My Diary ….
Andai hati adalah ruang, akan kubangun sebuah taman yang indah, agar Anggit tak sekadar datang dan singgah, tapi mau menetap untuk merajut kisah-kisah indah. Kisah yang akan menjadi sebuah prasasti bagi bersatunya dua hati dalam mengarungi samudra kehidupan yang warna-warni.
Andai hati adalah jalan, akan kubentangkan permadani terbaik di muka bumi, agar Anggit tidak lagi sekadar lewat, tapi juga berhenti untuk menikmati keindahan rasa yang telah sekian lama memenuhi rongga dada. Dada yang akan selalu menyediakan ruang lengkap dengan singgasana cinta bagi sang ratu pemilik nada-nada rindu.
Tapi my Diary ….
Setiap kali hati ini sudah berniat hendak tertuju pada satu dermaga rindu, selalu saja gangguan dari makhluk gaib datang mengusik. Petilasan keramat yang semula lengang, tiba-tiba menebarkan aroma kemenyan yang membuat warga ngeri ketakutan. Sosok-sosok gaib yang menyeramkan bermunculan, mengitari rumah-rumah warga seraya menebarkan rayuan setan.
Sepertinya Nini Diwut tak pernah mengijinkan kalau aku serius hendak menambatkan hati pada seorang gadis pujaan. Selalu saja ada kejadian-kejadian janggal yang membuat rasa cinta dalam hati nyaris berantakan. Apa memang begitu sifat kaum setan ya, my Diary? Tidak pernah suka melihat orang bahagia. Haruskah kubakar sebongkah kemenyan kerinduan agar hilang segala aral yang melintang?
Oh, tidak my Diary!
Bagiku cinta adalah urusan hati. Biar saja orang lain meyakini tindakan cinta ditolak dukun bertindak, tapi aku akan tetap memperjuangkan rasa cintaku dengan ketulusan hati. Aku ingin mencintai dan dicintai secara wajar, apa adanya, bukan atas peranan makhluk kegelapan yang pasti akan menuntut imbalan di kemudian hari.
Seperti kemarin my Diary, saat aku berkeinginan bertandang ke rumah Anggit dengan alasan mengembalikan bukunya yang sudah seminggu aku pinjam, tiba-tiba belum sebegitu jauh dari rumah, roda sepeda ontelku meletus di tengah jalan. Padahal aku yakin, waktu tadi aku pompa, ban sepeda itu tidak terlalu keras. Juga tidak ada paku atau benda tajam lain yang menancap pada ban. Tapi tahu-tahu ban belakang meletus dan robek seperti bentuk mulut katak. Sudah gitu, aku dengar suara tawa-tawa cekikikan dari sosok makhluk yang tak menampakkan wujudnya. Tawanya jelas-jelas menunjukkan rasa girang atas nasib sial yang sedang menimpaku.
Padahal nih ya, sudah aku bela-belain gak jajan di sekolahan demi untuk bisa membelikan satu buket bunga berisi setangkai mawar yang dikemas bungkus plastik berhias pita dan ditata secara artistik. Tapi perjuanganku itu harus sia-sia karena ban sepeda ontel pecah dan disambut pula oleh hujan rintik-rintik.
Tak urung aku duduk termangu-mangu di depan emper sebuah toko yang sedang tutup sambil memandangi titik-titik air hujan. Serta merta anganku mengembara ke rumah Anggit yang gagal aku datangi. Sulit bagiku untuk membayangkan betapa murung dan kecewanya wajah Anggit, saat menunggu sia-sia untuk kedatanganku yang tertunda.
Bah! Benar-benar, sialan! Mengapa dari dulu tidak ada kata kunci yang bisa menjelaskan bagaimana caraku mendaparkan Anggit. Selayaknya sedang menggarami laut, semua upayaku tak bersambut. Aku jadi merasa seperti menggurui bebek untuk berenang, setelah sampai di tengah telaga justru aku yang ditinggalkan.
