Manik, Abigail, Michellin, Galuh, dan Septiansa. Lima murid dari kelas A yang memberanaikan diri mereka untuk memecahkan misteri yang dirahasikan akademi. Ketika mereka lapar, misteri tersebut tidaklah menjadi penting, ada yang lebih penting yakni perkara perut, sehingga mereka memilih untuk membeli kudapan malam di toko kelontong dekat akademi, malam yang sama setelah mereka menemukan beberapa catatan milik laboratorium yang berserakan tak terururs. Mereka berlima duduk melingkar di meja bundar milik toko kelontong tersebut untuk menikmati kudapan mereka.
Setidaknya, bagi remaja seusia mereka, kudapan malam setelah upaya memecahkan misteri adalah imbalan yang setimpal. Cukup menyenangkan, pikir mereka.
Galuh menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi, memulai pembicaraan, "siapa yang menyangka kalau laboratorium tua itu menyimpan begitu banyak data yang belum pernah kita lihat? Ini lebih dari sekadar misteri, ini seperti menemukan harta karun!"
Nampaknya tidak ada yang sepeduli Galuh tentang isi laboratorium, namun, lelaki dengan rambut klimis itu tetap antusias.
Michellin tersenyum sambil menggigit roti, "harta karun? Kalau begitu, aku harap ada resep rahasia di sana yang bisa membuatku kaya. Bayangkan, roti legendaris yang bisa bikin orang-orang berbondong-bondong ke toko kuenya ayahku!" mereka terkelakar, terkecuali Galuh, yang merasa itu konyol.
Septiansa yang tertawa tidak percaya, adalah orang yang paling menganggap itu sangat konyol dan kekanak-kanakan, "Michellin, kau dan roti memang tak terpisahkan. Tapi serius, Galuh, apa yang kau pikirkan tentang semua ini?"
"Aku ingin menjadikan diriku sendiri sebagai sukarelawan pertama di tim,” jawabnya sederhana langsung menuju inti pembahasan, “mungkin ini adalah jalan untuk bisa melanjutkan naskah Navaphare”
Semuanya menjadi diam, Septiansa membalas kembali, "menjadi sukarelawan untuk memecahkan misteri ini bukan hal kecil, ketua kelas yang perfeksionis!"
Merasa itu adalah tantangan, Galuh kemudian berpikir sejenak, tersenyum menantang, "aku selalu percaya bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari di luar kelas. Akademi ini penuh dengan sejarah dan misteri yang tak terungkap", akhirnya, semua percaya bahwa Galuh tengah berbicara serius, suara kipas bakaran dari toko kelontong nampak terdengar semakin keras karena keheningan mereka sesaat itu, "aku ingin kita semua terlibat dan menemukan kebenaran, bukan hanya untuk memuaskan rasa penasaran, tapi juga untuk mengerti lebih dalam tentang tempat kita belajar." Pungkasnya, menandakan pendirian yang teguh.
Abigail menatap Galuh dengan kagum, "kau selalu punya cara untuk membuat sesuatu terdengar begitu penting. Tapi aku setuju dengan Septiansa, ini bukan sekadar permainan. Kita sudah menemukan banyak petunjuk, dan aku rasa kita semakin dekat dengan jawabannya."
Michellin menatap Abigail dengan heran, keras kepala, "bahkan aku bisa setuju dengan Michellin melebihi dirimu, Galuh." Mendengar itu, Michellin jengkel, tapi Abigail tidak peduli.
Manik tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang dingin diantara mereka saat ini, "dan kita juga semakin dekat sebagai teman, lebih dekat dari sebelumnya. Siapa sangka, petualangan ini bukan hanya tentang menemukan misteri akademi, tapi juga tentang menemukan kebersamaan kita. Hal-hal sederhana seperti ini."
Abigail menepuk pundak Manik, "benar sekali, Manik. Kita ini tim yang hebat. Bahkan jika kita harus menjelajah lebih banyak laboratorium atau tempat lainnya, aku yakin kita bisa melewatinya bersama. Bahkan apabila untuk membuat resep rahasia untuk Michellin agar bisa membuat kue yang enak lebih banyak."
"Hei!", protes Michellin, "membuat empat loyang setiap hari dan menjualnya itu cukup sulit, tahu!".
Septiansa mengangkat gelas minumannya, mencoba memecah kebuntuan, "Ayolah guys, bersulang untuk kita, tim petualang yang tak kenal takut dan selalu siap menghadapi tantangan! Semoga kita selalu kompak dan menemukan jawaban dari semua misteri ini."
