My Diary ….
Jujur aku bingung mesti sedih ataukah bahagia dengan perkembangan hubunganku bersama Anggit. Semakin dekat dengannya membuatku semakin menyadari bahwa dunia gaib yang selama ini mengitariku merupakan suatu hal yang harus aku tinggalkan. Tapi apa hal itu mungkin, my Diary? Dalam kehidupan di lingkungan keluarga dan tempat tinggalku, hal-hal yang berkaitan dengan mistis masih hidup subur. Bahkan kepercayaan tentang animisme dan dinamisme yang merupakan warisan dari nenek moyang seNusantara terkesan sengaja dilestarikan.
Mistis telah menjadi bagian dari budaya di Nusantara. Dipercaya atau tidak, faktanya masih sering terjadi adanya warga yang menderita suatu penyakit, tapi tak bisa didiagnosis secara medis oleh dokter. Dan hanya dengan jampi-jampi atau mantra yang dibaca dengan media kembang telon yang direndam air, penyakit itu bisa sirna.
Menyadari kemampuanku yang sanggup melihat dan berinteraksi dengan makhluk gaib, tak heran jika keluargaku dan orang-orang sekitar mengadang-gadang diriku menjadi salah satu orang pintar (dukun) di kampungku. Sebuah pekerjaan langka yang mau tak mau harus selalu akrab dengan dunia setan dan sejenisnya.
Namun kini, Anggit justru lebih sering menuntunku belajar ilmu agama. Aku diajarai mengaji (membaca Al Qur’an) serta menunaikan sholat lima waktu. Anehnya, tiap kali aku melakukan hal itu, serta merta tubuhku terasa panas terbakar. Aku sampai mengerang kesakitan layaknya seekor hewan yang sedang dipanggang.
Dalam kondisi tersiksa itu, di telingaku justru terdengar jeritan-jeritan menyayat dari makhluk-makhluk tak kasat mata yang selama ini aku kenal. Sosok pocong yang sering menemuiku, melintas sambil meraung hebat lantaran kain mori yang membungkus seluruh tubuhnya berkobar api. Sososk genderuwo yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram, juga demikian. Dia menjerit-jerit kesakitan karena sekujur tubuhnya dilahap si jago merah. Demikian pula sosok kuntilanak yang hobi nangkring di atas pohon itu. Sekujur tubuhnya juga membara hingga mengepulkan asap. Termasuk nenek keriput si Nini Diwut yang merupakan penjaga petilasan keramat Sitinggil, dia pun mengejang-ngejang tak tahan diterpa panas dari api yang memanggang.
Semula aku masih mencoba untuk bertahan dengan penampakan-penampakan mengerikan yang muncul setiap aku mengucap dan mengingat nama Tuhan. Tapi lantaran setiap siksaan yang menimpa para makhluk gaib itu rasa sakitnya juga ikut aku rasakan, lama-lama aku juga merasa tak tahan. Aku pura-pura tertib menjalankan perintah agama jika sedang berada di samping Anggit saja. Saat berada di rumahku sendiri, aku kembali alpa dan berkutat dengan mistis yang sepertinya telah mendarah daging dalam kehidupanku.
My Diary ….
Suatu hari, dengan alasan minta antar membeli buku pelajaran sekolah, Anggit mendatangiku ke rumah. Ia minta aku antarkan ke toko dengan sebuah sepeda ontel. Sepanjang perjalanan aku disuruhnya membaca takbir dalam setiap kayuhan sepeda dengan suara yang agak keras. Sebentar saja suaraku melemah, jemari lentiknya segera saja mencubit pinggangku. Sebel juga sih, aku. Tapi demi rasa sayangku padanya, tetap saja aku pura-pura melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Namun, akibatnya my Diary … ketika kami sampai di jalan sisi barat Sitinggil, serta merta aku melompat dari sepeda karena rangka sepeda itu tiba-tiba menjadi bara api. Saking kerasnya aku menarik tubuh Anggit saat melompat dari sadel sepeda, aku dan Anggit sampai jatuh terjerembab ke selokan di tepian sawah. Tak urung tubuh kami basah kuyub dan belepotan lumpur sawah.
