My Diary ….
Dalam beberapa hari ini, meskipun kenyataannya aku sudah berhasil mendapatkan cinta dari Anggit, tapi tetap saja keresahan masih kerap membayang. Aku selalu merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupku. Aku merasa ada sesuatu yang hilang setelah kebersamaan dengan Anggit sudah menjadi kenyataan. Hidupku justru semakin terasa hampa. Kesepian demi kesepian mengakrabiku.
Ya, my Diary! Aku telah kehilangan mimpi-mimpi indahku. Mimpi tentang Anggit yang biasanya selalu mewarnai tidurku, sekarang sudah tak pernah lagi datang. Tidurku jadi tak terasa indah lagi. Dewi malam telah meninggalkan duniaku di saat aku masih menginginkan adanya hiasan dalam impian.
Semakin dekat hubunganku dengan Anggit, mimpi-mimpi indah itu justru semakin jauh meninggalkan aku. Kesepian yang panjang dalam melewati malam-malam kelabu datang menghadirkan kecurigaan. Aku takut, jika ada peranan dari anak buah Nini Diwut di balik semua. Akh, tidak! Tidak mungkin! Adalah suatu hil yang mustahal jika Nini Diwut terlibat dalam persoalan hati ini.
Atau bisa jadi malah pikiranku yang sekarang sedang sakit. Harapanku tentang Anggit sudah tak lagi sebesar hari kemarin. Kalau hari-hari sebelumnya aku masih memiliki semangat yang tinggi untuk mendapatkan Anggit, sekarang setelah hal itu tercapai, semangatku pun lunglai. Merasa diri telah menang, justru membuat hatiku tak tenang.
Apa yang harus kulakukan, my Diary? Haruskah kulepas lagi Anggit agar aku punya semangat tinggi untuk bangkit.
Jujur my Diary, aku hanya bisa merasakan tenang dan bahagia ketika Anggit ada bersamaku. Namun ketika aku dan dia sudah berada di rumah masing-masing, hatiku kembali hampa seakan aku sedang tinggal di sebuah negeri asing.
Karena itu my Diary, dalam beberapa hari ini aku coba renungkan lagi tentang hubunganku dengan Anggit. Hubungan asmara yang semula aku kira akan memperindah hari-hariku, nyatanya justru sebaliknya. Keresahan itu tetap datang. Bahkan lebih menghunjam.
Kalau dulu di masa aku masih mengejar-ngejar Anggit, semangat hidup dan semangat berjuangku sangat tinggi. Setiap hari aku bisa memunculkan beragam ide agar Anggit bisa jatuh hati kepada lelaki yang pas-pasan ini. Berbagai upaya bisa aku lakukan walau kadang dengan kelakuan sedikit nekad. Rasa-rasanya tidak mungkin semangat yang berapi-api itu akan padam secepat ini.
Satu hal lagi my Diary, keberhasilanku mendapatkan cinta dari Anggit ini sepertinya juga mempertajam daya penerawanganku terhadap makhluk-makhluk yang seharusnya tidak kelihatan. Penglihatan dan interaksiku dengan para dedemit semakin setinggi langit. Kalau dulu aku hanya bisa melihat kehadiran para demit hanya ketika mereka sengaja menampakkan sendiri, tapi sekarang tidak! Di manapun mereka berada, aku bisa melihatnya. Bahkan ketika para demit itu menyatu dengan benda-benda di sekitarnya, kedua mataku tetap bisa melihatnya.
Semula aku juga menganggap kalau hal itu tidak mungkin. Tapi setelah di manapun aku berada, kedua mataku tetap merasakan hal yang sama, barulah aku menyadari kalau semua ini bukanlah suatu hil yang mustahal. Bisa jadi Anggit juga memiliki sebuah aura magis, tapi belum menyadari. Atau bisa juga, rasa cinta yang membuat kekuatan gaib semakin berjaya.
Tentu saja my Diary, aku semakin jadi was-was. Suatu saat jika Anggit mengetahui soal ini, bisa jadi dia akan sangat kecewa dan memilih berpisah. Jika hal itu terjadi, aku yang akan kembali menyusuri hari-hari sepi tiada bertepi.
