Hari-hari Hazel di kampus berjalan seperti biasa. Kehidupan akademiknya mulai terasa menyenangkan, apalagi dengan kehadiran Rein, teman sekelas yang sering membantunya. Mereka berdua mengambil jurusan bisnis yang menarik minat Hazel.
Di kelas, mereka sering berdiskusi, berbagi catatan, dan kadang-kadang pergi makan siang bersama. Rein adalah sosok yang ceria dan ramah, membuat suasana perkuliahan Hazel sedikit lebih ringan.
Namun, suasana di rumah Paman Jack tidak sehangat itu. Bibi Fabby semakin menunjukkan ketidaksukaannya. Sikap dinginnya sering kali membuat Hazel merasa tidak diinginkan, tapi ia menahannya. Hazel tahu, selama belum menemukan tempat tinggal sendiri, ia harus bertahan.
Di luar kampus, keadaan Hazel tidak sebaik di dalam. Akhir-akhir ini, ia merasa ada seseorang yang mengawasi setiap langkahnya. Kadang-kadang, ia merasa bayangan seseorang melintas di sudut matanya, tetapi saat ia menoleh, tidak ada siapa pun. Hal itu membuatnya resah dan gelisah.
Hingga suatu ketika saat Hazel menuju halte bus untuk pulang, ia kembali bertemu dengan Nolan.
"Haruskah kita bertemu lagi?" Hazel menghela napas, berusaha mengabaikan pria itu, tetapi Nolan menyeringai seperti biasanya.
"Kelihatannya kita memang ditakdirkan bertemu," jawabnya santai. "Apa kau masih mencari pisau itu?"
Hazel menatap Nolan dengan curiga. "Apa urusanmu?"
"Urusanku kalau itu bisa membahayakanmu," jawab Nolan serius, meski senyumnya tetap ada. "Kalau kau mau, aku bisa membantumu mencarinya."
Hazel berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar menggiurkan, tetapi ia tahu Nolan bukan orang yang bisa dipercayai begitu saja. Namun rasa ingin tahunya mengalahkan akalnya. Hazel akhirnya setuju.
"Aku akan membantu, tetapi kau harus ikut denganku," ujar Nolan yang langsung memasuki sebuah mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di depan Hazel dan Nolan.
"Kemana?"
"Kalau kau ingin tahu, kau harus ikut denganku." Ajak Nolan lagi.
Hazel sangat ragu, namun tak ada salahnya kan jika ia sesekali memercayai pria asing yang baru ia kenal.
Dengan masih diliputi rasa ragu, Hazel ikut masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Awas saja kalau kau berbohong dan macam-macam kepadaku!" Bisik Hazel dengan mata berapi-api. "Akan ku potong milik mu!" Lanjutnya.
"Tenang saja, aku lebih suka gadis agresif daripada gadis galak seperti mu."
Tak lama mobil yang mereka tumpangi tiba disebuah lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Vegas. Di depan mereka berdiri sebuah pagar tinggi berwarna putih dengan gerbang besi berornamen rumit.
Di balik pagar itu, ada halaman luas dan sebuah mansion megah yang terlihat seperti istana kecil.
Hazel mengerutkan kening, mengamati tempat itu. "Jadi ini rumahmu? Ternyata kau kaya juga."
Nolan hanya terkekeh kecil. "Aku? Tidak. Kau akan tahu."
Ketika mereka masuk, Hazel terkejut melihat banyak pria bertubuh besar mengenakan setelan jas formal. Mereka semua tampak serius, dan lebih mengejutkan lagi, mereka menunduk hormat kepada Nolan setiap kali ia lewat.
Hazel semakin bingung. "Kau sebenarnya siapa?" bisiknya.
Nolan tidak menjawab, hanya memintanya duduk di sofa berbulu lembut di ruang tamu yang luas. Ruangan itu terasa terlalu megah dengan lukisan mahal, vas-vas antik berlapis emas, dan lampu kristal yang menggantung tinggi.
Hazel tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, tetapi ia juga merasa sedikit canggung berada di tempat seperti itu. Nolan meninggalkannya sendirian, tetapi beberapa saat kemudian ia kembali bersama seorang pria yang tampak berusia sekitar 31 tahun.
Pria itu memiliki wajah yang sangat tampan dan postur tubuh proporsional. Matanya tajam, bibirnya tipis, dan ekspresinya dingin. Hazel memandanginya dengan rasa ingin tahu. Apakah ini kakak Nolan? pikirnya.
Namun yang mengejutkan, Nolan malah menunduk hormat kepada pria itu. "Saya akan pergi dulu, Tuan," katanya sebelum meninggalkan Hazel sendirian bersama pria tersebut.
Hazel terpaku. Jadi Nolan bukan tuan rumah di sini? Jika bukan dia, maka siapa pria di hadapannya ini?
"Hey! Kau mau kemana? Kau tidak akan menjual ku bukan?"