Huh! Anggit mendengus kesal. Ia menatapku dengan pandangan marah. Ia menuduh aku sengaja ingin mencelakainya. Sebelah tangannya sudah pula terangkat hendak memukulku. Tapi sebelum tangan Anggit mendarat di tubuhku, dengan sigap aku tangkap dan kutarik sehingga tubuhnya merapat ke tubuhku. Lalu kusuruh dia untuk melihat ke arah petilasan keramat Sitinggil.
Hah! Anggit tercekat dengan mata terbelalak lebar. Tanpa sengaja ia semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku setelah melihat seluruh area Sitinggil dijilati lidah api yang berkobar-kobar. Tanah beserta pagar tembok yang mengelilinga petilasan itu terlihat merah membara. Begitu pula kedua makam yang ada di tengahnya. Keduanya juga menjadi bara api. Tak terkecuali pohon beringin raksasa yang tegak menjulang. Semuanya diliputi api berkobar-kobar yang meliuk-liuk ke sana ke mari.
Sungguh my Diary … keadaan di petilasan keramat Sitinggil seolah telah berubah menjadi neraka yang sedang terbakar. Namun anehnya, semua tanah di luar area Sitinggil tidak terjadi apa-apa. Akibat angina yang menderu keras, pohon beringin besar yang sedang dilahap api itu meliuk-liuk mengikuti arah angin. Di antara deru angina yang semakin bergemuruh, lamat-lamat sempat kudengar jerit menyayat dari Nini Diwut yang menggeram murka dan menuduhku telah membakar neraka sebagai tempat tinggalnya.
Dengan kekuatan setan yang dimilikinya, Nini Diwut menggerakkan puluhan akar gantung yang sedang membara itu kepadaku. Akar-akar berapi itu melesat dan meliuk-liuk mengincar bagian-bagian tubuhku yang mematikan. Beruntunglah air selokan agak tinggi. Sehingga setiap kali akar berapi itu melesat kearahku, aku langsung membawa tubuh Anggit membenam ke dalam air. Tak ayal, pusuk akar gantung berapi yang berusaha menyerangku jadi terkena air dan langsung padam.
Setelah sebagian besar akar gantung berapi itu padam, barulah aku ajak Anggit keluar dari selokan. Dengan tubuh menggigil aku papah tubuhnya mejauhi Sitinggil yang telah menjadi neraka terbakar itu.
Suara-suara jerit kesakitan masih terdengar dengan jelas. Makian dan ancaman dari Nini Diwut juga terus menggema di antara deru angin yang bergemuruh. Berkali-kali nenek siluman itu melontarkan lidah api untuk menahan kami melarikan diri. Sepertinya perempuan setan itu tak rela jika aku bersinggungan dengan nama Tuhan yang mampu membakarnya.
Tapi my Diary, di luar dugaanku Anggit ternyata juga merupakan sosok gadis berhati baja. Walaupun ditikam ketakutan yang teramat sangat, tapi tiada henti ia mengingatkanku agar terus menyebut nama Tuhan. Allohu akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!
Jeritan makhluk kegelapan semakin keras saat takbir kami ucapkan bersama-sama. Sambil berlari aku masih menyaksikan Sitinggil yang masih berkobar itu bergetar dengan hebat. Daun-daun beringin yang masih membara jadi pada berguguran. Melayang dan berputar-putar seperti hujan meteor yang mengerikan.
Namun anehnya, semua orang yang kujumpai di sepanjang perjalanan pulang itu tetap bersikap seperti biasa. Sepertinya mereka tak melihat dan tak merasakan adanya neraka terbakar di Sitinggil. Bahkan mereka pada memandang aku dan Anggit dengan tatapan heran. Bahkan melihat tubuh kami yang sama-sama basah, ada tatapan curiga dari mata sebagian warga. Mungkin dikiranya kami habis melakukan perbuatan tercela.
Enak saja! Biar pun sebodoh ini aku tidak akan pernah terjerumus dalam perbuatan zina. Aku tahu hal semacam itu akan membuat neraka semakin subur. Dosa manusia merupakan pupuk terbaik bagi berseminya kehidupan neraka. Hanya iman dan taqwa yang bisa membakar neraka beserta segala isinya.
Jika neraka telah terbakar maka iblis, setan, dan segala bentuk makhluk kegelapan akan tersiksa dan kesakitan.