Malam itu, keluarga Jack dan Fabby berkumpul di ruang makan. Meja penuh dengan hidangan yang tampak sederhana, tetapi suasananya sedikit canggung. Hazel duduk di ujung meja, memandang sekeliling dengan tenang sambil sesekali menyuap makanannya.
“So, Hazel,” Jack membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana London? Sudah lama sekali sejak terakhir kita berbicara.”
Hazel tersenyum kecil. “London baik-baik saja, Paman. Banyak hal yang membuatku sibuk, terutama studi.”
“Ah, tentu saja,” Jack mengangguk, meskipun matanya sesekali melirik Fabby yang terlihat kaku.
Hazel meletakkan garpu dan pisaunya perlahan, lalu menatap mereka dengan senyum misterius. “Ngomong-ngomong tentang studi, aku punya kabar baik.”
Anna, yang duduk di sebelah Hazel, langsung terlihat bersemangat. “Apa itu, Hazel? Ceritakan!”
Hazel menatap ke arah Anna sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kepada seluruh orang di meja. “Aku baru saja diterima di salah satu universitas terbaik di Las Vegas.”
Ruangan itu seketika dipenuhi keheningan. Semua mata tertuju pada Hazel, tetapi ekspresi mereka berbeda-beda.
“Wow! Itu luar biasa, Hazel!” seru Anna dengan antusias. Ia bahkan hampir berdiri dari kursinya. “Kau pasti sangat hebat!”
Felix, yang biasanya pendiam, mengangguk kecil. “Selamat, Hazel. Universitas terbaik? Itu bukan hal yang mudah.”
“Terima kasih,” jawab Hazel dengan senyuman manis.
Anna, tampak bersinar penuh kebahagiaan. “Hazel, itu berita yang luar biasa! Kau harus tinggal di sini bersama kami. Kau bagian dari keluarga ini, dan kami akan mendukungmu sepenuhnya.”
Hazel menatap Fabby dengan pandangan yang sulit ditebak, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Itu sangat baik darimu, Anna. Aku akan mempertimbangkannya.”
Namun, Fabby yang duduk di sebelah Anna tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Wajahnya mengeras, tetapi ia mencoba menyembunyikannya di balik senyum tipis. “Tentu saja, Hazel. Tapi aku yakin kau punya rencana lain, kan? Maksudku, Las Vegas bukan tempat termudah untuk ditinggali.”
Hazel menoleh ke arah Fabby, tatapannya tajam tetapi tetap tenang. “Aku tahu itu, Bibi. Tapi aku sudah memutuskan, dan aku yakin ini adalah langkah terbaik untukku.”
Jack mencoba mengalihkan perhatian, menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Hazel, jika kau butuh apa pun, jangan ragu untuk memberitahu kami. Kami ingin memastikan kau merasa nyaman.”
Hazel mengangguk sopan. “Tentu, Paman. Terima kasih atas tawarannya.”
Anna, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan di meja, terus berbicara dengan penuh semangat. “Kalau Hazel tinggal di sini, kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama! Aku ingin mendengar cerita-ceritamu tentang London dan apa saja yang akan kau pelajari di universitas itu!”
Hazel hanya tersenyum, tetapi pikirannya kembali sibuk. Di balik senyuman cerahnya, ia tahu ada banyak hal yang harus ia hadapi. Malam itu, keputusan untuk tinggal di rumah Jack dan Fabby bukan sekadar tentang kenyamanan atau keluarga—itu adalah bagian dari rencananya.
---
Malam di Las Vegas tidak pernah kehilangan pesonanya. Jalanan dipenuhi lampu neon yang berpendar, suara dentingan mesin slot, dan hiruk-pikuk orang-orang yang menikmati kota tanpa batas waktu itu.
Hazel melangkah pelan, tangan kirinya menggenggam secarik kertas kecil berisi daftar tempat yang ingin ia kunjungi, sementara tangan kanannya memegang corn dog yang baru saja ia beli dari pedagang kaki lima.
Ia berhenti sejenak di tepi trotoar, memandangi salah satu hotel mewah yang menara lampu-lampunya hampir menyentuh langit. Hazel menghela napas. Meski gemerlap kota ini memanjakan mata, ada sesuatu yang terasa ganjil di hatinya, seolah-olah ia sedang berjalan di atas kenangan yang buram.