My Diary ….
Nanti sore setelah Ashar, Anggit mau mengajakku makan bakso di dekat Taman Kota. Katanya ada sesuatu yang nanti akan dia bicarakan. Entah soap apa. Aku hanya berharap semoga dia tidak membahas soal kemampuanku berinteraksi dengan lelembut. Biarlah kulit dan tutur kata Anggit saja yang lembut, jangan sampai dia membahas soal Nini Diwut. Hal itu akan membuat urusan semakin semrawut. Persis benang kusut yang sedang membelit seekor tikus curut.
My Diary … ijinkan aku cemberut!
***
My Diary ….
Acara makan bakso bersama Anggit di depan Taman Kota tadi sore jadi gatot alias gagal total. Acara bicara dari hati ke hati yang tadinya sudah direncanakan, akhirnya tak pernah kesampaian. Mana uang ludes dengan percuma. Bayar pesanan bakso tidak sampai dimakan, malah ditinggalkan sambil berlari ketakutan.
Aku benar-benar malu my Diary, dengan kejadian tadi sore itu. Semua mata pengunjung taman yang sedianya menikmati keindahan senja, akhirnya pada berganti menatapku berlari-lari mengejar Anggit yang berteriak-teriak ketakutan.
Dia bilang pentol bakso yang berada dalam mangkoknya bukan lagi pentol seperti biasa, tetapi menjelma menjadi biji-biji mata yang masih berdarah. Serta merta dia menjerit dan berlari sambil berteriak-teriak ngeri. Padahal ya tidak mungkin kan ada penjual bakso yang mempergunakan biji mata manusia sebagai pentolnya. Aku menyaksikannya sendiri kalau isi mangkok yang dihadapi Anggit tadi tetaplah pentol yang sama dengan yang ada di mangkokku.
Gara-gara tingkah aneh Anggit tadi sore itu, terpaksa aku berlari mengejarnya sebelum sempat menikmati bakso yang kupesan. Setelah sebelumnya aku meminta maaf pada penjual bakso yang pasti tersinggung atas ucapan Anggit.
Benar-benar sial! Tadi sewaktu berangkat aku sengaja tidak makan dulu supaya bisa menikmati semangkok bakso dengan nyaman. Enggak tahunya, Anggit malah bertingkah seperti orang edan. Dia memaksaku untuk mengejarnya meski dengan perut keroncongan.
Tapi itu semua juga karena kesalahanku, my Diary. Tadi itu sejak awal memasuki kedai bakso, sebenarnya aku sudah melihat keberadaan dua sosok pocong di pojok ruangan. Namun semua aku abaikan. Rasanya tidak mungkin dua sosok pocong itu akan mengangguku pada saat matahari masih terang benderang. Eh, enggak tahunya justru Anggit yang mereka kerjai dengan seram.
Tadi sore itu, melihat gelagat dua sosok pocong yang cekikikan di pojokan, aku sudah curiga. Pasti mereka yang telah membalik penglihatan Anggit sehingga melihat pentol bakso menjadi tampak seperti biji mata direndam dalam genangan darah. Mie kuning yang ada di dalam mangkok juga terlihat menjadi cacing-cacing yang menggeliat menjijikkan.
Parahnya lagi my Diary, tadi saat Anggit sudah berhenti di sudut halaman Taman Kota, dia langsung muntah-muntah. Tak ayal deh, banyak ibu-ibu yang jadi menatapku aneh. Bahkan ada seorang ibu yang langsung menuduhku telah menghamili anak orang. Apes, deh! Meskipun aku suka lagu rock tapi aku kan belum pernah tahu dan mencicipi isinya rok.
Untuk itu my Diary, tanpa memedulikan ocehan banyak orang, aku langsung saja mengajak Anggit pulang. Tidak mungkinlah meneruskan acara makan-makan dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
Kau tahu my Diary, dalam perjalanan pulang tadi saat kayuhan sepedaku sampai di dekat petilasan keramat, ingin rasanya aku turun dan mengobrak-abrik tempat angker itu. Kemarahanku pada Nini Diwut tidak mungkin aku abaikan.