Semua orang menyahut itu, mengangkat gelas masing-masing, "untuk kita!" seketika setelah itu kudapan yang mereka pesan datang diantarkan ke meja.
Galuh belum menyerah dengan idenya, saat temannya mulai mengambil kudapan masing-masing, ia masih mencoba meyakinkan kawanannya itu atas idenya yang dianggap nekat dan mengorbankan diri, "dan siapa tahu, mungkin kita akan menemukan lebih banyak kejutan di sepanjang jalan", melihat ada yang hendak protes kembali, Galuh langsung melanjutkan argumentasinya, "yang penting, kita melakukannya bersama! Itulah yang membuat perjalanan ini begitu berharga, juga ingatlah tentang Navaphare. Percayakan kepada ketua kelas kalian yang perhitungannya tepat ini."
Abigail mulai menghangat dan memberi sedikit kepercayaan kepada Galuh, "baiklah, aku bisa setuju. Mari kita lanjutkan pencarian ini dengan perhitunganmu. Aku yakin kita bisa menemukan jawabannya berkat bantuanmu."
Begitu Abigail menyetujui permintaan Galuh, seluruh kawanan itu mengangguk setuju dan mulai memakan kudapan mereka masing-masing.
Lampu toko kelontong bersinar lembut di malam hari itu, membingkai momen kebersamaan dan tekad tim. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki satu sama lain. Misteri akademi kini menjadi fokus utama mereka, dan perjalanan untuk mengungkap kebenaran baru saja dimulai. Galuh mulai menjelaskan rencananya.
Malam semakin larut, namun, toko kelontong kecil ini masih menjadi tempat menghabiskan waktu bagi kelima siswa kelas A itu. Galuh, dengan semangat yang tak pernah surut untuk menguatan niatnya, mulai menjelaskan rencananya.
“Dengar, aku punya ide yang mungkin terdengar gila, tapi aku yakin bisa berhasil", kalimatnya begitu meyakinkan, tak ada keraguan dari kelompok mereka kali ini, "kita akan mengadakan turnamen catur antar perwakilan kelas,” katanya, sambil menggambar diagram kasar di atas kertas roti yang tergeletak di meja.
Michellin tidak bisa berpikir sejauh itu, mengajukan pertanyaan, “catur? Kenapa harus catur?” tanya Michellin dengan alis terangkat, benar-benar tidak bisa menduga rencana Galuh.
“Catur adalah permainan strategi. Ini cara yang sempurna untuk menarik perhatian semua orang tanpa menimbulkan kecurigaan. Selain itu, aku cukup ahli dalam permainan ini,” jawabnya percaya diri. Tak ada sanggahan lebih jauh dari Michellin.
Septiansa, menaruh rasa heran, mempersilakan presentasi itu bisa lebih jauh, "oke, lanjutkan,” sambil memakan remah roti yang menempel di tangannya.
Galuh berkelakar puas, “kita akan mengadakan turnamen di laboratorium akademi. Dengan begitu, kita bisa menarik lebih banyak orang ke sana. Pada hari pertandingan, aku akan menghiasi seluruh laboratorium dengan propaganda naskah Navaphare ini kepada khalayak umum,” jelas Galuh dengan mata berbinar penuh antusias.
Menurut mereka, kesimpulannya adalah bagaimana mempromosikan ajang tersebut dan mengomunikasikannya, sehingga Abigail mencoba memastikan, “itu ide yang bagus, tapi bagaimana kita bisa memastikan semua orang akan melihatnya?” selalu memikirkan setiap detail.
“Setiap peserta yang kalah dalam pertandingan harus menandatangani petisi untuk mengajukan pertandingan catur antara wakil guru dan wakil murid. Itu akan membuat lebih banyak orang tertarik dan terlibat. Semakin ramai, semakin baik,” lanjutnya, suara Galuh penuh dengan keyakinan.
Manik mencoba menarik kesimpulan apa yang ia bisa lakukan, “jadi, kau ingin menciptakan keramaian di laboratorium agar aku bisa mengamati seluruh aktivitas warga akademi tanpa menarik perhatian?” ucapnya mulai memahami rencana temannya.
“Tepat sekali. Aku yakin bisa mengalahkan semua perwakilan kelas, bahkan mengalahkan perwakilan guru jika perlu. Sementara itu, kau akan memiliki cukup ruang dan waktu untuk mengamati semua yang terjadi di hari pertandingan,” jawab Galuh dengan penuh keyakinan.
Septiansa terlihat sedikit gusar kali ini, “Galuh, kau benar-benar punya bakat sebagai ahli strategi. Tapi ini juga berarti kita harus bekerja keras untuk memastikan semua berjalan lancar”.