Aku sambil mengatur bowl ke mixer hampir terkikik mendengar pekikan Viona di telepon, tapi bisa terdengar jelas sampai ke telingaku. Dia pasti benar-benar berteriak dari seberang.
“Hei. Kalian ngetawain gue?” pekik Viona lagi. Ternyata Kevin mengarahkan layar ponsel ke aku, sehingga kembaranku bisa melihat jelas aku benar-benar berjuang menahan kekehan.
“Udah-udah. Gue mau lanjut ngadon! Kalo ngobrol terus nanti adonan gue bantet.”
“Ngeden di toilet, jangan sambil bikin kue!”
“Ngadon, Sib, Ngadon!”
“Ah, sama aja. Gue jadi makin ragu lo ini kembaran siapa sih, Sib? Masa lebih kompak sama Kevin ketimbang gue?”
“Astaga. Keraguan macam apa itu, Sib?” hardikku. Kali ini tawaku tidak tertahankan. Viona terlihat kesal, tapi marahnya malah menggemaskan. Kalau tidak ngamuk ketika digoda balik, bukan Viona namanya. Entah siapa.
“Sumpah. Kevin – elo, elo – Kevin puas aja gitu kalo ngerjain gue. Kalo bukan karena nama dan wajah kita yang identik, gue sumpah nggak percaya kalo kita kembar. Jangan-jangan kembaran lo itu memang Kevin, bukan gue, Sib!” Kali ini Kevin terbahak.
“Gue cewek, dong?” jawab Kevin.
“Ya nggaklah. Kembar cowok – cewek, maksud gue!”
“Ngakak!” pekikku. “Udah udah, makin ngelantur. Lo dicari Alden, tuh.” Aku mendekati Kevin dan merebut ponsel, lalu mematikannya. Kalau dibiarkan berlanjut, obrolan kami makin tidak jelas dan bisa bersambung sampai petang.
Setelah semua orderan selesai aku bergegas merapikan ruangan, dan Kevin terlihat sedang merapikan meja ruang tengah yang sedari pagi disulap menjadi ruang kerjanya.
“Vi, kalo gue sama temen-temen mau touring, lo mau ikutan, nggak?” tanya Kevin tiba-tiba.
“Hah?” Seketika aku menoleh.
“Iya, touring ke Salatiga aja, sih.”
Aku membayangkan perjalanan panjang selama kurang lebih dua tiga jam dan artinya aku harus beralih menghidu aroma asap kendaraan. Belum lagi ketika melewati pasar bawen dan tempat-tempat pemberhentian angkutan umum yang memakan hampir setengah badan jalan. “Sekaligus camping dan masak-masak?” tanyaku kembali dengan harapan Kevin mengiakan. Namun, harapanku pupus ketika Kevin hanya menggeleng karena beberapa anggota masih harus masuk kerja.
Aku menyandarkan punggung pada meja baking dan melirik Kevin yang masih terlihat menatap ke arahku. Sejujurnya aku paling bosan duduk di motor tanpa tujuan jelas dan tanpa ada peralatan baking.
“Evan ikut?” tanyaku teringat salah satu anggota klub motor Kevin yang cukup menarik perhatianku sambil menaikturunkan alis. Dari kerutan di dahi Kevin, aku menduga ia kesal. Sorot matanya yang dari tadi berbinar penuh harap, seketika berubah menjadi layu. Aku berjalan mendekati Kevin dan duduk di sebelahnya.
“Kenapa malah nanyain Evan, sih?” keluhnya.
“Ya, kan, lo tau, Vin, kalo keberadaan Evan itu bagai kuning telor dalam adonan cake gue.”
Kevin mengedik. “Kuning telor? Amis, dong.”
“Woi!” sergahku. “Keberadaan Evan itu bikin hidup gue mengembang penuh kebahagiaan.” Aku menjatuhkan kepala ke sandaran sofa. Dengan cepat tangan Kevin mendarat mulus di dahiku.
“Sialan! Sakit, woi!” pekikku spontan.
“Lagian, manusia berengsek macem Evan lo bilang kuning telor. Telor busuk, iya!”
“Ih, apaan, sih. Sirik, lo,” celetukku.
“Gue nggak rela kalo lo ikutan brengsek kayak dia, Vi,” jelasnya kemudian.
“Brengsek apaan, sih, Vin, gue udah besar, gue bisa jaga diri. Lagian, salah ya kalo gue pengin touring esok tuh ada tujuan pasti, gitu,” rajukku ketika melihat tanda-tanda Kevin bakal batal mengajakku atau malah dia batal ikut touring.
“Tujuan lo Evan?” tandasnya sambil mematap tajam kedua mataku. Ada sorot aneh yang tidak bisa terbaca meski aku berusaha mendalami tatapannya.
“B-bukan gitu juga.” Aku menyilakan kaki di sofa dan bersedekap.
Pikiranku berkelana mencari alasan yang lebih bisa diterima Kevin, sampai aroma cake membuatku mengutarakan usulan, “Gue bawain chiffon sandwich, deh, buat camilan lo sama temen-temen. Nanti lo yang boncengin gue, bukan Evan.” Merasa ide yang kusampaikan sangat cemerlang, aku menatap Kevin dengan yakin sambil menaikturunkan alis untuk menggoda Kevin yang selama ini memang tidak pernah bisa menolak chiffon sandwich tiramisu.
Perkiraanku jelas tepat. Kevin hanya membutuhkan sedikit jeda untuk berpikir sebelum mengangguk dan mengulurkan tangan sebagai tanda setuju. Hanya saja, raut wajah Kevin terlihat aneh, entahlah.