat mungkin 10 menit dari sini."
Hazel tampak menimbang-nimbang, apakah uang nya akan cukup untuk menyewa apartemen itu.
Dilihat dari apa yang Rein pakai, hazel tidak yakin jika Rein merekomendasikan apartemen murahan.
"Kamu bisa melihat dulu sebelum menyewa."
"Baiklah, terima kasih Rein." Ucap Hazel.
"Sure."
Hazel dan Rein kembali melanjutkan langkahnya sembari kembali mengobrol hal-hal mengenai kampus ini. Mereka juga diarahkan menuju aula untuk melakukan registrasi.
Setelah menyelesaikan formalitas, Hazel keluar dari gedung utama, mencoba mengenal lingkungan kampus lebih jauh. Ia duduk di bangku taman, memandang mahasiswa-mahasiswa lain yang lalu lalang dengan beragam kesibukan.
Dalam hati, ia berbisik, Aku bisa melakukan ini.
Di hari pertama ia sudah mendapatkan teman, sepertinya Rein adalah gadis yang baik.
Hazel juga yakin di hari-hari berikutnya ia bisa melakukan hal lain dengan baik dan selalu di kelilingi keberuntungan.
---
Hazel baru saja keluar dari wilayah kampus di siang hari, ia pun memutuskan untuk kembali ke toko perkakas milik Old Joe, tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi sejak kecil.
Toko itu terletak di sudut jalan yang sepi, dengan papan nama tua yang kayunya mulai lapuk. Ketika ia mendorong pintu kayu yang berbunyi nyaring, lonceng kecil di atas pintu berdenting. Aroma kayu dan logam yang khas memenuhi udara, membawanya kembali ke masa ketika ia dulu sering datang ke sini bersama ayahnya.
Di balik meja kasir, seorang pria tua dengan wajah keriput namun mata yang masih berkilau segar menatapnya. "Selamat siang, Nona. Apa yang bisa saya bantu?" katanya ramah, suaranya berat namun hangat.
Hazel melangkah lebih dalam, matanya menyisir rak-rak yang penuh dengan berbagai macam perkakas: obeng, palu, gergaji, dan pisau. Namun, tidak ada satu pun yang menyerupai pisau yang ia cari. Ia mendekati meja kasir, menatap Old Joe dengan ragu.
"Tuan Joe, saya mencari jenis pisau tertentu. Dulu saya pernah ke sini bersama ayah saya untuk membeli pisau dapur. Pisau ini punya ukiran di gagangnya, terlihat seperti berkilau," jelas Hazel sambil menatap matanya.
Joe mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Pisau dengan ukiran dan kilauan, ya? Sudah lama saya tidak menjual barang seperti itu. Tapi tunggu sebentar..."
Ia perlahan berjalan ke ruangan belakang. Hazel menunggu dengan sabar, matanya kembali menelusuri setiap sudut toko. Rak-rak tua itu menyimpan kenangan dan cerita dari puluhan tahun yang lalu, namun tidak ada apa pun di sana yang tampak menjawab pertanyaannya.
"Pencarian yang menarik," suara seseorang terdengar dari belakangnya, membuat Hazel hampir menjatuhkan tasnya. Ia berbalik cepat dan mendapati Nolan berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket kulit hitam dengan senyum setengah mengejek.
"Kau lagi?" Hazel mengangkat alis, mencoba menenangkan dirinya dari rasa terkejut.
Nolan menyandarkan tubuhnya pada pintu, tatapannya tajam namun penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak menyangka kau akan kembali ke sini. Kau mencari sesuatu yang hilang, atau hanya menghabiskan waktu?"
Hazel menyilangkan tangan di dada. "Kalau aku bilang bukan urusanmu, kau akan pergi?"
"Tidak," jawabnya singkat, dengan senyum yang sedikit melebar.
Sebelum Hazel sempat membalas, Tuan Joe kembali dengan kotak kecil berdebu di tangannya. "Ini mungkin yang kau maksud, Nona. Aku tidak yakin, tapi ini salah satu pisau berukir yang pernah ku buat."
Hazel menerima kotak itu dengan tangan gemetar. Ketika ia membukanya, ia mendapati pisau kecil dengan gagang kayu berukir, meskipun tidak ada kilauan seperti yang ia cari. Tapi pisau itu membawa ingatan masa lalu menyeruak.
"Ini bukan pisau yang kumaksud," Hazel berkata pelan, meletakkan kotak itu di meja. "Tapi, terima kasih, Tuan Joe."
Joe mengangguk, tampak sedikit kecewa, lalu kembali ke belakang. Hazel menutup kotak itu dengan hati-hati, lalu berbalik menghadap Nolan.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" Hazel bertanya, tatapannya penuh curiga.
Nolan mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. "Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau cari, Hazel Elodie Hayes."
Hazel terdiam. Nolan tahu namanya. Rasa dingin menjalari tubuhnya, tapi ia menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau tahu namaku?" Hazel bertanya, suaranya tenang meski hatinya berdegup kencang.
Nolan hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Ada banyak hal yang aku tahu. Tapi kau tampaknya lebih suka mencari tahu sendiri, bukan?"
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan keluar dari toko, meninggalkan Hazel yang masih berdiri dengan pikiran penuh teka-teki.
Hazel mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa dirinya berada di tengah permainan yang belum ia pahami sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana Nolan mengetahui begitu banyak tentang dirinya?
---
Sore itu, Hazel kembali ke rumah Paman Jack dengan pikiran yang dipenuhi hal-hal membingungkan.
Namun Ia mulai berencana mencari daftar tempat tinggal murah di dekat kampus melalui teleponnya. Meskipun letih, ia merasa semangat mengalir dalam dirinya.
"Bagaimana harimu di universitas?" tanya Fabby saat makan malam.
"Baik, aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan kampus," jawab Hazel.
"Kau tidak perlu terburu-buru mencari tempat tinggal, Hazel," tambah Fabby, meskipun nada suaranya terdengar datar.
Hazel tersenyum kecil. "Aku hanya ingin mandiri, Bibi. Aku berjanji tidak akan merepotkan kalian terlalu lama."
Fabby hanya mengangguk, sementara Jack tetap diam seperti biasa. Meskipun suasana agak canggung, Hazel merasa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia harus membuktikan bahwa ia bisa berdiri sendiri.
Sebelum tidur, Hazel menatap ke luar jendela kamar tamu, mengamati kelap-kelip lampu kota Las Vegas. Ia t
ahu jalan yang akan ia tempuh tidak akan mudah, tapi ia yakin setiap langkah kecil akan membawanya lebih dekat ke impian dan kebenaran yang ia cari.