Khayalan Jaya mungkin terlampau jauh. Entah benar atau tidak, pikiran tentang Pak Atma membuat Jaya tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Benaknya terus berusaha memproses segala yang dialaminya bersama Pak Atma sejak awal menginjakkan kaki di RSIA Purnama.
Suatu kenangan pun tebersit pada masa di mana Jaya pertama kali bertemu Pak Atma, yaitu saat mengikuti tes kesehatan untuk memenuhi salah satu syarat administratif bergabung bekerja di RSIA ini.
Tergambar kembali bagaimana Pak Atma tampak terkejut dan terharu saat membaca akta kelahiran Jaya. Saat itu, Jaya sempat berpikir bahwa Pak Atma terkejut karena tidak ada nama ayah di akta kelahiran tersebut. Namun, kali ini Jaya juga mengingat bahwa ada nama ibunya tercatat di akta itu. Dua fakta yang bisa sangat berpengaruh bagi seseorang yang mengenal ibunya.
Benarkah Pak Atma adalah ayahku, seperti yang selama ini dijadikan bahan gurauan oleh Bayu? Benarkah kami berdua mirip? Benarkah perhatian Pak Atma selama ini bukan sekadar kebaikan hati seperti kepada pegawai lain di rumah sakit ini?
Dalam hidup, sering kali manusia harus menghadapi kenyataan yang sulit, yang lama tersembunyi di balik pintu gelap, dan datang begitu saja tanpa pemberitahuan. Ada banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran Jaya, dan dia jadi makin terobsesi untuk segera menguak apakah sungguh ada hubungan antara ibunya dan Pak Atma.
Saat jam makan siang, Jaya mendatangi lab. Bayu sudah siap menyambutnya. Akan tetapi, sambil tersenyum manis, Jaya berkata, “Siang ini, aku makan siang sama Pak Atma aja, ya.”
“Hai, hai, hai! Ada apa ini?” tanya Bayu sambil memandang Jaya dan Pak Atma bergantian. Pak Atma pun tak sanggup menutupi kebingungan.
Jaya menepuk bahu Bayu sambil bercanda. “Kamu sendiri kan, yang kasih saran Pak Atma buat konseling sama aku? Kamu pikir, aku sesakti Doctor Strange yang bisa menyembuhkan segala masalah dengan sekali tatap muka?”
Meski masih heran, rupanya Pak Atma mulai memahami situasi bahwa mungkin justru Jaya yang sedang ingin curhat lagi padanya. Maka, Pak Atma pun langsung membenarkan. Bayu hanya menghela napas sedikit kecewa, sambil berkomentar, “Yah, kadang aku lupa kalau Jaya ini sudah jadi milik dunia.”
Jaya tertawa ringan seraya membalas lambaian tangan Bayu yang pergi meninggalkan ruangan. Pak Atma mengambil ponsel dan berkata dengan nada bergurau, “Kali ini, saya yang menraktir ya, Mas Jaya. Mau seperti biasanya atau ganti menu?”
Jaya mengangguk, lalu menyebutkan roti isi dan air mineral sebagai pilihannya kali ini. Usai menyampaikan pesanan makanan untuk mereka berdua, Pak Atma pun menutup ponsel dan siap mendengarkan.
“Jadi, mau mengobrol apa kali ini, Mas Jaya?” tanya Pak Atma ramah.
Setelah menata diri beberapa saat, Jaya akhirnya memberanikan diri membuka suara,"Pak Atma, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Itu …."
Pak Atma mendengarkan dengan perhatian penuh. Beliau tersenyum, mengisyaratkan agar Jaya menyampaikan kalimat yang tertahan. Jaya pun membulatkan tekad bertanya dengan nada penasaran, “Pak Atma, “Kenapa Bapak sangat perhatian pada saya?”
“Saya melakukannya ke semua orang, Mas Jaya,” jawab Pak Atma diplomatis.
“Lalu, kenapa waktu kita pertama kali bertemu. Saya melihat reaksi Anda saat membaca akta kelahiran saya. Apa yang membuat Anda sangat tertarik pada akta tersebut?” kejar Jaya.
Pak Atma mengerutkan kening, kemudian menjawab ragu-ragu. “Apa iya? Maaf kalau itu mengganggu Mas Jaya dan jadi berpikir yang bukan-bukan. Saya mengerti rasa ingin tahu Anda. Tapi, ada yang lebih penting yang harus kita bicarakan.”
Jaya jadi semakin penasaran dibuatnya mendengar jawaban Pak Atma yang seolah-olah sedang berkelit. Kali ini, dia berusaha menghujamkan pertanyaan dengan lebih tegas. “Apakah Anda mengenal nama ibu saya yang tercantum di sana? Apakah Anda punya hubungan dengan ibu saya? Curhatan Bapak dulu, soal meninggalkan perempuan yang Bapak cintai, apakah perempuan itu bernama Puspa Dewi Ratna?” serang Jaya bertubi-tubi.
Pak Atma memandang Jaya dengan penuh pertimbangan. Beliau menghela napas dalam, kemudian bertutur, “Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah Anda mengira saya ayah kandung Anda?”
Jaya dengan suara yang terdengar tertahan pun menyahut, “Ya, saya ingin tahu. Saya ingin tahu kebenarannya.”
Pak Atma mengangguk maklum dan berucap, “Baiklah, Mas Jaya. Saya mengerti bahwa ini merupakan pertanyaan penting bagi Anda. Kita bisa menyelesaikannya dengan tes DNA.”
Suasana di meja itu seketika menjadi hening. Jaya dan Pak Atma saling beradu pandang, penuh pertanyaan yang belum terjawab. Otot-otot mata Jaya perlahan menegang, seakan-akan ingin membuncahkan kemarahan tak terperi.
Jaya dengan nada marah pun setengah berteriak, “Tes DNA, Pak Atma? Anda tahu betul bahwa saya sangat marah dengan ayah saya. Dia menghancurkan hidup ibu saya dan saya sebagai keluarganya. Apakah Anda pikir dengan tes itu, semuanya akan jadi baik-baik saja? Tes itu tidak akan pernah bisa mengobati luka-luka yang telah saya dan ibu alami selama ini! Bagaimana Anda bisa dengan santainya menyarankan ini?”
Pak Atma dengan tenang menjawab, “Jaya, saya mengerti perasaan Anda. Saya tidak bermaksud menganggap enteng luka hati Anda atau ibu Anda. Saya hanya ingin memberi Anda opsi untuk mengetahui kebenaran.”
Jaya semakin terluka mendengar panggilan “Mas” yang selama ini disematkan Pak Atma sudah mulai hilang, tanda bahwa beliau telah menganggapnya sebagai pihak yang mungkin berposisi di bawahnya. Anaknya!
Jaya menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Maaf, Pak Atma. Anda salah jika mengira bisa mendapatkan kembali cinta Ibu dan saya hanya berdasarkan jejak genetik yang Anda miliki. Saya tidak menyangka, keramahan Anda selama ini penuh racun!”
Wajah Jaya penuh kemarahan, juga kepedihan yang dalam. Dia merasa perlu mengeluarkan semua perasaannya kepada pak Atma. Pak Atma dengan tenang berucap, “Jaya, saya paham bahwa ini adalah situasi yang sulit bagi kita berdua. Saya sendiri tidak tahu bagaimana meresponsnya, dan ini juga mengguncangku, terus terang.”
Jaya masih saja dibalut amarah. “Anda tahu apa yang telah saya lalui sepanjang hidup tanpa sosok ayah? Dihina sejak kecil hingga dewasa. Semua prestasi yang saya buat tidak ada artinya di mata mereka. Tumbuh tanpa seseorang yang bisa melindungi atau mengajari menjadi pria sejati!” cecar Jaya.
Pak Atma tampak terpukul mendengarnya, seakan-akan ada sebongkah beban yang dilemparkan pada beliau. Dengan penuh empati, Pak Atma hanya bisa berkata, “Saya minta maaf, Jaya. Saya tidak tahu tentang keadaanmu sebelum ini.”
Jaya yang sudah meradang hanya bisa menyambut dengan nada kecewa. “Dan, apa yang Anda tahu tentang ibuku? Apakah Anda sudah tahu sebelumnya bahwa beliau adalah seorang wanita yang luar biasa? Apa karena itu, Anda tega membuatnya menanggung semua beban sendirian? Beliau terluka, dan sekarang, saya tahu bahwa Andalah penyebabnya!”