Read More >>"> TANGAN TANGAN ASTRAL (KILAU PENDAR CAHAYA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - TANGAN TANGAN ASTRAL
MENU
About Us  

My Diary ….

Hari ini kampungku gempar. Tadi pagi beberapa warga yang hendak ke sawah melihat dengan mata kepala sendiri kalau petilasan keramat Sitinggil dalam keadaan yang jauh berbeda. Sitinggil yang biasanya selalu tampak angker dan mengerikan itu, kini seperti telah kehilangan yoninya. Mungkin daya magisnya sirna. Bahkan pohon beringin yang biasanya nampak angker, sekarang terlihat biasa-biasa saja. Tak jauh berbeda dengan beringin lainnya.

Tentu saja my Diary, semula aku juga tak percaya dengan kabar yang dengan cepat berhembus ke seluruh penjuru kampung. Sebab dua hari yang lalu, saat aku dan Anggit diserang kobaran api di sana, keadaan Sitinggil masih menyeramkan. Bahkan jauh menyeramkan dari kondisi sebelumnya.

Karena itu my Diary, saat orang-orang berbondong-bondong ke sana, aku pun tak mau ketinggalan. Ikut berdesakan menyaksikan Sitinggil dari dekat. Astaga! Aku hampir-hampir dibuat tak percaya dengan apa yang kulihat. Suasana mencekam yang biasanya sudah terasa dari jarak 25 meter, sekarang hilang. Sedikit pun bulu kudukku tak berdiri. Bahkan meremang saja tidak. Sitinggil terlihat seperti area pemakaman umum yang biasa didatangi warga untuk ziarah.

Setengah tak percaya, beberapa kali kuusap kedua mataku untuk menajamkan mata batin agar lebih terbuka. Tapi sia-sia. Tidak ada getaran gaib yang bisa kulihat dan kurasakan. Karuan saja aku sempat kebingungan. Ini daya gaibku yang hilang atau memang Sitinggil yang sudah ditinggalkan para danyang. Entahlah! Yang jelas aku justru senang dengan kejadian ini. Andai kemampuanku melihat dan berkomunikasi dengan bangsa lelembut benar-benar sirna, sedikit pun aku tidak akan menyesal. Hal itu justru baik kurasa. Siapa tahu dengan hilangnya kemampuan gaibku itu, Anggit jadi tak pernah lagi meragukan perasaan cintaku padanya.

Untuk beberapa saat lamanya, aku pandangi Sitinggil dengan tatapan bercahaya. Tanpa kusadari terbentuk sebuah lengkung senyum di bibirku. Kedua bola mataku berbinar cerah, seperti matahari yang sedang menyapa datangnya pagi.

Tak lupa, segera kukabarkan kejadian itu pada Anggit lewat pesan singkat di ponsel jadulku. Saking penasarannya, Anggit pun langsung datang dan menyaksikan langsung peristiwa itu. Bibir tipisnya tak henti nerocos mempertanyakan sebab musabab hilangnya kekuatan mistis dari Sitinggil. Tentu saja aku bingung dan tak bisa menjawab. Hal itu justru membuatnya jengah dan menuduhku sengaja menutup-nutupi masalah itu. Akibatnya ia kembali marah dan pergi meninggalkan aku tanpa pamit.

Sepertinya peristiwa terbakarnya Sitinggil yang nyaris mencelakai aku dan dirinya, sudah tak membekas lagi dalam ingatan Anggit. Aku yakin hal ini pasti perbuatan Nini Diwut. Nenek peyot itu telah menghapus semua ingatan Anggit tentang Sitinggil. Nah yang menjadi pertanyaanku sekarang, ke mana perginya Nini Diwut bersama seluruh dedemit yang selama ini menghuni Sitinggil?

Akh, bodo amat! Kenapa pula aku harus memikirkan kepergian setan-setan itu. Lebih baik aku mencari cara bagaimana agar Anggit kembali percaya padaku. Tanpa Anggit, kilau pendar cahaya dalam kehidupanku musnahlah sudah.

Hatiku kembali melemah, my Diary!

 

                                                                                    ***

 

My Diary … sungguh aku tak menyangka jika raibnya kekuatan gaib di petilasan keramat Sitinggil sekaligus menjadi akhir dari kilau pendar cahaya yang selama ini bersinar di hatiku. Suasana suwung kembali menyergapku. Hari-hari sepi harus kueja kembali tanpa Anggit di sisiku. Betapa enggak! Hanya berselang dua hari dari peristiwa raibnya kekuatan gaib Sitinggil, Anggit juga pergi dari kota ini. Ia kembali pindah sekolah ke suatu kota mengikuti ayahnya yang pindah tugas.

