My Diary ….
Di Minggu pagi ini, hatiku benar-benar jengkel sejengkel-jengkelnya. Betapa enggak! Sudah tahu kan aku lagi sayang-sayangnya pada Anggit, eh, bisa-bisanya tadi malam Nini Diwut mengancam agar aku meninggalkan Anggit. Dia bilang hidupku akan sengsara kalau terus bersama Anggit.
Karuan saja aku langsung emosi tingkat dewa mendengar kata-katanya yang jelas tak bermutu bagiku itu. Enak saja, ngatur-ngatur hidup orang. Memang dia pikir, hidupku akan bahagia kalau terus-terusan berkawan dengan setan. Enggak, kan! Yang ada hidupku malah tambah sengsara.
Untuk itu panjang lebar aku mendebat, tak peduli sampai air liurku muncrat-muncrat. Untung saja Nini Diwut dan kroninya itu makhluk tak kasat mata, andaikan tidak, aku jamin sudah basah kuyub semuanya.
Saking emosinya hatiku, tadi malam bahkan aku sampai mengungkit-ungkit soal pengerbananku yang harus selalau beli dupa dan kemenyan untuk santapan para setan. Seandainya aku kumpulkan sudah berapa ratus ribu jumlahnya. Gitu sampai ludahku muncrat kok gak ada yang pengertian juga.
Dan sialnya my Diary … sepertinya Nini Diwut sebagai sesepuh para demit merasa tersinggung saat kuungkit-ungkit soal jumlah duit untuk beli dupa dan kemenyan itu. Dia ganti memerahi bahkan sampai menuduh aku tidak punya keikhlasan dalam berteman. Dia bilang selama ini para dedemit sudah banyak membantuku selamat dari berbagai persoalan. Terutama keselamatan diriku. Hanya soal urusan cinta para dedemit tidak mau ikut terlibat karena hal itu adalah pantangan di dunia mereka.
Entah karena tersinggung yang teramat sangat atau memang emosi yang sudah berlipat, ludah Nini Diwut juga sampai muncrat dan mendarat mulus di wajahku. Hoeekk! Aku sampai mau muntah karenanya. Habis, mereka kan wujud aslinya sudah pada bangkai semua. Jadi otomatis ludahnya yang muncrat aroma busuknya mengalahkan bangkai anjing yang sudah meleleh dimakan belatung. Untnglah aroma dupa yang asapnya mengepul dari sudut kamar bisa sedikit mengurangi aroma tak sedap ludah setan yang muncrat itu.
Meski dengan perut mual hebat, mirip orang hamil yang perutnya lagi kontraksi karena mau melahirkan, aku tetap bertahan berdebat dengan Nini Diwut. Bahkan saking jengkelku, aku sampai mengancam tidak mau lagi berteman dengan semua penghuni alam kegelapan. Ancamanku itu bukannya membuat amarah Nini Diwut surut tapi malah kian berlanjut. Dia balik mengancamku, kalau sampai aku menghentikan interaksi dengan makhluk gaib, aku akan diterornya dengan berbagai macam penyakit.
Waduh, ngeri juga aku mendengarnya. Udara malam tadi yang teramat dingin menjadi terasa kian menusuk kulitku. Seketika aku bungkam. Tak berani membantah lagi. Bahkan aku harus rela kena muncratan ludah busuknya hampir selama satu jam.
Duuh my Diary, kok berat banget ya perjuangan untuk mempertahankan rasa cinta dari seorang Anggit. Baru juga tahap pacaran, kok gini-gini amat perjuangan.
Dan puncak kemarahan Nini Diwut tadi malam benar-benar aku rasakan ketika bukan hanya ludah saja yang muncrat dari mulutnya, tapi kemudian disusul pula oleh muncratnya darah dari pangkal lehernya.
Ya, pamgkal leher keriput yang semula tersembunyi di balik uraian rambut tiba-tiba mulai menunjukkan guratan melingkar yang makin lama makin dalam. Seiring terciptanya guratan melingkar di pangkal leher keriput itu, muncratlah darah segar merah kehitaman yang langsung menebarkan aroma anyir bercampur busuk.
