My Diary ….
Makin ke sini kok aku merasa kalau pacaran sama Anggit itu lebih mirip dengan penjajahan atau perbudakan, ya! Betapa, enggak! Tadi sore itu ya, sudah tahu hari lagi hujan sedari pagi gak reda, eh, bisa-bisanya dia minta dibelikan bubur ayam. Kebangetan banget, kan! Sudah tahu kalau penjual bubur ayam itu adanya hanya di dekat kantor kecamatan, eh masih juga minta dibelikan. Mana cuaca lagi dingin lagi. Mau beranjak dari dalam selimut saja rasanya enggan.
Tapi akhirnya ya terpaksa deh, aku berangkat juga walaupun sambil menyimpan rasa dongkol di dalam dada. Memang harus ya mencintai itu berkorban sampai segitunya. Karena itu agar terlihat lebih dramatis, aku berangkat dengan sepeda ontel tanpa mengenakan mantel. Biarlah tubuhku jadi basah kuyub toh dengan begitu akan tampak jelas perjuanganku. Siapa tahu pula saat melihat aku kedinginan, Anggit lantas mau memberikan kehangatan. Hayo, jangan berpikir jorok ya! Kehangatan yang kumaksud adalah segelas teh hangat, gitu!
Setelah hampir setengah jam berperang melawan hawa dingin, akhirnya dua porsi bubur ayam pun berhasil aku dapatkan. Dengan mengubah ekspresi wajah agar terlihat lebih mengenaskan, aku antar dua porsi bubur ayam itu ke rumah Anggit.
Cuma sialnya, tadi sewaktu sampai di rumah Anggit, dianya malah lagi tidur. Rupanya sehabis ngechatt minta dibelikan bubur ayam tadi, Anggit langsung kembali meneruskan mimpi. Sehingga yang menerima Bi Iyem, pembantu kecentilan yang merasa sok seksi di seluruh galaksi.
Terpaksa deh, satu porsi aku titipkan ke Bi Iyem buat Anggit dan yang seporsi aku bawa pulang. Sampai di rumah aku taruh di atas meja terus aku tinggal mandi dan mengerjakan tugas sekolah.
Habis adzan Isya’ barulah aku teringat dengan bubur ayamku itu. Itu pun setelah aku mencium aroma kemenyan yang teramat menyengat dari sudut kamar. Lantaran sedari sore aku belum sempat makan atau ngemil sesuatu, dengan bernafsu aku hampiri bubur ayam itu. Andaikan bubur ayam itu sudah sedingin salju, aku akan tetap memakannya tanpa memanasinya dahulu.
Tapi ya ampun, my Diary … sepertinya Nini Diwut tak mengijinkan aku menyantap kelezatan bubur ayam itu. Seketika sendok yang sudah ada dalam peganganku jatuh manakala sebelah tanganku sudah berhasil membuka pembungkus bubur ayam itu.
Aroma busuk seketika meruar hebat dari bubur ayam itu. Padahal jelas-jelas aku lihat kondisi bubur ayam itu belum berubah dari saat aku beli tadi. Namun aromanya menjijikkan sekali. Lebih bau dari bangkai.
Penasaraan, aku korek-korek bubur ayam itu. Astaga! Kedua mataku langsung terbelalak lebar. Serpihan-serpihan daging ayam yang menjadi toping dari bubur ayam itu, kini sudah menjelma menjadi belatung dan ulat sebesar kelingking. Binatang-binatang menjijikkan itu mengeliat-geliat seolah sedang berenang. Sangat menggelikan.
Serta merta aku berjingkat dan mundur beberapa langkah dari meja itu. Tubuhku sudah merinding karenanya. Sedang pemandangan menjijikkan dan mengerikan itu masih berlangsung di depan mata. Seakan tidak ingin melihat aku bernapas lega, saat selanjutnya ulat dan belatung dari dalam bubur ayam itu pada menggeliat keluar dan menyebar di permukaan meja. Satu per satu mereka mulai menjatuhkan diri ke lantai, untuk kemudian bergerak mendekatiku.