Busyet … my Diary! Di tengah hujan yang kini disertai hembusan angin kencang tiba-tiba pula tercium aroma kemenyan yang cukup menyengat. Sejenak aku tolah-toleh mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi tidak ada siapa-siapa. Kendaraan yang melintas di jalan juga bisa dihitung dengan jari. Maka sudah bisa dipastikan, meruarnya aroma kemenyan ini pasti ada hubungan dengan akan munculnya sosok-sosok penghuni alam kegelapan.
Eh, benar saja! Tak lama kemudian muncullah sesosok pocong yang sedang melompat-lompat di tengah jalan tanpa memperhatikan hujan yang semakin deras. Mungkin dia lagi cari perhatian padaku agar aku menghampirinya begitu. Tapi kali ini jangan harap! Aku tetap pura-pura tidak tahu. Hanya aku lirik saja tingkah pocong yang masih saja melompat-lompat sambil memandang ke arahku.
Sampai suatu saat, tiba-tiba … bruukk! Pocong itu terjatuh gara-gara meleng tak memperhatikan jalan. Dia terus melompat ketika palang jalan kereta api mulai diturunkan. Akibatnya, karena tubuhnya yang terbungkus kapan, pocong itu gagal melompati palang kereta. Bagian kaki bawahnya tersangkut hingga akhirnya dia terjengkang ke genengan air di tengah jalan.
Hehe, sumpah my Diary, aku nyaris tak dapat menahan tawa menyaksikan tingkah konyol pocong itu kemarin. Aku urung tertawa karena tidak mau dianggap kalau kesedihanku hanya pura-pura. Oleh karena itu aku pilih diam sambil menahan tawa.
***
My Diary ….
Gara-gara kemarin itu aku gagal bertandang ke rumah Anggit, kini hatiku terasa amat sakit. Betapa enggak! Kalau kemarin Anggit masih mau mengangkat saat aku menelepon, tapi mulai dari tadi pagi setiap aku telepon selalu direjeck. Padahal kan aku telepon untuk menjelaskan penyebab aku tidak jadi datang kemarin. Aku juga mau tunjukkan bunga yang kemarin sudah terlanjur aku beli dan sekarang sudah menjadi layu seperti kerinduanku yang mulai membentur kata sangsi.
Dan lagi-lagi tawa mengekeh dari makhluk-makhluk yang enggan menunjukkan mukanya terdengar mengejek di kamar ini. Aku tahu mereka pasti datang untuk meminta jatah asap dupa dan aroma kemenyan yang biasanya aku bakar setiap malam Jumat legi. Tapi tadi pagi aku sengaja bergeming. Buat apa memberi mereka aroma dupa, sementara sebongkah kemenyan kerinduanku justru ambyar berserakan.
Kau kan tahu sendiri, my Diary! Aku tuh paling gak tahan kalau jauh dari Anggit. Separo napasku sudah terlanjur menyatu bersamanya. Jadi meskipun dia tidak pernah pedulikan perasaanku, yang penting aku tetap memedulikannya. Biarlah bagi orang lain bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, tapi bagiku itu adalah sebuah keasyikan. Karena dengan bisa bertepuk sebelah tangan berarti aku telah menjadi seorang pemain akrobat yang kawakan. Tidak sembarang orang bisa bertepul sebelah tangan. Enggak percaya, coba saja!
Untuk itu my Diary, ketika tadi kusadari semakin banyak sosok-sosok dedemit muncul di kamarku, aku tetap saja menyibukkan diri untuk menata hatiku yang terlanjur berserakan berbentuk kepingan-kepingan kekecewaan. Aku akan tunggu sampai malam nanti. Jika sampai sampai tengah malam, Anggit belum juga bisa aku hubungi, terpaksa deh aku akan menyuruh salah satu anak buah Nini Diwut untuk sedikit mengusiknya. Biar Anggit tahu rasa dan sadar dengan siapa dia sedang berhadapan.
Oke my Diary, sekarang kau istirahatlah dulu. Aku akan mempersiapkan sebongkah kemenyan kerinduan yang akan kubakar untuk menyemai benih-benih cinta pada hamparan hati Anggit yang terlalu banyak ditumbuhi rumput liar. Sebongkah kemenyan kerinduanku akan menjadi pemumpuk agar dia berkenan membuka hati, menerima kehadiranku walau tanpa kata kunci.
Aminkan doaku ya, my Diary!