My Diary ….
Seumur hidupku baru hari ini aku merasa sangat bahagia, mengalahkan kebahagiaanku ketika rasa cinta diterima oleh Anggit. Kau tahu my Diary, malam Jumat legi kemarin lusa aku telah berhasil mengalahkan protes dari para dedemit yang dipimpin oleh Nini Diwut. Para penghuni alam kegelapan itu pada menuntut agar aku menjauhi Anggit, karena belakangan ini Anggit mulai rajin beribadah dan mengaji sehingga mereka merasa terusik. Hawa panas yang memancar dari tubuh Anggit membuat kaum setan sering merasa sakit.
Dalam protes mereka kemarin lusa itu, selain menuntut agar aku menjauh dari Anggit, Nini Diwut dari kroninya mengancam akan menebar teror yang mengerikan pada warga kampung. Mereka juga menuduhku telah berbuat semaunya dengan semakin jarangnya aku nyekar dan membakar kemenyan serta dupa.
Tentu saja my Diary, aku tidak bisa menerima tuntutan para demit itu. Enak saja! Setelah sekian lama aku berjuang untuk mendapatkan cinta Anggit ya enggak mungkinlah aku tinggalkan hanya demi urusan dengan kaum demit. Oke! Dulu aku memang pernah merasa keberatan saat Anggit memintaku untuk menjauhi dunia setan. Hal itu yang membuat aku dicap PHP oleh para setan penunggu petilasan.
Tapi aku tak peduli! Hidupku adalah otoritasku. Memangnya kenapa kalau aku berbuat semauku, toh tidak membuat para demit itu kehilangan apa pun, baik itu harta atau nyawa. Nyawa? Nyawa siapa lagi yang mau dikorbankan, kan faktanya para dedemit itu sejatinya sudah tidak lagi bernyawa. Sudah gitu kok pakai ngatur-ngatur orang segala.
Mendengar sangkalanku itu, Nini Diwut dan kroninya langsung murka. Serta merta mereka mengubah wujudnya menjadi lebih seram dan mengerikan dari biasanya. Sepertinya mereka sepakat untuk mengerahkan segenap kesaktian hanya semata agar aku mau memenuhi tuntutan para setan.
Cling! Dalam satu kedipan mata yang hanya memerlukan waktu sepersekian detik, Nini Diwut yang semula berwujud nenek renta dengan wajah keriput dan rambut panjang awut-awutan menjelma menjadi jerangkong, rangka manusia tanpa daging dan kulit tapi masih berlumuran darah.
Secara bersamaan sosok peri dan kunti menjadi seonggok tubuh yang daging dan kulitnya sudah pada membusuk. Ribuan ulat dan belatung keluar dari setiap pori-pori yang pecah dan mengeluarkan darah. Bahkan sebagian daging dan kulit di bagian kepala sudah terlihat mengelupas dan terus mengucurkan nanah. Sebelah biji matanya melelah menebarkan aroma busuk yang tak terkira.
Begitu pula sosok genderuwo dan pocong tak mau kalah. Mereka juga menjelma sebagai makhluk-makhluk teraniaya yang tak pantas untuk dilihat. Nganga luka di bagian perut membuat ususnya terburai keluar bersamaan dengan mengucurnya darah bercampur nanah.
Tapi aku tetap tak peduli, my Diary! Kubulatkan tekad untuk tetap memegang prinsip bahwa aku tidak bersalah. Aku adalah manusia. Tidak seharusnya hidupku dikendalikan oleh makhluk tak kasat mata. Hidupku adalah otoritasku. Aku bebas berbuat apa saja selagi hal itu tidak merugikan orang lain, terutama sesama manusia. Terlebih hal ini menyangkut hubunganku dengan Anggit.
Hehe! Waktu itu dalam hati aku sempat tersenyum, my Diary! Saat aku ungkapkan tekadku untuk tetap bersikukuh mempertahankan Anggit dengan amarah yang cukup melangit, eh, ternyata bangsa dedemit itu merasa gentar juga. Mereka hanya main gentak sambal. Buktinya, walau sudah berubah wujud menjadi makhluk paling mengerikan yang datang dari dasar neraka, tapi mereka tidak berani melukai tubuhku sedikit pun. Mereka hanya menakut-nakuti dengan rupa dan suaranya saja.