Nolan terkekeh mendengar suara Hazel yang sedikit gemetar, "Tidak, aku akan kembali setelah kalian berbicara." Ucap Nolan lalu melenggang pergi.
Pria itu duduk di sofa berseberangan dengannya, postur tubuhnya tegap dengan aura yang mendominasi ruangan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyuman, hanya tatapan dingin yang membuat Hazel merasa seperti dihakimi.
"Apa aku perlu tahu siapa kau?" Hazel memberanikan diri berbicara, mencoba memecah keheningan.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Hazel dengan ekspresi tanpa emosi, lalu menghela napas panjang seolah pertanyaan Hazel tidak penting baginya.
Tak lama pria itu mengeluarkan secarik kertas di saku jas mewah nya.
Hazel menatap secarik kertas yang diberikan oleh pria itu dengan ragu. Tangannya sempat terhenti di udara sebelum akhirnya mengambilnya dan mulai membaca. Tulisan pada kertas itu teratur dan jelas, penuh dengan bahasa formal yang menyiratkan profesionalisme. Itu adalah kontrak.
“Ini apa?” Hazel bertanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu bercampur ketegangan.
“Surat perjanjian,” jawab pria itu singkat. Ia bersandar di sofa, terlihat tenang namun memancarkan wibawa. “Jika kau menandatangani itu, aku akan membantu menemukan apa yang kau cari. Sebagai gantinya, kau harus bekerja sama denganku.”
“Bekerja sama? Dalam hal apa?” Hazel mengerutkan kening.
Pria itu mengamati Hazel dengan tatapan tajam sebelum menjawab, “Mengungkap sesuatu yang selama ini tersembunyi. Sesuatu yang berkaitan dengan kematian orang tuamu... dan kehancuran keluargaku.”
Hazel terdiam, mencoba mencerna perkataan pria itu. Ia melanjutkan membaca kontrak tersebut, matanya bergerak cepat menyusuri baris demi baris. Salah satu poin menarik perhatiannya: pria itu mencurigai paman dan bibinya terlibat dalam tragedi yang merenggut kedua orang tuanya.
“Kematian orang tuaku?” Hazel mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata penuh tanya.
Pria itu mengangguk perlahan. “Aku mengenal orang tuamu. Aku adalah rekan bisnis termuda mereka pada waktu itu. Kami bekerja sama dalam beberapa proyek besar. Setelah tragedi itu, perusahaan yang kami bangun bersama runtuh, dan aku kehilangan segalanya. Tapi aku tidak di sini untuk membahas kerugianku. Masalah sebenarnya adalah orang di balik semua ini—seseorang yang menghancurkan keluargaku dan mungkin keluargamu juga.”
“Apa maksudmu?” Hazel menggenggam kertas itu erat.
Pria itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Saat tragedi itu terjadi, aku mulai menyelidiki. Ada terlalu banyak hal yang tidak masuk akal. Dan semakin aku mencari, semakin aku menemukan jejak yang mengarah pada keluargamu—lebih tepatnya, paman dan bibimu. Mereka menjual aset orang tuamu, aset yang seharusnya menjadi milikmu dan Sabina. Semua itu hilang begitu saja, dan aku yakin itu bukan kebetulan.”
Hazel tertegun. Meski ia sudah mencurigai sesuatu yang tidak beres, mendengar pernyataan itu dari seseorang yang pernah dekat dengan orang tuanya membuat kecurigaannya semakin kuat.
“Dan kau ingin aku melakukan apa?” tanya Hazel, berusaha menahan emosinya.
“Kau harus membantuku mengungkap kebenaran. Jika kau bekerja sama, aku akan memberimu semua informasi yang kau butuhkan untuk menemukan apa yang kau cari—termasuk pisau itu.”
Hazel terdiam, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia tahu kedatangannya ke Las Vegas bukan hanya untuk kuliah. Salah satu alasannya adalah untuk mengusut kemana hilangnya hak miliknya dan Sabina. Tapi bekerja sama dengan pria yang nyaris tidak ia kenal ini? Itu bukan keputusan yang bisa dibuatnya begitu saja.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” Hazel akhirnya bertanya.
Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak menunjukkan kehangatan. “Kau tidak perlu percaya padaku. Tapi aku punya bukti, dan aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira. Jika kau ingin jawaban, ini adalah kesempatanmu.”
Hazel menghela napas panjang, menatap kontrak itu sekali lagi. Ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Jika pria ini benar-benar tahu sesuatu tentang orang tua dan hak miliknya, ia harus mengambil risiko.
“Baiklah,” kata Hazel akhirnya. “Aku akan menandatangani ini. Tapi jika aku menemukan kau menyembunyikan sesuatu dariku, kau akan menyesal.”
Pria itu mengangkat alisnya, tampak terkesan dengan keberanian Hazel. “Kita lihat saja nanti,” ucapnya sambil menyodorkan pena.
Dengan tangan sedikit gemetar, Hazel menandatangani kontrak itu. Ia tahu, sejak saat itu, tidak ada jalan untuk mundur.