Langkahnya terhenti ketika keributan di depan sebuah kasino menarik perhatian. Orang-orang berkerumun, sebagian mengangkat ponsel untuk merekam, sementara suara-suara bersahut-sahutan dari tengah kerumunan.
“Berhenti di sana!” seru seseorang dengan nada panik.
Hazel, yang awalnya hanya berniat menikmati suasana, ikut berdiri di antara orang-orang. Ia mengunyah corn dog-nya perlahan, matanya fokus pada sumber suara.
“Ini tontonan gratis,” gumamnya pelan dengan nada santai, sedikit menyeringai.
Namun, ekspresi santainya memudar saat ia melihat kilauan logam yang terangkat di tengah kerumunan. Sebuah pisau panjang, tajam, dengan gagang kayu ukir yang sangat khas. Wajah Hazel seketika pucat.
Pisau itu.
Seperti dejavu yang menusuk, pisau itu mengembalikan memori samar yang pernah ia lupakan—atau mungkin ia coba lupakan. Gambarannya masih kabur, tetapi ada sesuatu tentang bentuk dan kilauannya yang mengingatkan Hazel pada sesuatu yang mengerikan.
Ia terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Bayangan gelap seperti kabut melintas di pikirannya. Ia bisa mendengar bunyi benda tajam menembus sesuatu, disusul teriakan yang kini hanya samar di telinganya.
“Pisau itu...” gumam Hazel, nyaris tanpa suara.
“Hai, nona, minggir!” seru seseorang dari belakang, menyenggol Hazel agar ia memberi ruang.
Hazel tersadar, menggenggam erat tas kecilnya untuk menenangkan diri. Ia memaksakan dirinya untuk tetap berdiri, memperhatikan situasi.
Pisau itu kini berada di tangan seorang pria bertubuh besar yang dikelilingi oleh penjaga keamanan kasino. Pria itu tampak marah, tetapi sebelum situasi menjadi lebih buruk, seorang penjaga berhasil melucuti pisaunya.
Hazel menghela napas lega, tetapi matanya tetap terpaku pada pisau yang kini tergeletak di tanah. Pikiran-pikiran aneh mulai memenuhi kepalanya. Apakah ini hanya kebetulan? pisau itu benar-benar mirip dengan yang ada mimpinya.
Ia tahu ia tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Ada sesuatu tentang pisau itu—sesuatu yang harus ia ketahui. Namun, bagaimana caranya?
Sambil melangkah pergi dari kerumunan, Hazel mencoba mengendalikan pikirannya yang kalut. Tetapi satu hal pasti: kunjungannya ke Las Vegas ini
bukan sekadar perjalanan biasa.
Langit Las Vegas mulai menggelap, tetapi Hazel tidak peduli. Langkahnya cepat, melewati keramaian dengan tujuan yang jelas. Di kepalanya, hanya ada satu nama. Toko Perkakas Old Joe. Ia ingat toko kecil itu dari masa kecilnya—tempat ia dan ayahnya pernah membeli pisau dapur.
Hazel terus berjalan, melewati lorong-lorong sempit hingga akhirnya tiba di depan toko kecil dengan papan nama yang sudah pudar. Lampu di depan toko remang-remang, dan pintunya tertutup rapat.
“Tutup?!” Hazel mendesah kecewa. Ia menatap pintu kayu tua itu dengan perasaan tak menentu.
Saat ia hendak berbalik, suara seseorang tiba-tiba terdengar di sampingnya.
“Pemilik toko itu sudah tua dan renta. Toko ini hanya buka dari pagi sampai petang.”
Hazel menoleh dengan terkejut. Di hadapannya berdiri seorang pria dewasa, mungkin sekitar 30 tahun. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan seperti baru saja melewati hari yang panjang. Matanya tajam, dengan sorot yang sulit ditebak. Ia mengenakan jaket kulit gelap yang membuatnya tampak mencolok di bawah lampu jalan.
“Kenapa kau tahu banyak soal toko ini?” Hazel bertanya, berusaha menyembunyikan rasa penasaran sekaligus waspadanya.
Pria itu mengangkat bahu santai. “Aku sering ke sini. Pemilik toko itu kenal baik dengan ayahku. Lagipula, tempat ini satu-satunya yang masih menjual barang-barang tradisional di kota ini.”
