Jaya menghela napas lelah dan melempar pandangan ke Bayu. Dia jadi merasa bersalah menjadikan Bayu pelampiasan, padahal hanya mencoba menolong.
"Bay, maaf, ya," ujar Jaya akhirnya, menghela napas dalam-dalam. "Memang enggak banget sih, aku bicara kaya tadi."
Bayu tidak langsung menjawab. Dia masih tersinggung oleh kata-kata Jaya. Namun, di sisi lain, dia juga ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Jaya. Bayu pun menghela napas keras. Dia mengucek-ngucek wajah seperti sedang cuci muka untuk meredakan ketegangan otot-otot di sana.
Dengan tampang kusut tetapi lega, Bayu bertanya seperti mendesah, "Kamu kenapa sih, Jay, akhir-akhir ini? Kaya bukan Jaya yang aku kenal, deh. Kelar nih, kita sohiban?" tanya Bayu gemas.
“Jangan dong, Bay,” rajuk Jaya seperti anak kecil. “Iya deh, iya. Aku mengaku salah. Aku sudah mengabaikan teman terbaikku dan menutup diri karena sok kuat menghadapi perasaan dan masalah sendirian.”
Bayu mengangkat alis dan berusaha maklum. "Kalau belum bisa cerita sekarang, enggak apa-apa. Yang penting, kamu tahu. Kapan pun kamu siap berbagi, aku selalu ada,” ucap Bayu lembut.
Jaya tersenyum sambil berseloroh, “Perasaan, itu kalimat yang biasa aku bilang ke klien, deh.”
“Ah! Itu kan, hanya perasaanmu,” canda Bayu tak mau kalah.
Jaya dan Bayu tertawa kecil. Ada ruang dalam hati masing-masing yang tadinya terasa menghimpit dan kini kembali lega. Keduanya sadar bahwa persahabatan mereka masih kokoh. Meskipun ada masa-masa sulit, mereka akan saling mendukung seperti yang selalu mereka lakukan.
Jaya pun berbicara dengan perasaan lebih ringan. “Bay, aku mau bilang sekarang aja,” cetusnya yang memicu sebelah alis Bayu terangkat tanda penasaran. Jaya pun menceritakan kejadian beberapa hari lalu yang melibatkan Pak Atma.
Bayu terkejut. “Wow! Itu kabar besar. Bingung juga cara menghadapinya, ya?”
Jaya merasa tertekan. Dia kemudian menyahut, “Itulah masalahnya, aku benar-benar terguncang, Bay. Belum tahu harus apa, dan itu mengganggu konsentrasiku. Aku belakangan malah sibuk menyalahkan diri sendiri karena berusaha mencari tahu soal ayah.”
Bayu mengangguk-angguk berusaha memahami. "Ya, mungkin memang begitu. Tapi, kamu harus mengatasi perasaan ini dan menyelesaikan dengan cara yang benar, Jay. Aku yakin kamu bisa. Kamu kan, ahlinya. Kalau butuh bantuan, apa pun, kamu bisa hubungi aku," ujar Bayu penuh keyakinan.
Jaya merasa lega setelah berbicara dengan Bayu. Meskipun tahu harus tetap profesional di tempat kerja, terkadang perasaan pribadi bisa memengaruhi. Jaya berjanji pada dirinya sendiri untuk menangani situasi ini dengan bijaksana. Kesejahteraan mental ibunya harus tetap menjadi prioritas.
***
Sorenya, Jaya mengunjungi sang ibu di panti rehabilitasi ODGJ. Langit yang cerah merona jingga tampak serasi dengan beberapa mainan pasir yang dibawanya untuk terapi, mengingatkan pada suasana menjelang matahari terbenam. Jaya berharap bahwa terapi ini bisa membantu ibunya membuka diri dan mengungkapkan perasaannya, meskipun Jaya sendiri masih kesulitan menerima kenyataan tentang ayahnya.
Ketika tiba di panti, Jaya mendapati ibunya duduk sendirian di sudut ruangan yang sunyi. Puspa tampak tenang, tetapi matanya mencerminkan kehampaan dan rasa kehilangan yang mendalam. Jaya dengan lembut mendekati ibunya, menunjukkan mainan pasir di tangan.
"Ibu ingat ini? tanya Jaya sambil tersenyum lembut. Puspa menatapnya datar, tetapi ada kilatan kenangan yang melintas di mata. Dulu, saat aku masih kecil, bermain pasir merupakan salah satu aktivitas favoritku di pantai."
