My Diary ….
Entah apa yang merasuki Anggit, tahu-tahu kemarin sore saat senja sedang merona indah, dia memintaku datang ke taman kota untuk menemuinya. Karuan saja, sebelum Ashar aku sudah mandi dan dandan rapi juga tidak lupa pakai minyak wangi dengan rambut disisir kelimis. Dengan semangat 45 aku kayuh sepeda ontel melintasi jalan raya tanpa menghiraukan sapaan beberapa teman yang sempat berpapasan sesaat.
Sampai di taman kota, kemarin itu aku juga sempat tak percaya dengan apa yang terlihat. Seolah Anggit dan aku itu sudah sehati, eh, tahu-tahu pakaian yang dia kenakan sewarna dengan bajuku. Sungguh sore kemarin itu aku merasa Devi Fortuna sedang berbaik hati padaku.
Setelah aku dan dia duduk berdampingan di antara bunga-bunga yang sedang bermekaran, tibalah saatnya momen terindah yang tidak akan terlupakan itu dimulai. Awal-awal Anggit hanya menatapku sambil senyum-senyum, sampai-sampai aku salah tingkah. Hingga beberapa saat kemudian, jemari lentiknya mulai terulur meraih jemariku untuk kemudian dia genggam erat beberapa saat.
Kau tahu, my Diary? Saat jempol tangannya mengusap-usap punggung tanganku, hatiku rasanya bagaikan sebuah kolah yang ditumpahi satu truk batu gamping. Seketika bergemuruh seiring debar-debar hangat yang semakin meningkat. Lalu perlahan bibirnya yang tipis dan selalu basah mengucapkan permintaan maaf dengan suaranya yang lirih. Dan belum lagi aku sempat menjawab permintaan maafnya, sembari menatap wajahku dengan pandangan sendu, Anggit mengatakan kalau selama ini sebenarnya dia mencintaiku.
Ya, Anggit mencintaiku, my Diary! Mendengar kata-katanya waktu itu, jiwaku serasa melayang ringan terbang di atas awan sembari menyanyikan lagu kerinduan. Andai saja saat itu situasi taman kota tidak terlalu ramai, ingin rasanya kupeluk dan kucium mesra bibirnya untuk mengungkapkan rasa bahagia yang membuncah.
Tanpa menunggu terlalu lama, tentu saja aku langsung mengangguk iya. Gayung yang telah bersambut sudah pasti tidak mungkin akan kuingsut. Serta merta dunia serasa milik kami berdua, yang lain mah kontrak! Terlebih lagi ketika Anggit mengajakku keliling taman. Sepanjang langkah tangannya bergelayut manja di pundakku.
Berpuluh pasang mata yang menatapku iri, membuat kepalaku terasa sedikit membesar. Dada yang ringkih sedikit membusung karena merasa diri ini paling beruntung. Rasa pongah memenuhi rongga dadaku. Beberapa kelompok cewek yang melihat kami seraya bisik-bisik, tak kupedulikan bahkan bibirku yang memble sempat mencibir keki.
Persetan jika sore itu orang-orang yang melihat kebersamaanku dengan Anggit menilai aku sombong. Aku merasa pantas untuk membusungkan dada. Aku yang selama ini senantiasa berjalan menunduk di hadapan Anggit, sekaranglah saatnya mendongak. Akan aku tunjukkan pada dunia bahwa aku bisa sukses mendapatkan cinta seorang bidadari yang selama ini kurindui.
Sumpah, my Diary! Jangankan sesama manusia, terhadap golongan setan yang waktu itu menatapku dari balik batang-batang pohon besar saja, aku masih bisa bersikap besar kepala. Tanpa sepengetahuan Anggit tentu saja, diam-diam aku cibirkan mulut pada para dedemit yang waktu itu ikut menguntit. Aku ingin tunjukkan pada anak buah Nini Diwut itu bahwa tanpa campur tangan mereka masih banyak yang bisa kuperbuat.
Saat menjelang Magrib tiba, barulah aku dan Anggit berpisah. Di tepi jalan depan taman kota aku masih sempat mengecup keningnya sebelum dia berlalu dengan sepeda motornya. Senja pun kurasa semakin indah.