Pada saat yang sama, lampu kamar yang semula terang benderang tiba-tiba meredup. Dan tak lama kemudian byar pet! Mati nyala mati nyala! Duh, sudah seperti adegan dalam film-film horror Indonesia. Kengerianku kian bertambah memuncak saat kudengar tawa mengekeh dari Nini Diwut yang tak menampakkan wujudnya.
Bedebah!
Sepertinya drama horor yang terjadi dengan bubur ayam itu adalah ulah demit nenek keriput itu. Tampaknya dia sedang mengadakan uji nyali untukku. Huh! Mungkin dia kira aku bakal ketakutan. Padahal nyatanya aku memang ketakutan. Tahu sendiri kan aku paling jijik dengan ulat dan belatung.
Tak tahan mendengar kekeh tawa Nini Diwut yang membuat gerakan ulat dan belatung semakin liar, segera kututup telinga dengan kedua tangan. Sambil berusaha mengesampingkan rasa takut dan ngeri yang tiada henti menyerang, aku raih kain sarung yang menggeletak di ranjang. Dengan mata terpejam kulempar kain sarung itu ke atas meja sehingga bubur ayam berbelatung itu tertutupi seluruhnya. Lantas aku berlari keluar kamar.
Sampai di dapur, aku bertemu emak yang kelihatannya baru saja makan. Emak sedang meletakkan sebuah mangkuk yang baru dicucinya di rak piring. Emak senyum-senyum padaku sambil bertanya di mana aku beli bubur ayam kok rasanya sangat lezat. Karuan saja aku melongo mendengarnya. Kalau bubur ayamku dimakan Emak, terus yang masih ada di meja dalam kamarku tadi bubur ayam dari mana?
Waduh, mampus aku, my Diary! Pasti bubur ayam berbelatung yang penuh ulat tadi adalah hasil kerja Nini Diwut dan kroninya itu. Oh, bisa-bisanya mereka mengerjaiku sedemikian rupa. Kurang ajar! Kurang kerjaan banget sih setan keriput itu! Sudah tahu cuaca lagi tak bersahabat bisa-bisanya membuat detak jantung berpacu cepat.
Tanpa menanggapi perkataan tadi itu, aku balik badan kembali ke kamar. Oh! Kulihat lampu kamar sudah terang benderang lagi. Sarung yang tadi kulempar ke atas meja juga sudah kembali terlipat rapi dan berada di tempatnya semula. Di atas bantal. Meja juga sudah tampak bersih. Tidak ada lagi sebungkus bubur ayam yang tadi menebarkan bau busuk. Demikian pula barisan ulat dan belatung yang tadinya menyebar sampai ke lantai. Semua bersih, tak terlihat lagi.
Kau tahu my Diary ….
Selanjutnya pikiranku tertuju lagi kepada Anggit. Aku takut jangan-jangan Nini Diwut juga berbuat hal yang sama terhadap bubur ayam yang kuberikan pada Anggit. Jika benar begitu adanya, wah, bisa bahaya ini. Bisa-bisa aku akan dituduh melakukan guna-guna untuk mencelakainya.
Tak mau hal buruk itu terjadi, aku segera mengeluarkan telepon untuk memastikan. Aku bermaksud akan kirim SMS pada Anggit terkait bubur ayam itu. Eh, belum sempat aku ketik satu kalimat pun, sudah ada SMS masuk dari dia. Anggit mengucapkan terima kasih atas bubur ayam yang lezat dan sekaligus meminta maaf karena ketiduran waktu aku sampai di rumahnya.
Aku bisa bernapas lega, my Diary! Nini Diwut tidak bertingkah atas bubur ayam yang aku berikan pada Anggit. Kau tahu, my Diary? Saat aku tuliskan semua ini di tubuhmu, Anggit masih terus mengirim SMS padaku. Karena itu terpaksa aku menulis sambil membalas SMS dari Anggit.
Maaf ya my Diary, bukan maksudku untuk menduakanmu. Aku hanya tidak ingin mengecewakan dirinya agar aku mendapatkan predikat sebagai cowok setia. Dengan begitu aku akan selalu punya bahan untuk aku kisahkan dalam lembaranmu.