Jaya mengajak Puspa ke halaman belakang yang memiliki bak pasir. Namun, Puspa masih tetap diam. Jaya merasa sedih, tetapi tidak putus asa. Dia terus berbicara dengan ibunya, mengingatkan pada saat-saat bahagia yang mereka lewati bersama saat liburan di pantai.
Puspa akhirnya menurut. Dia bangkit dan menunggu Jaya di ambang pintu. Sesampainya di halaman belakang, mereka berdua mulai bermain, menciptakan berbagai bentuk seperti gunung, bunga, dan rumah kecil. Puspa mulai terlibat dalam permainan ini, meskipun masih dalam keheningan.
Beberapa saat kemudian, ketika Jaya sedang mengamati pasir di tangan, perlahan Puspa meraih pasir dan mulai membentuk sesuatu. Mata mereka bertemu, dan Jaya melihat senyum kecil di wajah sang ibu terkasih. Puspa membentuk sebuah hati kecil dengan pasir, lalu menunjukkannya kepada Jaya.
Jaya merasa haru oleh tanda sederhana itu. Jaya ikut membuat bentuk hati dari pasir, menunjukkan kepada Puspa sambil berkata, “Aku juga sayang sama Ibu.”
Puspa pun tersenyum bahagia. Jaya meraih tangan ibunya dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Terima kasih, Bu. Aku tahu ini sulit bagimu, dan aku di sini untukmu."
Mereka melanjutkan permainan pasir dengan penuh kehangatan. Jaya berharap bahwa suatu hari, ibunya akan merasa nyaman berbicara dengannya tentang masa lalu mereka dan mungkin tentang sosok ayah yang terus ditutuoi keberadaannya dari Jaya.
Jaya merasa ini adalah kesempatan membuka percakapan yang sangat sulit dengan ibunya. Jantung Jaya berdebar kencang. Akan tetapi, dia tahu ini adalah waktu yang tepat dan tak boleh disiia-siakan.. Jaya menatap ibunya dan dengan lembut bertanya, "Bu, selama ini, kita tidak pernah bicara tentang ayah, kan?"
Puspa menoleh padanya dengan tatapan penuh emosi. Namun, tidak ada tanda-tanda penolakan. Jaya melanjutkan, "Aku tahu ini menyakitkan, Bu. Aku juga merasakannya. Tapi, kupikir sudah saatnya kita berbicara tentang hal iini. Aku ingin tahu lebih banyak tentang keluarga kita, tentang ayah."
Puspa terhenti sejenak dari aktivitas yang baru saja menjadi kegiatan yang menyenangkan baginya. Jaya bisa merasakan betapa sulitnya topik itu bagi sang ibu. Puspa kemudian mengambil pasir di tangan dan kembali membentuknya dengan perlahan, seakan-akan ucapan Jaya barusan hanyalah angin selintas lalu.
Melihat setetes air mata mulai menitik dari kelopak mata Puspa, Jaya merasa penasaran bercampur marah. Dia berharap bisa menggali lebih dalam, agar semakin dekat dengan hasil dari proses penyembuhan ibunya.
Tak sanggup lagi menahan segala perasaan dan tanya, Jaya mengambil pasir dan membentuknya menjadi figur kecil. Dia berusaha menjadikan figur tersebut agar terlihat seperti seorang pria dan meletakkan di depan ibunya. Puspa memandang figur pasir itu dengan perasaan tidak karuan.
Jaya kemudian membuat figur lain, kali ini lebih pendek untuk mewakili dirinya sendiri. Figur pasir tersebut diletakkan di samping figur ayah. "Bu," ucap Jaya dengan suara penuh emosi bermacam-macam yang saling berbenturan,, "Aku sudah tahu siapa ayahku."
Puspa menatap Jaya dengan ekspresi terkejut tanpa suara. Beliau menatap kedua figur buatan Jaya. Ekspresinya menunjukkan pemikiran yang dalam. Meskipun tetap diam, Jaya merasa bahwa ibunya sedang memproses informasi yang baru saja dia berikan. Sang ibu kemudian mengangkat wajah menghadap Jaya, seolah-olah menunggu putranya menjelaskan lebih lanjut.
"Ada banyak perasaan yang bercampur aduk di dalam diriku," sambung Jaya dengan bibir bergetar. "Aku merasa marah, kecewa, dan bingung. Tapi juga, ada ... rindu."