Ini kisah biasa. Kebanyakan dari kita mungkin sudah tahu akhir cerita ini bagaimana karena sering terjadi di sekitar atau bahkan sedang berlangsung pada diri. Satu siang yang cerah pada tahun 1989, pasangan suami istri, Buyung dan Upik duduk di bawah pohon menikmati nasi yang dibungkus Upik saat langit subuh masih pekat. Usia mereka sudah lewat enam puluh tahun. Meski begitu, tubuh mereka masih kuat untuk dikatakan sebagai lansia namun tergolong lemah jika dikatakan dewasa tua. Sapi jantan, yang sedang mereka tunggui di padang rumput juga tengah menyantap makan siang. Anak mereka tiga, laki-laki semua. Dua sudah pergi merantau ke kota, pulang hanya sekali setahun, itu juga sehari. Sisa cuti akan dihabiskan di rumah orang tua si istri. Anak bungsu mereka sedang kuliah semester akhir, setidaknya sudah dua tahun mereka katakan begitu pada orang di kampung. Semester akhir.
Sewaktu anak mereka kecil-kecil, pasangan ini terkenal cukup mapan. Buyung seorang pedagang alat-alat dapur telah memiliki enam petak sawah setelah berjualan selama lima belas tahun. Upik mendapatkan sepasang sapi dari warisan orang tuanya, kemudian beranak pinak. Hasil sawah dan sapi itu membuat mereka tak pusing untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari hingga membiayai kuliah anak mereka di kota. Namun sayang mereka dua kali urung berangkat haji sebab uang kuliah dua anak tidak bisa ditebak. Dulu, belum sebulan keduanya sering meminta dikirimkan uang lagi. Jika ditanya untuk apa, kedua anak itu menjawab dengan istilah-istilah yang Buyung dan Upik tidak paham, lantas karena terdengar begitu mendesak mereka mengirimkan saja, pagi-pagi besoknya mereka sudah mengantre pada satu-satunya kantor pos di desa. Begitu terus hingga keduanya rampung kuliah. Enam petak sawah setiap tahun dijual, sapi mereka, selain habis dijual, juga beberapa tumbuh tidak sehat dan banyak yang mati. Mereka meyakini, tiap anak pasti ada rezeki dan mungkin sawah dan sapi itulah rezeki mereka.
Dua anak mereka lulus tepat waktu dan tidak sampai setahun bekerja, masing-masing mereka pulang ke kampung, meminta dinikahkan dengan wanita di kota. Kembali lagi tabungan haji itu sirna sebab harus membiayai pernikahan anaknya. Mereka tidak menggerutu. Mereka tahu anak adalah bagian dari hidup mereka dan patut berbahagia. Kini si bungsu sudah semester akhir–katanya. Berbeda dengan kedua kakaknya, kampus si bungsu minim biaya tak terduga sehingga mereka bisa menyisihkan tabungan lagi untuk pergi haji. Sambil makan mereka membahas tetangga mereka yang baru saja kembali dari tanah suci, tidak seperti sepuluh tahun lalu, kini berangkat haji sudah bisa naik pesawat terbang. Mereka tak sabar terlebih mendengar tetangga mereka yang kini dipanggil Pak Haji, telah mencium Hajar Aswad. Buyung dan Upik ingin juga mencium batu dari surga itu. Mereka tersenyum bahagia membayangkannya. Saat mereka sudah selesai makan, dan bersiap membawa satu-satunya sapi mereka pulang, Pak Haji yang mereka ceritakan datang sambil berlari-lari membawa telepon genggam yang lebih mirip bata hitam.
“Ada telepon untuk kalian …,” katanya sambil terengah-engah mengatur napas.
Buyung segera mengambil telepon itu, lalu mendengarkan perkataan seseorang di seberang sana. Tanpa bicara satu kata, dia mengembalikan telepon bata itu ke Pak Haji yang masih belum tuntas merapikan napas.
Buyung menatap Upik nanar, matanya berkaca-kaca namun dia berusaha tersenyum saja, “Kita tidak bisa pergi haji lagi, Upik.”
Upik terdiam, lalu menunduk sebentar, “Sepertinya sampai mati.” Untuk pertama kali selama tiga puluh lima tahun membesarkan anak, Upik menggerutu.
(Tamat)
Bjirrr plot twist!
Comment on chapter ES DOGER YANG BANYAK SUSUNYA