Tapi aku juga heran dengan diriku sendiri, my Diary! Hanya dengan menyebut nama Anggit, kenapa ya tidak lagi punya rasa takut walau sedikit. Keberanianku seakan menjadi berlipat ganda. Tidak lagi aku rasakan perasaan merinding. Tidak lagi aku merasa gentar atau ngeri. Aku sungguh berani.
Aku yakin, pasti saat itu Nini Diwut dan setan-setan lainnya pada kaget melihat keberanianku. Mereka tidak ada yang menduga jika aku menjadi sangat berani berbuat semauku. Memangnya kenapa kalau aku berbuat semauku, toh tidak membuat para demit kehilangan apa pun, baik itu harta atau nyawa! Kata-kataku ini pasti telah menghunjam deras ke hati mereka. Itupun kalau mereka masih punya hati.
Setelah itu, tidak ada lagi yang bersuara. Waktu itu yang kudengar hanya suara menggeram penuh amarah. Kamarku yang tak seberapa luas menjadi penuh kabut tipis yang berputar-putar seiring desiran angin. Tampaknya Nini Diwut dan kaewan-kawan mulai menyerang secara diam-diam. Angin yang semula bertiup pelan, semakin lama kian menderu. Menerbangkan semua barang yang ada di kamarku.
Rapat, kupejamkan mata sambil mengingat wajah Anggit untuk menambah keberanian yang sempat sedikit goyah.
Hayo, jangan pada menganggap aku musrik loh, ya! Memang seharusnya aku mengharap kekuatan itu pada Tuhan, bukan pada Anggit. Tapi mau bagaimana lagi? Saat mataku terpejam, niat awalku juga ingin mendekat dan menyebut nama Tuhan. Namun apa daya, kadar keimananku yang masih sekulit ari membuatku lebih mudah membayangkan seraut wajah Anggit daripada asma Tuhan yang berada jauh di atas langit. Lagian itu kan hakku. Suka-suka aku dong mau berbuat apa saja! Suka ya kalian baca, kalau enggak suka, ya abaikan saja!
Tak seberapa lama kemudian, perlahan aku buka mata! Astaga! Mulutku lamngsung ternganga lebar dengan kedua mata membelalak besar. Betapa tidak, tanpa kurasa kapan memindahnya tahu-tahu aku sudah berdiri di bawah beringin besar yang ada di petilasan keramat. Sumpah waktu itu, aku sempat terbingung-bingung enggak karuan. Tapi setelah sadar kalau setan juga bisa berbuat semaunya, aku mulai tenang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku buka resluiting celana dan lalu … cuuurrr! Aku kencingi saja pangkal pohon beringin itu seenaknya. Hasilnya, sungguh luar biasa! Aksi nekadku itu membuat penampakan-penampakan seram yang semula mengelilingi petilasan seketika sirna.
Angin yang tadinya bertiup menderu seketika berhenti. Suara geraman setan yang mendirikan bulu roma seketika bungkam. Yang kudengar tinggal suara binatang malam yang bersuara di balik rerumputan.
Yang terakhir kali kulihat hanyalah sosok Nini Diwut yang berwajah kecut sambil menatapku cemberut. Sikapku yang berbuat semaunya, membuat demit renta itu terlihat jelas kecewa. Dia nampak menyeringai sambil menatapku benci.
Perlahan kukancingkan celana kembali tanpa memedulikan wajah Nini Diwut yang semakin ngeri. Saat aku mendongak kembali, tahu-tahu aku sudah berada di dalam kamarku lagi. Kamar yang juga kembali rapi. Sungguh waktu itu, aku juga heran sendiri. Andai saja sedari dulu aku ngerti kalau kekuatan gaib bisa kalah dengan air kencing, sudah pasti aku akan berbuat semauku tanpa merasa pusing.
My Diary ….
Sejak malam itu, aku sudah tidak pernah lagi berurusan dengan alam kegelapan. Hidupku hanya untuk Anggit.