Dari setiap darah yang muncrat lalu meluber ke lantai kamar, tampaklah ribuan ulat dan belatung yang sedang menggeliat-geliat menjijikkan. Semakin keras Nini Diwut bersuara melontarkan amarahnya, darah yang muncrat juga semakin deras. Bahkan terlihat hampir memenuhi lantai kamarku.
Tak berapa lama kemudian, blug! Kepala Nini Diwut tanggal dan jatuh menggelinding di lantai. Dari pangkal lehernya yang sudah benar-benar putus darah muncrat semakin deras. Bahkan hampir menyerupai air mancur darah.
Tapi anehnya kepala yang menggeletak di lantai itu masih saja terus menggerutu mengeluarkan sumpah serapah. Ulat dan belatung yang hilir mudik masuk ke dalam mulutnya, sedikit pun tidak mengganggu kepala Nini Diwut saat berbicara. Lebih tepatnya saat menghujatku.
Sungguh my Diary, tadi malam itu seandainya dalam keadaan normal kupastikan aku sudah pingsan berdiri melihat keadaan yang teramat sangat menjijikkan dan mengerikan itu. Untungnya hal yang tadi malam terjadi itu, aku dalam pengaruh kekuatan gaib. Sehingga seluruh panca inderaku seakan tidak terpengaruh oleh apa yang ada di depan mata.
Melihat aku yang diam saja, eh, Nini Diwut malah tambah murka. Dikiranya aku sengaja mengacuhkan kemarahannya. Akibatnya, dia semakin emosi terus bertindak sesuka hati. Darah yang semakin banyak meluber di lantai, perlahan ia hisap kembali untuk kemudian ia muncrat-muncratkan berkeliling dinding kamar.
Wajar dong kalau aku marah! Aku pun balas berteriak sekuat tenaga. Eh … tapi, kenapa suaraku tak terdengar. Mulut dan lidahku terus bergerak, tapi tak mengeluarkan satu suara pun. Lidahku jadi terasa kelu. Bibirku menjadi terasa kaku. Tenggorokanku serasa tersumpal oleh sesuatu.
Wah, gawat ini! Sepertinya tadi malam itu, seluruh penghuni petilasan keramat sedang mengumpulkan kekuatan untuk menguasai jiwa dan ragaku. Darah busuk Nini Diwut yang muncrat-muncrat ke dinding kamar, telah menebarkan kekuatan gaib yang membelenggu pergerakan seluruh sendiku. Aku telah menjadi patung bernyawa yang hanya dapat melihat tanpa bisa berbuat apa-apa.
My Diary ….
Tadi malam itu, dalam kondisi terjepit di sudut pikiranku yang paling dalam masih bisa mengingat simpanan kembang telon yang ada dalam lemari. Andai aku bisa mengambil kembang telon itu, lalu aku taburkan sekeliling kamarku, yakin, kejadian mengerikan seperti itu tidak akan pernah mengusikku.
Dasar Nini Diwut sialan, menyadari kalau pandang mataku tertuju ke lemari, tubuhnya yang sudah tak berkepala perlahan mulai bergerak mendekati lemari di sudut kamarku. Dengan beberapa kali tendangan kakinya, tubuh tak berkepala itu berhasil membuat pintu lemari terbuka. Lalu dengan kekuatan sedotan mulutnya yang menyerupai mesin turbo, segala benda yang ada dalam lemariku tertarik keluar dan jatuh berserakan di lantai yang berlumur darah.
Termasuk sebungkus kembang telon yang kusimpan itu. Kembang telon itu pun ikut jatuh berserakan dan berlumuran darah. Hal itu membuat kepala Nini Diwut yang masih bergerak-gerak di lantai tertawa mengekeh. Hi hi hi hi …! Sorot matanya semakin merah menyala dan menatap lurus padaku.
Kembang telon berdarah itu pun semakin menyebar. Hingga tanpa disadari tersedot masuk ke mulut Nini Diwut yang masih tertawa-tawa. Dan ketika setengah dari kembang telon berdarah itu sudah masuk ke mulutnya, tiba-tiba ia menjerit keras seakan sedang didera rasa sakit yang sangat pedih.
Dengan geram penuh dendam, tubuh Nini Diwut melangkah pergi sambil menenteng kepalanya sendiri. Seketika sirna semua darah di lantai. Kesadaranku pun kembali.