Di dalam ruang praktik nan sepi itu, Jaya berputar-putar memikirkan segala kejadian yang mungkin membuat ibunya terus diam. Jaya yakin bahwa pemicunya adalah masalah psikologis. Sebab, ibunya menjalani pemeriksaan fisik setiap tahun untuk memastikan tidak adanya gangguan pada sistem saraf, pendengaran, dan vokal.
Kekalutan yang tanpa sadar membekas itu membawa Jaya menekuri kembali apa yang sesungguhnya telah terjadi pada ibunya. Mengapa Ibu sesedih itu? Mengapa reaksinya sejauh itu? Apa sebenarnya yang melukai pikiran beliau? Apakah ini ada hubungannya dengan Ayah? Masa lalu seperti apa yang sanggup membuat seseorang bertahan bungkam hingga 30 tahun? Berderet pertanyaan memberondong benak Jaya.
Ide-ide tentang beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap seseorang hingga memilih diam pun berloncatan dalam pikiran Jaya. Mungkinkah Ibu memang orang yang sulit bercerita? Bisa jadi, beliau mengalami ketakutan dan ancaman berulang? Atau, beliau sedang menutupi rasa malu dan bersalah?
Perlahan, Jaya kembali teringat perbincangannya barusan dengan Lina. Kata Profesor Wijaya, Ibu pergi meninggalkan keluarga dalam keadaan hamil. Mirip seperti Lina yang memutuskan bercerai. Apakah Ibu mengalami trauma bonding juga?
Jaya melirik gelisah penunjuk waktu di ponsel. Menyadari hari semakin sore Jaya pun segera menyelesaikan tugasnya. Usai melengkapi dan merapikan catatan para klien hari ini, Jaya keluar menuju ruang istirahat.
Dokter Spesialis Genetika Medis, Bayu, yang kebetulan melintas segera masuk menyapa. "Hai, Jay. Sudah dengar program baru usulan pihak manajemen?" tanya Bayu dengan mata berbinar-binar.
Jaya mengangguk, tertarik dengan pembicaraan tersebut. "Maksudmu, Gen Kasih? Sudah dengar, sih. Cuma, aku belum tahu detailnya."
Bayu menjelaskan, "Ini adalah program di mana kita akan kerja sama menangani pasien dengan masalah genetik yang kompleks. Aku akan kasih pandangan medis, dan kamu, akan membantu pasien dan keluarga mengatasi aspek emosional dan psikologis dari diagnosis dan perawatan."
Jaya tersenyum, mengangguk mengerti. "Ide yang luar biasa ya, Bayu. Aku percaya kalau pendekatan komprehensif macam ini akan memberikan dampak positif yang besar pada pasien dan keluarga."
"Iya, lah. Apa lagi, kamu kan, berbakat banget kalau urusan mendengarkan, Jay," puji Bayu, "Enggak salah aku merekomendasikan kamu agar direkrut di sini."
Ya, aku belajar itu dari Ibu. Beliau sangat pandai mendengarkan, tanpa bicara, gumam Jaya dalam hati diakhiri dengan keluhan.
“Jadi, terbukti deh, kalau keputusanmu masuk Psikologi dulu bukan cuma buat berobat jalan, kan?” canda Bayu yang disambut dengan tinju ringan Jaya di lengan kirinya.
“Terima kasih kek, jadi orang. Gara-gara aku kan, kamu terinspirasi ambil spesialisasi yang kamu geluti sekarang?” balas Jaya.
“Oh! Tentu, kawanku Jaya! Kisah hidupmu bikin aku gemas pengin menolong. Sampai kepikiran mau tes DNA semua pria, biar tahu dia ayahmu atau bukan,” kelakar Bayu diiringi gelak yang renyah.
Melihat wajah Jaya yang berangsur-angsur mendung, Bayu menghentikan tawa. “Duh, maaf, Jay. Aku enggak sopan banget ya, bercanda soal begini,” sesal Bayu.
“Enggak apa-apa, Bay. Memang aku aja yang kelamaan bangkit. Semua teori dan metode penerimaan diri jadi mentah sendiri di hadapanku,” sahut Jaya menepuk-nepuk bahu Bayu.
Bayu menghela napas panjang. “Yah, seenggaknya, aku sangat mengapresiasi kehadiranmu di sini, Jay. Kita jadi bisa kerja bareng lagi sebagai Duo Bay …,” sahut Bayu dengan kalimat menggantung disertai tatapan penuh antusiasme menunggu, kedua lengannya rapat lurus ke depan.
“Jay!” timpal Jaya menirukan gaya Bayu dan melompat kecil menempel ke sebelah sahabatnya itu. Keduanya kemudian berayun ke kanan dan kiri dengan mengeluarkan suara deru mesin hingga tertawa bersama.