Tak ayal, hatiku pun hampa kembali. Kehampaan yang sekarang ini terasa jauh lebih menyiksa dari sebelumnya. Terlebih dengan adanya mendung dan hujan yang kerap menggelapkan bumi, nestapa yang bersarang di hati jadi semakin pilu.

Dulu sewaktu aku masih memiliki kelebihan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib, secara bergantian mereka datang menemuiku saat aku dilanda kesepian yang memagut. Dengan berbagai tingkah polahnya yang usil dan jahil, kehadiran mereka selalu bisa membuatku tertawa lebar. Namun sekarang tanpa kehadiran mereka, jangankan untuk tertawa, sekadar tersenyum saja susah.

Raibnya kilau pendar cahaya dari hati, membuatku merasa telah menjadi manusia paling bodoh di muka bumi. Terlambat aku menyadari kalau arti keberadaan mereka baru begitu terasa saat semuanya telah tiada.

My Diary … tahukan kau siapa sosok orang yang telah berhasil melenyapkan kekuatan gaib di Sitinggil? Apakah para sesepuh dukuh yang telah melakukan semua ini? Aku rasa tidak! Toh secara tidak langsung mereka bergantung hidup dari keberadaan petilasan keramat itu. Mereka mendapat predikat dukun sakti karena mempergunakan jasa para penghuni Sitinggil dalam praktiknya. Kembang telon dan segala uborampe yang mereka minta pada pengguna jasanya, tak lebih hanya sekadar pemantas tampilan. Aktor utamanya tetap para setan gentayangan.

Sekarang setan-setan itu telah minggat dari petilasan keramat. Kilau pendar cahaya gaib yang menyelimuti Sitinggil telah pula redup. Seredup perasaanku akibat ditinggal pergi Anggit pas sayang-sayange. Sungguh menyesal aku telah membakar neraka. Andai saja aku tahu kalau akibatnya akan sesakit ini, mungkin lebih baik aku memupus harapanku pada Anggit sedari dulu. Sayang rasa cinta telah membutakan aku.

My Diary … maaf ya, ini untuk terakhir kalinya aku curhat padamu. Nanti setelah ini aku akan membakarmu sampai habis tanpa sisa. Walau berat hatiku kehilangan dirimu, tapi aku tidak mau kisah yang telah kutulis dalam lembar-lembar tubuhmu suatu saat akan bocor ke tangan orang lain. Biarlah hanya aku, kamu, dan Tuhan yang tahu atas semua yang telah terjadi dalam kehidupan ini.

Yang jelas dari semua kejadian yang telah berlalu, ada banyak hal yang bisa aku kenang sebagai sebuah pembelajaran. Satu hal yang paling membekas dalam hatiku, satu kalimat yang aku tulis tepat di halaman tengahmu.

“Jika bagian terindah dari tidur adalah mimpi maka bagian terindah dari hidup adalah mati. Dalam hidup siapa yang menabur benih akan menuai padi, dan siapa yang menabur angin akan menuai badai.”

Untuk itu my Diary, meski sebentar lagi kau akan menjadi debu tapi percayalah bahwa debu yang berasal dari sisa pembakaranmu merupakan gurat perjalanan paling berarti bagi diriku. Tidak akan pernah terlupa dari ingatanku, saat-saat kebersamaan kita dalam mengarungi suka dan duka. Kau adalah pendengar terbaik dari semua keluh kesahku. Kau teman curhat paling setia yang tak pernah membantah. Kau adalah wakil dari kelopak mataku saat tak mampu lagi membangun sebuah tanggul yang kokoh untuk membandung air mata yang nyaris roboh.

My Diary … aku akhiri sekian dulu ya kisahku yang bisa kubagi denganmu. Korek api yang ada di atas meja belajarku sepertinya sudah tak sabar untuk melumatmu. Kurelakan kau pergi, seperti aku ingin merelakan semua pendar cahaya yang pernah berkilau di ruang jiwa.

Selamat tinggal my Diary, terbakarlah kau dengan tenang. Biarkan kilau pendar cahaya padam.

Jess!

Wuusss! Neraka kenangan terbakar bersama segala mimpi yang pernah mengakar.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags