Jaya terus memacu langkah yang seolah-olah tidak pernah cukup cepat mengantarnya sampai ke tujuan. Sayang, dia tidak pula berani berlari. Khawatir menimbulkan suara gaduh dan membuat para penghuni panti berpikir yang tidak-tidak.
Akhirnya, Jaya berdiri di depan pintu kamar ibunya. Sudah tiga kali dia mengucapkan salam, tetapi Puspa tetap bergeming memandang ke luar jendela. Jaya menyesap napas dalam-dalam sebelum memasuki ruangan itu. Ruangan yang masih menyimpan banyak misteri bagi Jaya.
Hanya berselang sehari Jaya tidak ke mari, akibat kesibukan di RSIA. Meski begitu, pertemuan mereka di panti ini selalu menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu, dengan sebongkah asa ada berita kemajuan. Sayang, sepertinya lagi-lagi harapan Jaya itu pupus, mendapati Puspa hanya terpekur.
Jaya melihat sekeliling ruangan dengan hati-hati, berjaga-jaga jika ada petunjuk baru yang bisa ditemukan. Ruangan itu bernuansa nyaman dan lembut. Dindingnya dicat dengan warna pastel yang menenangkan. Jendela di sisi kiri menghadap ke taman yang indah.
Di atas tempat tidur, tergantung sebuah pigura minimalis membingkai lukisan ibu dan anak yang Jaya gambar saat TK. Lukisan itu menghadap ke arah tempat Jaya berdiri, seolah-olah menyambutnya kembali ke masa lalu.
Di meja kecil dekat ranjang, terdapat beberapa buku yang tersusun rapi. Profesor Wijaya biasa menambahkan buku baru secara berkala. Kebanyakan berupa buku terjemahan, kecuali Alquran yang juga tersedia versi tulisan Arabnya. Alquran itu tampak baru dibaca, tergeletak di dekat deretan buku.
Buku-buku karya penulis Indonesia hanyalah "Perempuan Yang Dihapus Namanya" oleh Eka Kurniawan, "Pulang" oleh Tere Liye, "Mata Yang Enak Dipandang" oleh Ahmad Fuadi, dan "Man Jadda Wajada: Di Atas Rata-rata" oleh Helvy Tiana Rosa. Semuanya berisikan pemaknaan diri dan motivasi.
Sedangkan hasil terjemahan bacaan impor ada yang berupa novel klasik seperti "Pride and Prejudice" karya Jane Austen dan "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee yang menawarkan cerita mendalam tentang hubungan manusia dan nilai-nilai kehidupan.
Terdapat pula kumpulan cerita pendek yang menginspirasi berjudul "Penerjemah Luka", hasil alih bahasa dari "Interpreter of Maladies" karya Jhumpa Lahiri. Buku sejarah berjudul “Kulit Lembut” yang merupakan terjemahan dari "The Diary of a Young Girl" karya Anne Frank, dan "The Collected Poems of Emily Dickinson" pun ikut berjajar di sana, bersama aneka buku tentang seni lukis, musik, dan keramik.
Jaya tersenyum melihat posisi "Sang Alkemis" karya Paulo Coelho dan "The Power of Now" karya Eckhart Tolle yang bertukar tempat, menandakan sempat dikeluarkan dari barisannya, entah salah satu atau keduanya.
Buku psikologi "Man's Search for Meaning" karya Viktor E. Frankl yang membahas signifikansi dan tujuan hidup di sebelahnya bahkan jelas-jelas letak pembatas halamannya telah bergeser ke belakang beberapa lembar dibandingkan dua hari lalu, memberi tahu Jaya bahwa inilah buku yang belakangan dibaca Puspa.
Jaya teringat saat Profesor Wijaya berbicara soal ini. “Syukurlah, Ibu Puspa gemar membaca. Ini bisa menjadi sarana yang baik agar tetap terhubung dengan dunia luar. Setidaknya, Ibu Puspa hidup cukup manusiawi. Interaksinya dengan lingkungan luar bukan hanya untuk makan dan minum."
Jaya yang sedang hanyut dalam lamunan, tak menyadari bahwa Puspa sedang mengamatinya. Ada rasa bangga sekaligus haru menyelinap dalam kalbu sang ibu setiap menatap sosok tegap di hadapannya.
