Bayu tersenyum dan menyampaikan idenya. "Bagaimana jika kita melakukan tes DNA antara Anda dan Jaya? Ini bisa membantu menguatkan fakta soal hubungan darah, supaya terurai situasi rumit di antara kalian berdua. Sebab, sebenarnya, saya tahu Jaya itu membutuhkan kehadiran ayah dan dia nyaman sama Bapak."
Pak Atma terhenyak dan berkomentar, "Tapi, kalau tes DNA …."
"Ya, saya tahu. Jaya sudah menolak keras, kan? Tenang, Pak! Saya sudah mengatur semuanya. Saya akan mencari sampel darah dari Jaya tanpa sepengetahuannya,” sahut Bayu penuh percaya diri.
“Aduh, Dok! Itu kan, melanggar kode etik?” tukas Pak Atma cemas.
“Iya, sih. Selama dia belum rela. Tapi, aku yakin, seiring waktu nanti, dia akan memahami alasanku dan menerimanya,” jawab Bayu mantap. “Ini adalah langkah yang perlu kita ambil untuk membantu Jaya menghadapi masa lalu dan memahami hubungannya dengan Anda. Kita perlu memberi jawaban yang dia butuhkan."
Pak Atma mengangguk mengerti. “Baiklah, Dok. Kita akan mengatur tes DNA. Akan tetapi, ada yang perlu diingat. Apa pun hasilnya, itu tidak akan mengubah masa lalu atau luka hati yang dialami Jaya. DNA mungkin bisa memberikan jawaban, tetapi penyembuhan sejati berasal dari bagaimana kita berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu kita,” cetus beliau.
“Benar, Pak Atma. Ayo, kita temukan jawaban bersama-sama! Selanjutnya, urusan penyembuhan dan perdamaian, biar diselesaikan Jaya sendiri dibantu Profesor Wijaya. Mereka adalah duet yang tangguh,” ujar Bayu optimis.
“Semoga, ya. Saya sungguh ingin bisa membantu Jaya dan ibunya, serta membawa kejelasan bagi Jaya dan membantu memperbaiki hubungan kami,” ucap Pak Atma penuh harap. “Kita harus sangat berhati-hati agar Jaya tidak mengetahui sebelum waktunya. Saya tahu ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan mungkin sulit.”
Bayu menepuk pundak Pak Atma seraya berkata, "Saya akan mengurus semuanya, Pak Atma. Terima kasih atas kerja samanya."
***
Saat Jaya sedang bersiap-siap keluar ruang praktik karena jadwalnya hari ini telah selesai, Bayu menerobos masuk dengan penuh semangat. "Jay, aku mau bicara soal penelitian genetikku. Aku pikir, kamu bisa menjadi salah satu peserta yang sangat berarti."
Jaya sedikit bingung dan bertanya, "Penelitian genetik? Aku harus ngapain?"
"Tenang! Enggak yang aneh-aneh, kok,” sahut Bayu. “Aku sedang mempelajari bagaimana gen kita dapat memengaruhi perasaan dan emosi kita. Aku butuh sampel darah dari berbagai individu untuk penelitian ini, termasuk kamu."
Jaya mengernyit. "Sampel darah? Ada hubungannya ya, dengan perasaan dan emosi?" tanya Jaya bingung.
Bayu menjentikkan jari dan menodongkan telunjuknya ke Jaya dengan penuh gaya. "Pertanyaan bagus! Penelitian ini dapat membantu kita memahami lebih dalam tentang bagaimana gen kita memainkan peran dalam kesehatan mental kita. Ini adalah langkah kecil untuk mengungkap misteri di balik kesehatan mental," tutur Bayu berusaha menjelaskan.
Jaya memikirkannya sejenak, lalu bertanya, "Tapi, kenapa harus aku, sih?"
"Ya, enggak cuma kamu dong, Jay. Kamu salah satunya, dengan setumpuk alasan. Pertama, biar kamu tetap memegang gelar sohib terbaik Dokter Bayu. Kedua, kamu memberikan kontribusi besar pada ilmu pengetahuan. Ketiga, kamu juga akan mendapatkan informasi tentang dirimu sendiri. Ini bisa membantu kamu lebih memahami diri sendiri dan mungkin menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini kamu miliki," ungkap Bayu dengan ekstra sabar.
Jaya merenung sebentar, kemudian menjawab, "Okay, deh. Aku ikut. Terus, aku harus ngapain, nih?"