***
Begitu pun tadi pagi, my Diary! Di tempat parkir belakang sekolah, saat aku baru saja meninggalkan sepeda ontel tahu-tahu Anggit sudah pula ada di sebelahku. Di hadapan sekian banyak siswa-siswi yang ada di situ, tanpa malu-malu dia langsung menggandeng tanganku dan mengajakku masuk kelas! Aku melangkah dengan jumawa.
Terlebih saat Danar menatapku dengan mata sayu dan wajah kuyu, demi Nini Diwut yang tak pernah tobat, kesombonganku semakin meningkat. Boleh saja Danar merasa menang start karena berhasil mendapatkan ciuman Anggit sebelum aku. Tapi sekarang, dunia sedang aku putar balikkan. Ibarat perangko, Anggit terus menempel pada sebuah amplop yang merasa paling top, yaitu Aku! Aku yang mulai hari ini akan selalu berkacang pinggang atas keberhasilanku mendapatkan gadis yang sudah lama aku sayang.
Begitu juga waktu istirahat, my Diary. Anggit serta merta menggandeng tanganku menuju kantin. Sengaja ingin memamerkan kemesraan yang sedang kami rasakan, meski berdua tapi aku sengaja pesan makanan dan minuman hanya satu-satu. Aku dan Anggit makan dan minum berdua sambil sesekali saling menyuapi. Cie cie cie, asyik!
O iya my Diary, jangan bilang-bilang pada siapa pun, ya! Sebenarnya aku sengaja pesan makanan dan minuman cuma satu-satu itu, bukan sekadar supaya terlihat mesra dan romantis tapi yang utama ya mengingat isi dompetku yang selalu tipis. Jangan kau tertawakan ya, my Diary! Cinta kadang memang konyol. Mampu membuat seseorang menjadi besar kepala daripada akalnya. Begitu pula yang sedang terjadi padaku ini.
Apa pun akan kulakukan selama hal itu bisa membuat Anggit bahagia. Eh, tapi enggak ding my Diary! Masih ada satu hal yang tidak bisa aku lakukan untuk Anggit yaitu menjauh dari dunia gaib. Kemampuanku melihat dan berkomunikasi dengan para dedemit tidak akan aku buang meskipun sedikit. Aku yakin anugerah ini suatu saat pasti aka nada gunanya bagi kehidupanku di masa yang akan datang.
Karena itu my Diary, selama dekat dengan Anggit, aku selalu berusaha pura-pura tak melihat kehadiran para makhluk gaib yang datang dan ingin berinteraksi denganku. Sebisa mungkin aku menghindar agar Anggit tak merasa aku bohongi.
Selanjutnya saat selesai makan dan minum di kantin, Anggit pun menggandeng tanganku. Kali ini langkahnya menuju ke perpustakaan. Hmm, aku tersenyum. Aku yakin Anggit mengajakku ke perpustakaan dengan tujuan agar dia bisa menciumku seperti yang pernah dilakukannya dengan Danar. Haha, kesombonganku kumat lagi. Aku ingin balas dendam. Danar harus melihat saat Anggit nanti menciumku agar cowok itu bisa merasakan sakit yang pernah aku rasakan.
Benar saja, my Diary! Tak lama berselang kulihat Danar sedang melangkah lunglai menuju perpustakaan. Hehe, dalam hati aku tersenyum penuh kemenangan. Anggit kuajak mempercepat langkah agar Danar merasa kalah.
Tapi … my Diary, tiba-tiba salah satu makhluk tak kasat mata melintas dan melayangkan bogem mentahnya ke bagian perutku. Serta merta aku meringis kesakitan. Perutku mules tak terkira. Tak ingin kehilangan muka di hadapan Anggit, aku pun pura-pura kebelet pipis. Aku minta ijin ke kamar kecil yang ada di samping musola. Di salah satu kamar toilet itulah aku meringis kesakitan sambil memegangi perut. Seketika kesombonganku sirna berganti menjadi rasa teraniaya.
Inilah akibat besar kepala daripada akal. Menyesal pun tiada guna.