“Sumpah kita norak banget, Bay,” komentar Jaya sambil celingukan melirik ke segala arah, “Kaya zaman SMA aja.”
Di tengah sisa tawa mereka, pintu ruang istirahat terbuka perlahan. Pak Atma, sang petugas lab, masuk dengan langkah tenang. Sembari tersenyum hangat, beliau berkata kepada Bayu, "Dokter Bayu, hasil lab pasien terbaru sudah selesai. Saya punya semua hasilnya di sini."
Bayu mengangguk dan berterima kasih pada Pak Atma saat menerima hasil lab tersebut. Jaya memperhatikan interaksi mereka dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang khusus dalam cara Pak Atma berbicara dan bersikap, seolah-olah ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang hal-hal di sekitarnya.
Pak Atma yang merasa diperhatikan pun menoleh, menatap Jaya penuh kasih dan menyapa "Mas Jaya, apa kabar?"
Jaya merasa agak terkejut oleh perhatian tulus Pak Atma. "Oh, baik, Pak Atma. Terima kasih atas pertanyaannya."
Pak Atma tersenyum lagi, dan menimpali, “Harus ada orang-orang yang menanyakan itu ke para psikolog dan psikiater, Mas. Sebab, enggak gampang lo, menampung curhatan banyak orang itu.”
“Ah, ya. Benar, Pak Atma,” jawab Jaya sambil mengangguk hormat. Perasaan Jaya begitu damai melihat tatapan dan senyum Pak Atma yang seolah merengkuhnya masuk ke dalam hati, hangat.
Saat Pak Atma pergi, Bayu melirik Jaya dengan tawa ringan. "Pak Atma memang perhatian banget ya, orangnya."
Jaya merasa sedikit malu, tetapi juga mengangguk sambil tersenyum. "Eh, iya. Beliau pasti begitu ke semua orang di rumah sakit ini."
Bayu ikut mengangguk. "Betul. Apa lagi, kamu orang baru di sini. Jadi betah, kan?"
Jaya pun semringah. Dia merasa konyol karena tiba-tiba bertingkah cengeng seperti anak-anak. Kerinduan pada sosok ayah tanpa sadar menyergapnya. Jaya jadi teringat dengan agenda selanjutnya, menjenguk ibu di tempat dia dibesarkan, panti rehabilitasi ODGJ.
***
Saat menyusuri koridor dengan kamar-kamar di sisi kanan dan kiri, Jaya tak bisa menolak untuk menghentikan langkah di depan sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. Tampak pria separuh baya memunggungi menghadap ke jendela dan sedang asyik menorehkan cat di kanvas.
"Halo, Bapak Ali. Lukisan tamannya sudah hampir selesai, nih," sapa Jaya di ambang pintu.
Pria itu tidak menoleh. Dia hanya mengangkat tangan kanan yang memegang kuas dan memberi isyarat Jaya untuk masuk. Jaya pun duduk di sampingnya sambil menepuk lembut bahu Pak Ali.
Pak Ali menoleh dan tersenyum seraya membalas, "Maaf ya, Jaya. Lagi mager ini. Saking penginnya segera kelar."
“Wow! Semangat banget ya, Pak. Aku harus menabung deh, biar bisa membeli lukisan maestro ini. Indah sekali,” komentar Jaya tulus sambil memandangi lukisan Pak Ali.
“Andai bisa kasih kamu gratis,” ujar Pak Ali tak mampu meredam binar-binar di matanya. “Sayangnya, aku mau kasih ini ke istri. Kata Dokter Hilman, kalau seminggu ini kondisiku stabil, aku bisa pulang kampung. Sudah enggak bingung soal biaya bolak-balik berobat ke kota.”
“Wah! Kabar baik, Pak Ali. Semoga bisa segera berkumpul lagi dengan keluarga,” sambut Jaya yang ikut bergembira, tetapi terasa kelu di lidah saat sampai di ujung kalimat.
“Amin! Terima kasih, Jaya. Seperti kamu yang bisa setiap hari ketemu ibu, ya. Saya doakan, duitmu segera cukup buat beli rumah sendiri. Segera menikah, biar ada yang temani Ibu,” sahut Pak Ali yang dibalas dengan senyum gamang Jaya.
“Oh, iya, tadi siang Bu Puspa enggak sengaja menumpahkan makanan ke bajuku. Aku padahal sudah bilang berkali-kali enggak apa-apa. Tapi, Bu Puspa teruuus … aja menangis. Tolong tenangkan dia, ya,” lanjut Pak Ali.
“Ah, ya. Baik, Pak,” jawab Jaya, “Saya permisi dulu Pak Ali. Sukses ya, lukisannya!”
Jaya berjalan dengan degup jantung yang berdetak cepat menuju ruang yang rutin dikunjunginya jika tak ada agenda tambahan. Apa lagi kali ini? Mungkinkah setelah puluhan tahun, Ibu kambuh lagi