Bayu menyambut gembira. "Terima kasih, Jaya! Aku akan mengatur waktu dan tempat yang nyaman untuk pengambilan sampel darahmu. Jangan khawatir, semuanya akan berjalan dengan baik," jelas Bayu sangat antusias.
***
Pada jadwal yang telah disepakati, Bayu mengambil sendiri sampel darah Jaya demi ketelitian hasil. Dia tidak menyerahkannya kepada Pak Atma sebagai petugas berkompeten guna menghindari bias-bias emosional yang mungkin bisa kembali meracuni hari-hari Jaya.
Memang, setelah mendapatkan teguran dari Profesor Wijaya dan menjalani sesi konseling yang cukup intens dengan beliau, Jaya mulai merenungkan perilaku dan perasaannya. Hari-harinya di RSIA berlalu dengan penuh pemikiran dan keraguan.
Saat bertemu Pak Atma, Jaya mencoba untuk menjaga jarak emosional. Jauh di dalam palung hati, Jaya masih mendambakan sosok ayah dan merindukan hari-harinya bersama Pak Atma. Namun, Jaya tidak tahu bagaimana berbicara dengan Pak Atma dan memulihkan hubungan mereka setelah semua yang terjadi.
Toh, luka hati yang dimiliki ibunya lebih penting untuk dirawat. Jaya tidak mau menghadirkan sosok yang menyakiti ibunya dalam lingkaran hidupnya. Jaya merasa harus melindungi ibunya dari segala kemungkinan yang bisa membahayakan. Itu sebabnya, menghindar dari Pak Atma merupakan pilihan yang jauh lebih mudah sambil menelan pahitnya kenyataan memiliki ayah jahat.
Pak Atma pun berusaha tidak terlalu mendesak Jaya. Walaupun beliau merasa bahwa mereka masih memiliki ikatan emosional yang kuat dan ingin berusaha memperbaiki hubungan mereka, tetapi Pak Atma memilih bersabar menunggu hasil tes DNA.
***
Proses tes DNA berlangsung selama beberapa minggu, dan selama periode ini, Pak Atma merasa semakin tegang. Bayu yang sebelumnya begitu yakin dengan hasil tes ini juga mulai gugup. Mereka berdua berharap hasilnya benar-benar membantu Jaya dan Pak Atma.
Ketika hasil tes akhirnya keluar, Bayu yang membacanya terlihat sangat terkejut. Tatapan matanya beralih antara lembaran hasil tes dan Pak Atma. Dalam sekejap, ruangan itu menjadi sunyi, dan suasana tegang terasa begitu kuat.
“Pak Atma, ini kok, hasilnya …,” ucap Bayu terbata-bata sambil menyerahkan lembaran di tangan.
Pak Atma menerima kertas itu dan membacanya isinya dengan hati-hati. Berikutnya, beliau justru tersenyum dan mengangguk. “Ya, memang inilah kenyataannya, Dok.”
Pak Atma pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Bayu. Bayu berusaha mencerna satu per satu sambil mempreteli keyakinan awalnya yang sudah terlanjur dia bangun dalam benak. Setelah memahami semuanya, Bayu pun memikirkan tindakan berikutnya.
Usai merenung sejenak, Bayu akhirnya berkata, “Yang terpenting adalah bagaimana kita mendukung Jaya melewati semua ini. Dia masih dalam keadaan bingung dan terluka. Pertama, kita perlu berbicara dengan Jaya, berikan dia waktu untuk merenungkan hasil tes ini.”
Pak Atma mengangguk setuju. “Benar. Kita perlu memberikan dukungan emosional pada Jaya. Dan, saya ingin meminta maaf kepadanya atas segala kesalahpahaman yang mungkin terjadi,” ucap beliau.
Bayu mengangguk sambil menatap kagum ke Pak Atma. “Itu adalah langkah yang baik, Pak Atma. Selanjutnya, kita perlu melibatkan Jaya dalam semua keputusan terkait masa depannya. Apakah dia ingin tetap menjalani hubungan dengan Anda, atau dia butuh waktu untuk menerima kenyataan ini?” ungkapnya.
Pak Atma tampak berpikir keras dan sedikit khawatir. “Saya takut Jaya mungkin masih merasa marah dan bingung terhadap saya. Tapi, saya akan menghormati keputusannya,” ujar Pak Atma lirih.