Hazel memandang pria itu sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke toko. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh gejolak.
“Apa kau mencari sesuatu yang spesifik?” tanya pria itu lagi, suaranya tenang namun terdengar seperti sedang menggali informasi.
Hazel terdiam sejenak sebelum menjawab. “Pisau.”
“Pisau dapur? Atau...?” Pria itu menggantungkan kalimatnya, ekspresinya samar-samar menunjukkan ia mengerti lebih dari yang terlihat.
Hazel menatap pria itu dengan hati-hati. “Pisau dengan ukiran yang berkilau di gagangnya.”
Seketika, suasana terasa berubah. Mata pria itu sedikit menyipit, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa detik.
“Toko ini memang menjual pisau seperti itu,” ucapnya akhirnya. “Tapi itu barang lama. Aku tidak yakin mereka masih punya stok.”
Hazel menelan ludah. Di dalam hatinya, ia berharap toko ini menyimpan jawaban atas teka-teki yang menghantuinya. Pisau di kasino tadi terlalu mirip dengan sesuatu dari masa lalunya—sesuatu yang ia harap bisa ia lupakan.
Pria itu melangkah mendekat, menatap Hazel dengan tatapan penuh selidik. “Kenapa kau tertarik dengan pisau seperti itu?”
Hazel mengeraskan rahangnya, mencoba menyusun jawaban yang tidak akan memancing lebih banyak pertanyaan. “Itu hanya kenangan lama. Tidak penting.”
Pria itu tidak terlihat sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak mendesak. “Kalau begitu, kau harus kembali besok pagi. Pemilik toko biasanya ramah, tapi dia juga pelupa. Kalau kau datang terlalu siang, dia mungkin tidak akan ingat ada pengunjung di depan tokonya.”
Hazel mengangguk pelan. “Terima kasih atas informasinya.”
Pria itu tersenyum tipis, tetapi Hazel tidak bisa membaca maksud di balik senyum itu. Ia mulai berjalan menjauh, tetapi kemudian berhenti. “Namaku Nolan,” ucapnya sambil melirik Hazel sekilas. “Kalau kau butuh bantuan, aku biasa ada di sekitar sini.”
Hazel tidak menjawab. Ia hanya memandang Nolan hingga sosok pria itu menghilang di keramaian malam. Di dalam pikirannya, teka-teki itu semakin rumit.
Hazel berdiri diam untuk beberapa saat, memandangi toko tua itu. Ia memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Mungkin ia akan kembali besok pagi, seperti saran Nolan, tetapi rasa penasaran yang membara di hatinya sulit ia abaikan.
Langkahnya akhirnya mengarah kembali ke jalan utama. Lampu-lampu kota Las Vegas masih berpendar terang, tetapi pikiran Hazel terasa gelap dan penuh dengan pertanyaan. Siapa Nolan? Dan mengapa ia merasa pria itu tahu lebih banyak dari yang ia katakan?
Sementara itu, di tempat lain, Nolan berjalan perlahan menuju gang kecil di belakang toko. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Setelah beberapa detik, suara di seberang sana menjawab.
“Dia sudah kembali,” ucap Nolan tanpa basa-basi. Suaranya terdengar serius, tidak lagi santai seperti tadi saat berbicara dengan Hazel.
“Apa kau yakin itu dia?” suara di telepon terdengar ragu.
“Tidak ada keraguan. Dia masih mengingat kejadian itu.”
Hening sejenak. Nolan melanjutkan dengan nada lebih rendah, “Aku akan memastikan dia tidak membuat masalah. Tapi sepertinya dia punya tujuan tertentu untuk kembali ke sini.”
“Pantau dia,” suara di telepon memberi perintah singkat.
Nolan mengangguk, meskipun orang di seberang tidak bisa melihatnya. “Akan kulakukan.”
Percakapan terputus, dan Nolan menatap layar ponselnya sejenak sebelum menyimpannya kembali ke dalam saku. Ia menatap ke arah Hazel menghilang beberapa menit lalu, bibirnya menyunggingkan senyum tipis penuh makna.
“Permainan baru saja dimulai,” gumamnya sebelum melangkah pergi ke dalam bayang-bayang malam.