Jaya akhirnya merasa juga ada sepasang mata yang memperhatikan. Dia berbalik dan melihat Puspa sedang menatapnya syahdu. Rambut Puspa yang pernah panjang kini menggantung di atas bahu dan telah memutih. Akan tetapi, sorot pandangan itu masih sama, penuh cinta.
Puspa tersenyum lembut pada Jaya. Meski tanpa kata terucap, Jaya paham bahwa aksi selanjutnya yang diinginkan Puspa dari anaknya adalah mendekat. Bahkan, jika bukan itu yang dimaksud, sama sekali tak ada keberatan bagi keduanya untuk melakukan.
Jaya duduk di samping Puspa, merasa kehangatan tangan ibunya yang lembut saat dia memegangnya. Puspa mengangkat tangan gemetar ke wajah Jaya, mengusap halus beberapa garis di sana. Mata Puspa yang pernah melihat begitu banyak kesedihan dan penderitaan sekarang memancarkan cahaya keibuan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Jaya teringat buku psikologi yang dibawanya. Kegemaran Puspa membaca telah menurun deras ke Jaya sejak kecil. Di usia sangat dini, dia sudah terpapar aneka bacaan berkualitas yang disediakan Profesor Wijaya. Mulai dari buku cerita, ensiklopedia anak, hingga buku-buku untuk Puspa pun ikut dibacanya. Memberikan asupan otak yang bergizi selama di tumbuh di RSJ.
Ya, biblioterapi tampaknya cukup efektif diterapkan ke ibu Jaya. Beliau bisa menjadikannya sebagai sarana relaksasi dan pengalihan. Cerita novel dengan karakter kompleks dalam situasi kehidupan beragam, dapat membantu beliau lebih memahami emosi manusia dan mengembangkan empati terhadap orang lain. Sedangkan buku-buku pengembangan diri, membuat Puspa berefleksi, bertahan, dan tumbuh secara mental.
Walaupun masih saja terus membisu, Jaya menyaksikan perubahan yang signifikan dari hari ke hari sejak ibunya keluar dari ruang isolasi dulu. Ibu yang tetap menjalani hobi membacanya ini tampak semakin stabil dalam merespon dan bersikap.
Jaya menunjukkan buku itu sambil bertutur halus, seakan-akan ingin suaranya mencapai hati ibunya yang tersembunyi. "Kita lanjutkan membahas buku ini, yuk! Mana bagian favorit Ibu sejauh ini?"
Puspa mengambil buku di tangan Jaya dan menyibak halaman yang ditandainya dengan pembatas buku. Dia menunjukkan beberapa baris di halaman itu kepada Jaya. Jaya pun membunyikannya dengan penuh penghayatan.
“Segalanya bisa diambil dari seorang manusia, kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia, yaitu memilih sikap dalam setiap situasi tertentu, memilih jalan sendiri."
Jaya menarik napas dalam. Jelas-jelas Puspa menemukan pembenaran atas sikapnya melalui buku ini, sebuah tulisan psikiater yang telah mengalami situasi yang paling ekstrem sebagai korban selama Holokaus. Rupanya, sang ibu ingin tetap mengontrol situasi dengan cara diam.
Jaya kemudian menata emosi dan menanggapi dengan bertutur, “Kutipan yang bagus. Mengajarkan kepada kita bahwa meskipun tidak dapat mengubah semua situasi yang kita hadapi, kita selalu memiliki kendali atas sikap dan cara meresponsnya. Ini berarti, bahkan dalam masa-masa sulit seperti yang telah kita alami, masih ada kekuatan untuk memilih bagaimana menjalani hidup."
Jaya menggenggam tangan Puspa sambil tersenyum dan melanjutkan berkata, “Dalam konteks kita, aku ingin membantu Ibu menemukan makna dalam setiap tahap perjalanan ini, meskipun ada banyak tantangan. Tidak ada yang bisa memaksa Ibu memilih jalan. Namun, jika satu sikap sudah terbukti tidak membawa perkembangan pada produktivitas diri, mungkin Ibu bisa mempertimbangkan jalan lain?"
Puspa tersenyum maklum dan menggeleng lambat. Beliau mengusap anak-anak rambut di dahi Jaya. Sekali lagi, Jaya harus menelan pahitnya kegagalan membujuk sang ibu. Dia hanya bisa menunduk menyembunyikan lapisan bening yang mulai meliputi kedua bola mata. Jaya memilih mengecup jemari dalam genggamannya.