Dahlan berlari-lari di lorong rumah sakit sebab mendapat telepon dari salah seorang tetangga mengabarkan istrinya terpeleset dan mengalami pecah ketuban. Saat dibawa ke rumah sakit istrinya nyaris pingsan.
“Bertahanlah, Lusia. Bertahanlah, sayang …,” gumam Dahlan pada diri sendiri selama berlari-lari. Wajah istrinya yang ayu dan bermata cokelat itu terbayang-bayang. Kandungan yang belum genap sembilan bulan itu sedang diperjuangkan. Penampilan Dahlan sudah acak-acakan. Kemeja biru tuanya sudah tidak rapi dan basah sebab keringat. Dasi yang melingkari lehernya sudah dia lepas saat baru saja keluar kantor dan kini dia genggam kuat.
Sesampainya di depan ruang operasi, Dahlan melihat ibunya dan beberapa tetangga yang tampak gusar.
“Dia mengalami perdarahan, Nak. Ibu cemas.” Ibunya mengguncang-guncang bahu Dahlan sambil meratapi nasib menantunya yang sedang ditangani di dalam. Dahlan belum berkata apa-apa saat seorang dokter keluar ruangan dengan raut tegang.
“Apakah suami pasien sudah datang?” tanya dokter itu.
“S-saya. Saya, Pak.” jawab Dahlan terbata-bata sambil melepas pagutan ibunya.
Lalu dokter membawanya ke sudut lorong, berbicara dengan pelan namun tegas. Ibunya dapat menangkap raut khawatir dan panik secara bersamaan dari wajah anaknya. Lalu sedikit banyaknya ibu itu paham apa yang tidak terdengar olehnya. Dia menangkupkan kedua telapak tangan pada wajah dan mulai menangis tersedu. Seorang tetangga menenangkannya.
“Pilih satu segera, Pak. Istri atau bayi?” desak dokter itu lagi sebab Dahlan hanya terdiam kaku setelah mendengar perkataan dokter itu.
Dahlan bangun karena terkejut dering alarm yang nyaring. Dia berkeringat dan merasa sesak napas.
Ah! Mimpi menakutkan! rutuknya lagi setelah menyadari dia di kamarnya. Sendirian. Belum menikah. Bahkan hari ini adalah hari pertamanya bekerja pada perusahaan telekomunikasi. Ibunya memberikan satu kotak bekal untuk makan siang sebelum Dahlan berangkat.
Pekerjaannya pada hari pertama sudah berjalan setengah hari. Saat istirahat, dia memilih duduk sendiri di meja paling sudut. Baru saja menyendokkan nasi dengan lauk sarden ke mulutnya, seorang wanita datang menghampiri, “Hai. Aku Lusia. Boleh duduk di sini?” tanya wanita ayu bermata cokelat itu sambil mengulurkan tangan. Dahlan terperangah sebab teringat mimpinya. Dalam hati dia berteriak dengan kuat mengatakan tidak, tetapi tangannya justru bergerak menyambut tangan wanita itu untuk bersalaman.
“Ya. Silahkan. Aku Dahlan,” ujarnya sambil mengutuk diri sendiri karena keputusan bodoh dirinya yang membuat wanita ini akan mati.
(Tamat)
Bjirrr plot twist!
Comment on chapter ES DOGER YANG BANYAK SUSUNYA